June 8, 2016

Mengapa Bertanya?



1 Ramadhan 1437 H

Hari pertama puasa tidak panas, tapi hujan. Deras sekali. Orang-orang itu berteduh di bawah jembatan. Berjejer seperti itu adalah tempat berteduh yang paling menyenangkan, memarkir kendaraan sambil melihat orang yang lalu lalang dengan jas hujan mereka. Lalu aku bertanya, mengapa mereka tidak bawa jas hujan? Mengapa dari sekian banyak tempat berteduh mereka memilih bawah jembatan? Tapi kemudian aku berhenti bertanya-tanya. Tersadar bahwa aku juga bagian dari orang-orang yang dipertanyakan oleh orang lain. Tersadar bahwa dari sekian hal yang aku mengerti, ada sekian hal di luar sana yang tidak kumengerti. Tersadar bahwa hal yang sangat masuk akal bagiku mungkin tidak bagi orang lain. Dan aku adalah bagian dari tanda tanya itu. Bagian dari sekumpulan orang yang seragam, orang yang sama-sama lalu lalang di jalanan dengan jas hujan dan kaca helm yang tertimpa titik hujan bertubi-tubi. 

Karena tetap mempertanyakan, lalu semuanya saling mempertanyakan, lalu muncul lingkaran yang tiada habisnya tentang pertanyaan ini. Akhirnya, orang-orang hanya menyerah pada pertanyaan. Berusaha membuat diri mereka sendiri paham dengan bilang, “ya itu mereka bukan aku.” Aku ingin berhenti bertanya-tanya tapi susah. Ya tentu saja, otakku hanya punyaku. Otaknya hanya punyanya. Tidak ada sedikit pun bagian dari otak kami yang bersinggungan sehingga bagaimana mungkin aku bisa dengan mudahnya mengerti, mengindahkan pertanyaanku. 

Pada akhirnya semuanya adalah tentang menoleransi perbedaan. Karena bertanya terus sepertinya melelahkan. Pertanyaan bisa membuat seseorang hanyut lalu hilang akal dan arah, membuat gaduh di kehidupan orang lain dan kehidupannya sendiri. Mengapa tidak biarkan saja berbeda lalu pahami pikiran orang lain? Bukankah seharusnya bertanya membawa ketenangan? Jika hanya membawa gaduh, lalu untuk apa bertanya?
Share:

0 comments:

Post a Comment