August 24, 2020

The day we met

Nothing unusual on the first day we met. No sparks. No blossoms. No blushes. Nothing.

It was a sunny day in August last year. I wore my ordinary outfit, I didn’t notice what he wore, but I'm pretty sure he wore something ordinary too. It was our first day in the class. As how new things are, everything makes me excited. The new friends, new lecturers, new classroom, new subjects, the new everything. 

It was in the central library that I noticed him for the first time. He sat in the back, by himself, mentioning book titles to the librarian way in the front of the room. No one responded as no one caught his low voice. I am low-voiced myself and I know how it feels to not be listened to just because your voice is not loud enough.

Days later after the library trip, in the classroom, we were grouped together and that was how I knew his name. 

But nothing unusual on the first time we say each other’s names. No tensions. No thrills. No anticipations. Nothing. 

My days in the class didn’t last long. So did his and my other classmates’. They had to stop having real classes due to the pandemic, but for me, it was because I decided to leave. I leave the new class, new friends, new lecturers, new subjects, the new everything. They now become my old everything.

But above them all, one stays. 

He stays. 

Here’s when things become unusual. 

.

August 23, 2020

Berhenti

Malam itu malam pertamaku di tempat yang baru dan aku menangis. Ada Ibu menari di langit-langit, dua bocah mengelilingi tubuhnya minta peluk dan makan. 

Kemarin aku diantar kemari dengan truk bak terbuka. Barang-barangku penuh di bak, sepeda motorku yang merah jambu bersorak-sorai meski diikat kanan kirinya, aku duduk di muka. 

Bocah-bocah yang kelaparan itu menyukai kegelapan. Mereka hadir setiap kumatikan lampu kamarku. Kamarku yang baru. Kamarku yang temboknya putih, lantainya putih, jendelanya putih, pintunya putih, dan puskesmas di seberang kamar yang juga putih-putih. Aku bisa demam pagi sampai siang tanpa khawatir karena bisa langsung melarikan diriku sendiri ke sana. Lain cerita kalau demamnya datang malam-malam, terutama saat bocah-bocah itu datang bersama Ibu. Tidak ada puskesmas yang buka malam-malam. 

Sekian malam berikutnya aku masih menangis sambil terlentang. Kamarku tidak lagi baru, sudah ada satu dua tiga empat lima orang yang datang. Hanya satu yang perempuan. Sisanya lelaki minta ditemani makan, nonton film, dan jalan-jalan. 

Lagi-lagi aku kedatangan Ibu dan dua bocah, tapi mereka tidak lagi menari-nari di langit-langit, mereka duduk saja di tepi ranjangku yang baru, yang masih dibungkus plastik. 

"Aku ingin berhenti. Aku ingin pulang," kukatakan lirih.  

Manik mata mereka yang putih mungil membeku. Mereka tidak setuju. Mereka tidak ingin aku berhenti. Ibu beranjak dari tepi ranjang, duduk di kursi belakang meja belajarku, ia bicara, berbisik, sendu, "Ingat dulu Ibu seorang diri membesarkan kalian? Ingat dulu kita tinggal di tempat yang terlalu sempit untuk kalian lari-lari? Kalian senang berlari. Ibu ingat betul." Ibu berhenti, terkekeh sebentar. 

"Aku bodoh, Bu. Aku gagal. Aku tidak bisa. Aku tidak seperti teman-temanku, Bu. Mereka cemerlang, mereka bicara lantang di kelas, mereka menulis sepenuh hati, mereka akan jadi pengajar, advokat, pendeta, orang penting, orang berilmu dan terpandang. Aku tidak, Bu. Aku tidak bisa menulis, tidak bisa membaca, tidak bisa bicara, tidak punya teman. 

"Aku bodoh, Bu. Aku gagal. Aku gagal menjadi kebanggaanmu, aku gagal menjadi contoh bagi adik-adikku. Biarkan aku pulang dan menjadi pesuruhmu, Bu. Aku akan melakukan apa pun untuk membuat diriku berguna, Bu. Tapi bukan di sini. Ini bukan tempatku, Bu. Aku bodoh, Bu. Aku gagal.." Aku tercekat. Kata-kataku mengambang. 

"Kaki dan tanganku tidak sekuat Ibu. Hatiku tidak setangguh Ibu. Aku tidak seperti Ibu."

Enam belas tahun yang lalu. Dua bocah perempuan. Baju mereka sama, rok mereka sama hanya beda warna, sepatu pun sama hanya beda ukuran. Ibu mereka ada di sana. Ayah mereka tidak di sana. Ayah mereka memang tidak pernah di sana. Ayah tidak pernah ada dimana-mana. Ayah menyerah pada Ibu. Ayah menyerah pada dua bocahnya. Tapi Ibu tidak. Ia tetap tegak berdiri di sana, dengan dua bocah yang menggelayut di kedua kakinya. Memberati langkahnya, menghabisi tenaganya, tapi pengharapannya tetap tegak sempurna.

"Anak Ibu pintar. Anak Ibu selalu bisa. Tidak pernah tidak." Setetes, dua tetes, tiga tetes mengalir ke pipinya. "Ibu tidak tahu anak Ibu kesusahan. Ibu tidak pernah melihat anak Ibu begini. Ibu hanya tahu anak Ibu yang rajin dan pintar. Oh, anakku.. anakku yang malang. Maafkan Ibu.. maafkan Ibu. Ibu tidak tahu anak Ibu kesusahan." 

Malam itu, delapan belas tahun yang lalu, aku terbangun. Adikku tidur pulas di sampingku. Tubuhnya sedikit lebih mungil dari aku. Rambutnya lebih sedikit dari aku. Ibu tidur di lantai, alasnya tipis, tidurnya terlentang, persis seperti tidurku delapan belas tahun kemudian. Kudengar Ibu tersedu. Tapi usiaku hanya empat tahun. Hidupku masih terlalu singkat untuk mengerti cara menangis dalam diam. 

"Baiklah, Anakku. Berhentilah, berhenti," ujar Ibu masih terisak.

Lalu aku berhenti. 

Berhenti.

.