April 30, 2017

Introvert, Si Nama Belakang

Dulu ada yang bertanya-tanya kenapa ia tidak bisa gabung dengan orang asing lalu akrab lalu ikut cekakak cekikik. Ia juga bertanya kenapa tidak bisa jadi pusat perhatian, tapi malah melipir di tepi. Ia juga heran kenapa setiap kali mencoba berceloteh satu dua kata lalu terbahak demi bikin orang-orang ikut terbahak, sekian detik kemudian, ia malah membenci dirinya sendiri dan ingin lari tunggang langgang sambil tutup wajah. Ia juga kebingungan kenapa tidak pernah dapat satu pun kata-kata yang cocok untuk menanggapi orang-orang yang bicara satu dua paragraf itu. Ia selalu begitu pada orang-orang, seolah ia bukan bagian dari orang-orang itu sendiri. 

Membaca Karya Penulis Maha Produktif, Mira W

Sudah lama tidak menyentuh novel-novel roman. Membaca karya Mira W hanya karena Ayah memuja-muja Sang Penulis itu dan mengoleksi entah berapa karya di rak bukunya. Lalu kebetulan ada seorang teman yang punya terbitan terbaru novel Mira W, kebetulan lagi kering bacaan dan jenuh sama skripsi. Tadinya kupikir satu buku itu satu cerita, ternyata ada dua cerita dan pantas saja judulnya panjang (ternyata ada garis pemisah di antara judul yang panjang itu, jadinya judulnya tidak terlalu panjang lagi). 

April 23, 2017

Ketersalingan

Pada suatu hari, ada yang bergumam saat ia melihat seorang supir truk di dalam kendaraannya. Menenggak serangkaian minuman pencegah kantuk sambil menanti lampu merah berganti hijau. Yang bergumam ini mengamati bawaan truk beroda enam itu, namun tidak berhasil karena yang diamati tertutup terpal hitam. Si supir truk sempat melihat orang yang bergumam itu, lalu yang bergumam pura-pura tidak melihat dengan pura-pura menerawang ke arah bangjo. Lalu diam-diam, ia kembali menatap si supir truk. Mengira-ngira sudah berapa lama sang supir menempatkan bokongnya di jok yang panas. 

April 21, 2017

Menangis

Dua hari yang lalu menangis. Karena yang ditahan itu tidak akan tertahankan hingga akhirnya keluarlah ia. Sudah sengaja menghindar dari segala sesuatu yang memberi stimulus, tapi tidak ada gunanya. Tangis tetaplah tangis. Ia tetap mengalir dan mengucur seenak jidat. Waktu itu pagi-pagi sekali. Tubuh sudah bangun sendiri tanpa perlu alarm. Lalu kegiatan pagi seperti biasa yang dimulai dengan sarapan sambil nonton televisi. Ternyata beritanya masih lanjutan berita semalam. Berita kekalahan seorang pemimpin yang bikin orang lain membenci dan ingin memaki karna ras dan agamanya. 

Semalaman berusaha tidak terpapar apa pun yang berkaitan dengan pemimpin itu. Segala koneksi internet sengaja dicabut, supaya seperti manusia gua yang tidak tahu informasi terkini. Tapi pagi itu, akibat rutinitas, secara tidak sadar manusia ini terkena paparan informasi. Celakanya, informasi itu membuat dia sedih. Kesedihan yang konyol. Hanya karena kekalahan seseorang yang bahkan tidak pernah ditemuinya. Paling hanya sekelebat dari berita sidang ini itu, debat di stasiun televisi ini itu, begitu-gitu saja padahal. Sialnya secara tidak sadar, manusia ini terpapar rasa cinta yang fiktif. Simpati dan empati yang tidak nyata. Terbatas layar kaca dan koneksi internet. Tapi mau bagaimana lagi. Sudah terlanjur.

Si manusia ini sudah telanjur sedih dan menangis. Hanya karena si pemimpin yang ia berikan empati itu kalah telak. Kekalahan yang tidak pernah sekelebat pun muncul dalam isi kepalanya. Ia menyaksikan keteguhan si pemimpin yang kalah itu. Lalu ia terharu. Terharu akibat kata-katanya yang terlalu besar hati. Terlalu lapang dan terlalu kuat untuk menggoyahkan hati-hati orang yang lemah. Pemimpin yang kalah itu akan mundur teratur hingga Oktober. Ia berjanji akan menyelesaikan apa yang harus diselesaikannya. Ia bilang ini semua kehendak Tuhan. Ia mengumbar senyum dan merangkul sang pemenang. Lalu hati si manusia lemah ini hancur berkeping-keping. 

Teruntuk si pemimpin yang kalah, maafkan manusia yang lemah ini karena hanya bisa menangis. Menangsi konyol di depan layar kaya. Tapi siapa pula yang peduli. Ibu kota tetap gemerlap dan menarik mata. Nyatanya bukan masalah siapa yang lebih kompeten, tapi masalah siapa yang lebih disukai. Mungkin juga bukan masalah suka. Tapi masalah siapa yang lebih dibenci. Semoga kebencian terjaga dalam tempurungnya. Keluarlah semaumu dan guncang ibu kota sesukamu. Manusia yang lemah ini hanya bisa menangis. 

April 17, 2017

Sebuah Fajar

Fajar datang, seorang gadis bangun dari tidurnya, dengan berbagai kembang tidur yang semerta-merta langsung rontok dari kepalanya. Gadis itu menggeleng hebat saat berusaha mengingat sesuatu dari yang rontok itu, tapi tak ada satu pun yang tersisa dalam ingatannya. Ia pun menyerah. Ia pun beranjak dari tempat tidurnya, sendiri, sunyi, hanya bunyi ayam yang tak henti berkokok, ia ke kamar mandi, wudhu, sembahyang, lalu berhadapan dengan laptopnya. Secara mengejutkan, hal-hal yang tadi mati-matian ia usahakan untuk diingat, kini menari-nari di kepalanya dengan liar. 

April 14, 2017

Pressure and Pleasure

Agenda bulan ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan bulan lalu. Sudah dua minggu berjalan dan sepertinya terlalu banyak hal yang harus ditulis jadi rasanya 24 jam pun tidak pernah cukup. Katanya target bulan ini mau merampungkan bab satu, dua dan tiga, sampai skala semuanya sudah jadi dan siap sebar untuk para subjek. Tapi target yang tadinya cuman seminggu, sekarang sudah molor seminggu lagi. Minggu ini yang katanya mau merampungkan bab satu sampai tiga dengan semua hasil revisi, ternyata waktunya cuman tinggal dua hari lagi. Menyedihkan. Jadi ini salahnya siapa? Salahnya waktu.