1 Ramadhan 1437 H
Hari pertama puasa tidak panas, tapi
hujan. Deras sekali. Orang-orang itu berteduh di bawah jembatan. Berjejer seperti
itu adalah tempat berteduh yang paling menyenangkan, memarkir kendaraan sambil
melihat orang yang lalu lalang dengan jas hujan mereka. Lalu aku bertanya,
mengapa mereka tidak bawa jas hujan? Mengapa dari sekian banyak tempat berteduh
mereka memilih bawah jembatan? Tapi kemudian aku berhenti bertanya-tanya. Tersadar
bahwa aku juga bagian dari orang-orang yang dipertanyakan oleh orang lain. Tersadar
bahwa dari sekian hal yang aku mengerti, ada sekian hal di luar sana yang tidak
kumengerti. Tersadar bahwa hal yang sangat masuk akal bagiku mungkin tidak bagi
orang lain. Dan aku adalah bagian dari tanda tanya itu. Bagian dari sekumpulan
orang yang seragam, orang yang sama-sama lalu lalang di jalanan dengan jas
hujan dan kaca helm yang tertimpa titik hujan bertubi-tubi.
Karena tetap mempertanyakan, lalu
semuanya saling mempertanyakan, lalu muncul lingkaran yang tiada habisnya
tentang pertanyaan ini. Akhirnya, orang-orang hanya menyerah pada pertanyaan. Berusaha
membuat diri mereka sendiri paham dengan bilang, “ya itu mereka bukan aku.” Aku
ingin berhenti bertanya-tanya tapi susah. Ya tentu saja, otakku hanya punyaku. Otaknya
hanya punyanya. Tidak ada sedikit pun bagian dari otak kami yang bersinggungan
sehingga bagaimana mungkin aku bisa dengan mudahnya mengerti, mengindahkan
pertanyaanku.
Pada akhirnya semuanya adalah
tentang menoleransi perbedaan. Karena bertanya terus sepertinya melelahkan. Pertanyaan
bisa membuat seseorang hanyut lalu hilang akal dan arah, membuat gaduh di kehidupan
orang lain dan kehidupannya sendiri. Mengapa tidak biarkan saja berbeda lalu pahami
pikiran orang lain? Bukankah seharusnya bertanya membawa ketenangan? Jika hanya
membawa gaduh, lalu untuk apa bertanya?
0 comments:
Post a Comment