April 19, 2021

Mati Lampu

Waktu itu mati lampu. Sudah tiga jam tapi tidak kunjung menyala. Dengar-dengar akan sampai lima jam bahkan lebih. Batrai ponselku tidak mau hidup kalau pengisi dayanya tidak stand by. Lampu darurat yang dibelikan Ibu saat awal-awal kuliah 2013 dulu, meski sudah diisi dayanya penuh, cepat sekali redupnya lalu mati. Sumber penerangan hanya lampu darurat dari ruang televisi. Aku tidak bisa ngapa-ngapain. Batrai laptop sudah kuhabiskan untuk menulis pos ke blog ini. Itu pun mencuri internet dari  wifi asrama belakang yang sejak bangunan itu berdiri tidak pernah ikut mati lampu.

Aku cari-cari buku-buku dari rak di bawah meja. Mana tahu ada yang belum kuselesaikan, yang ternyata hampir semua. Kuambil satu novel Jane Eyre yang kupinjam entah sejak kapan dari kekasihku. Tidak kuselesaikan dan tidak kusentuh lagi entah sejak kapan. Kubuka lagi buku itu, kutarik satu kursi lesehan di ruang televisi dan kududuk di sana membaca. Aku membaca begitu saja. Tujuh puluh persen dengan Bahasa Inggris yang tidak kumengerti maknanya, tetapi aku tetap membaca, toh aku tidak bisa ngapa-ngapain juga. 

Kadang aku membaca dengan pikiran yang ikut terseret suara hujan, kadang aku membaca dengan pikiran, "apakah ada hantu di tempat ini? apakah ada pohon tumbang di suatu tempat yang jauh?", kadang aku bahkan lupa aku sedang membaca saking jauhnya pikiranku terseret. Namun, setelah beberapa lama, setelah hujan agak reda dan agak lebih banyak paragraf yang kubaca, aku sampai pada fase menikmati bacaanku. 

Ceritanya ada kebakaran di tempat Jane Eyre tinggal, yang aku bahkan tak tahu ia tinggal dimana, saking payahnya kosakata Bahasa Inggrisku. Jane diminta oleh Tuan untuk tidak memberitahu perihal kebakaran tersebut kepada pelayan-pelayan yang lain. 

Begitu ceritanya. 

Aku menikmati bacaanku bahkan berjam-jam dan satu dua hari setelah lampu tidak lagi mati. Aku sempat kembali pada dunia di depan layar ponsel dan laptop beberapa saat setelah lampu nyala, tetapi aku kembali pada buku itu. 

Tiba-tiba aku rindu pada duniaku yang tenang dan minim pilihan. Aku rindu tidak bisa ngapa-ngapain dan membaca buku fisik dengan Bahasa Inggris abad ke-17 adalah satu-satunya pilihan. Aku rindu tidak perlu menonton apa-apa, tidak perlu membalas pesan apa-apa, tidak perlu apa pun selain memasak Indomie goreng  pakai telur sambil sesekali kembali ke buku bacaan. Hanya diam, baca buku sambil sesekali mengunyah, meski tidak mengerti apa-apa dari yang kubaca. 

Aku rindu mati lampu. 

Aku pun diam-diam mengharapkan mati lampu mati lampu yang lain lagi.  

Akhirnya aku membeli Kindle :)



April 4, 2021

Revelation

Dua Lima duduk di kursi di sudut restoran mungil di tepi jalan raya yang macet. Ia diam saja setelah makanannya habis. Minumannya, jasmine tea masih ada separo. Ia duduk bersama temannya, Dua Enam. Ia mulai bicara pada temannya itu. Tentang macam-macam. Salah satu dari yang macam-macam itu adalah tentang dokter-dokter bedah yang ditontonnya dari serial televisi buatan Amerika.  
 
“Ibuku tidak pernah bilang aku tidak boleh gagal,” ujarnya usia merangkum salah satu episode dari serial dokter bedah itu. “Tapi ibuku juga tidak pernah bilang aku harus berhasil. Jadi kupikir, mungkin aku tidak punya pilihan. Mungkin berhasil adalah satu-satunya pilihan, karena semua orang begitu. Semua anak pada waktu itu begitu isi pikirannya. Semua orang berprestasi yang juara olimpiade dan juara menari menyanyi di televisi itu, sama juga begitu pikirannya. Termasuk dokter bedah. 
 
“Jadi kupikir juga, kalau aku gagal, maka aku tidak masuk pilihan. Aku bukan orang yang terpilih. Aku adalah kaum yang tersesat, yang jalan salahku jadi pelajaran bagi kaum-kaum setelahku, sehingga mereka tidak perlu menjadi kaum yang tersesat sepertiku. Lalu aku percaya itu. Bukan. Bukan percaya. Percaya itu seolah aku punya.. lagi-lagi pilihan.. untuk tidak percaya. Tapi saat itu aku tidak punya pilihan. Itu adalah caraku hidup dan bertahan. Aku belajar setiap hari dan setiap malam aku menatap buku-buku pelajaranku dengan muak. Aku hanya boleh nonton televisi pada malam minggu dan minggu pagi. 
 
“Lalu, caraku bertahan hidup masih sama bertahun-tahun setelahnya. Aku tahu Ibu tidak pernah bilang begitu, tapi aku sudah terlanjur nyaman hidup begitu. Lalu aku enggan melepas cara hidupku itu. Lalu aku tidak menyadari bahwa aku menyakiti diriku sendiri. Dua puluh empat tahun hidupku hilang begitu saja. Tidak ada senang-senangnya. Senang-senang yang kuingat hanya sampai usiaku lima tahun. Setelahnya aku tidak ingat apa-apa yang menyenangkan.”
 
Dua Lima berhenti. Dua Enam masih diam, mendengarkan. Ingin bicara tapi tidak tahu apa. 
 
Dua Lima tidak ingat di luar hujan, tetapi tiba-tiba hujan sudah berhenti. Kelihatan dari dinding kaca restoran itu. Minumannya yang tadi separo sudah tinggal es batu. Dua Lima tidak lanjut ceritanya. Ia melongo pada ojek-ojek hijau-hijau yang keluar masuk restoran. Ia melongo sampai tiba-tiba ia sudah ada di luar bangunan, menengadah ke langit cerah sehabis hujan, pelangi yang menyeberang dari satu awan ke awan lainnya, dan aroma hujan yang jatuh ke tanah. Ia sudah sering melihat dan membaui hal-hal itu, tetapi, “apa bedanya kali ini?” batinnya. 
 
“Aku mau lari-lari di sini,” kata Dua Lima entah pada siapa karena Dua Enam masih di dalam. “Aku senang lari-lari. Apalagi waktu dulu masih kecil. Aku senang lari-lari dengan adikku yang gundul. Aku senang ada tanah lapang, aula besar, tangga kosong, rumah kakek, di mana aku bisa berlari mengejar dan dikejar adikku. Aku akan berlari lagi sekarang. Aku akan berlari ke mana saja dan aku tidak akan menghentikanku.” Matanya berbinar, senyumnya dari telinga ke telinga, pipinya melebar meluas, kakinya menghentak siap melaju. 
 
“Aku mau ikut.” Dua Enam tiba-tiba ada di belakangnya.  
 
Selanjutnya, mereka kembali ke dalam karena ternyata hujan lagi. Kali ini mereka lari-lari. Mereka lari di antara meja kursi restoran yang menjual kebab itu. Beberapa pelanggan memandangi mereka heran, beberapa anak kecil ikut mereka berlari, beberapa bergumam menduga mereka orang gila, pramusaji berusaha menghentikan mereka, tetapi mereka tetap lari-lari. 
 
“Aku tidak akan menghentikanku,” gumam Dua Lima sambil tetap lari-lari mengejar Dua Enam.