January 9, 2018

Kepiluan Masa Kecil

Related image

Pada usiaku yang keempat, aku diajari melipat bangau oleh kawan Ibuku. Kuikuti setiap tahap yang diperagakannya. Awalnya aku bisa mengikuti dengan mudah, tapi lama kelamaan, Si Om itu mulai laju lipat-melipatnya. Aku pun tertingggal jauh. Si Om sudah menyelesaikan bangaunya, sedangkan aku kebingungan dengan origamiku. Sesak. Sesak sekali rasanya ditinggalkan melipat bangau oleh Si Om. Aku tidak terima ditinggal begitu. Menangislah aku di pelukan Ibu yang sedang ada di kamarnya. Ibu menuntunku menemui Si Om, kuharap Ibu akan meminta Om untuk mengajariku dengan perlahan. Tapi Ibu tidak melakukannya dan Si Om malah tertawa-tawa sambil menunjukkan bangaunya yang sudah jadi dengan sangat indah. Aku pun menangis semakin nyaring. Aku tidak terima ditertawakan setelah ditinggal membuat bangau. Aku juga sendirian dalam sedihku, karena Ibu tidak mengerti keinginanku untuk diajari melipat bangau dengan pelan-pelan.

Kepiluan yang lain, terjadi saat aku lebih muda satu tahun, usia tiga tahun. Aku punya kawan namanya Vita. Ia sangat gendut, karena makannya banyak. Sore itu, aku dan Vita bermain di depan rumah kami yang bertetangga. Aku bermain dengan sepeda roda tigaku dan Vita yang tidak punya sepeda, hanya meloncat-loncat sambil disuapi makan sore oleh ibunya. Aku ingat waktu itu ada tiga ibu-ibu yang mengerubungi kami bermain. Saat aku asik bermain sepeda, tiba-tiba Vita bilang ingin main sepeda juga.

Berat sekali hatiku meminjamkan sepedaku pada Vita yang gendut, aku takut sepedaku rusak karena berat badan Vita. Tapi ibunya menyuruhku untuk meminjami Vita. Aku pun meminjaminya dengan berat hati, sambil bilang, "awas nanti jatuh." Tak berapa lama setelah Vita naik di sepedaku, benar saja. Ia terjatuh dan menangis. Aku marah pada Vita. Aku pun bilang, "kasihan deh lo!" Sontak, ibu-ibu menertawakanku. Aku tidak mengerti apa yang mereka tertawakan. Aku marah dan bingung. Sesak. Sesak sekali rasanya. Aku ditertawakan saat aku merasa kesal. Aku pun berlari ke dalam rumah, menuju kamar Ayah, menemui Ayah yang setengah tertidur. Mengadu padanya dan menangis senyaring-nyaringnya. Tapi Ayah tidak melakukan apa pun dan kembali tidur. Aku kesal dengan Ayah, karena tidak melakukan apa-apa saat aku sedih.

Kira-kira, masih pada usiaku yang ketiga. Aku sangat takut dengan boneka Susan milik tetanggaku, Vita. Suatu hari, aku main ke rumahnya. Vita punya seorang kakak perempuan, yang sepertinya sangat menyukai boneka itu. Saat aku dan Vita sedang bermain, kakak perempuannya itu ikut bermain bersama kami, tapi dengan membawa boneka Susannya. Aku pun terkejut dan menangis sejadi-jadinya. Aku tidak ingin Susan memakanku dengan wajahnya yang seram. Kakak perempuan Vita pun membawa pergi boneka Susan, dibukanya jendela kamar dan dijulurkan boneka itu di jendela. Ia bilang, "nih bonekanya aku buang. Sudah aku buang." Aku masih menangis. Usiaku tiga tahun, tapi aku tahu persis bahwa aku sedang dibohongi. Boneka itu tidak pernah dibuang. Boneka itu hanya melewati jendela, tapi tidak dilepaskan dari tangan kakak perempuan Vita. Aku pun pulang dengan perasaan sedih, karena takut Susan dan dibohongi.

Kepiluan masa kecil itu masih kuingat hingga detik ini. Akhirnya aku sampai pada saat aku mampu menjelaskan apa yang kurasakan dulu. Kini aku tahu, bahwa aku benci ditertawakan, dibohongi dan aku ingin dibela saat aku sedih.  

January 8, 2018

Mawar Putih dalam Keberadaan



Selama lima tahun keberadaan kulkas di dapur seorang manusia, ia telah menjadi saksi bisu perjuangan bunga mawar putih dalam pot yang bertahta di atas si kulkas. Seharian ini, bunga mawar memekik-mekik pada manusia yang mondar-mondir di dapur, untuk setidaknya melihat keindahan kelopaknya. Manusia pertama tidak melihatnya. Manusia kedua ke dapur hanya untuk ambil air es dari kulkas. Manusia kedua ke dapur untuk makan siang sambil baca update dari akun gosip. Manusia ketiga ke dapur untuk mengejar kucing yang menggondol tulang ayam. Manusia keempat ke dapur untuk duduk sambil tenggelam dalam buku bacaannya. Satu kesamaan mereka. Tidak ada yang menyadari keberadaan si mawar putih. 

Suatu malam, saat keempat manusia itu telah terlelap, si mawar putih pun berkeluh kesah kepada kulkas. "Aku tahu aku hanyalah pajangan. Pajangan untuk mempercantik dirimu. Pajangan untuk memperindah seisi dapur ini. Tapi, manusia-manusia itu, tidak sekali pun menyadari bahwa aku ada di atas sini. Aku ada untuk disaksikan kecantikanku."

Kulkas memandang ke atas kepalanya. Ia menemukan si mawar putih berlinangan air matanya. Entah datang dari mana air-air itu. "Kau boleh masuk ke dalam tubuhku untuk bergabung dengan bahan-bahan makanan. Para manusia itu pasti akan menyadari kehadiranmu."

Si mawar putih berpikir. Baginya, ide itu tidak buruk juga. Tapi, tidak cukup bagus juga. "Apakah aku bisa bertahan di dalam tubuhmu yang dingin itu?" 

Kulkas mengguncang lembut tubuhnya. "Jangan kuatir, aku berani jamin bahwa tidak akan ada satu pun kelopak maupun daun dari tubuhmu yang menderita karena dinginku. Mereka justru akan senang dengan perubahan suhu dari suhu kamar ke suhu tubuhku."

Setelah menimbang beberapa saat, si mawar putih pun meloncat dari singgasananya dan si kulkas menangkapnya dengan membuka pintu, lalu membuka laci sayur-sayuran yang terletak paling bawah. Mawar putih pun mendarat dengan sempurna di dalam laci itu. Meski merasa agak kedinginan, ia tidak keberatan setelah membayangkan bahwa nanti pagi, para manusia akan menyadari kehadirannya. Si mawar putih sudah tidak tahan dengan dinginnya kulkas. 

Pagi yang dinanti-nanti pun tiba. Para manusia bangun, membuat sarapan, tapi tidak satu pun yang ingin sarapan dengan sayur mayur. Akhirnya, pagi ini laci sayur pun tidak ada yang membuka. Mawar putih pun masih bercokol di sana. Ia masih sabar menanti hingga siang hari. Biasanya manusia akan membuat sayur bening untuk makan siang. Ternyata pada siang hari pun tidak ada yang ke dapur. Semua manusia sedang sibuk di luar rumah, berkegiatan masing-masing. Kali ini, si mawar putih sangat yakin bahwa akan ada manusia yang membuat makan malam dengan sayur mayur. Biasanya untuk lalapan. Namun, para manusia ternyata memilih untuk makan dengan delivery order. Kulkas pun tak tersentuh. Hal serupa terjadi selama beberapa hari, hingga mawar putih mulai kehilangan cantik rupanya. 

Setelah menunggu selama empat hari empat malam, akhirnya seorang manusia membuka laci sayur mayur untuk membuat sayur sop. Terkejutlah ia karena menemukan mawar putih yang telah kecoklatan kelopaknya dan layu daun-daunnya. Tidak habis pikir bagi si manusia itu, bagaimana setangkai mawar bisa nyasar bersama sayur-mayur. Si manusia pun mengambil tubuh dingin mawar putih dan membuangnya ke halaman belakang, bersama rerumputan dan bebatuan dekat kolam ikan yang berisik bunyi airnya.

Dalam tidur panjang si mawar putih, ia pun tersenyum. Penantian panjangnya akhirnya berakhir bahagia. Setidaknya, pada detik terakhir kehidupannya, seorang manusia datang untuk menyadari keberadaannya. Menyadari keberadaan tubuhnya yang perlahan menjelma ketidakberadaan. Si mawar putih belajar satu hal, bahwa kesadaran terhadap keberadaan, tidak semata-mata harus hadir pada saat keberadaan itu  terjadi. Bukankah ketidakberadaan juga merupakan bagian dari keberadaan?

Lima Babi Kecil

Suatu hari, ada lima babi kecil bersaudara yang sedang jalan-jalan ke tempat yang sangat dingin. Mereka bermalam di sebuah kandang kecil yang harus muat diisi berlima selama lima hari. Ada yang mengeluh dingin, ada yang mengeluh kelaparan tiap saat, ada yang mengeluh sulit bergerak dan ada yang mengeluh rindu rumah. Babi paling bungsu adalah satu-satunya yang tidak mengeluh tentang apa pun. Ia diam saja sepanjang jalan menuju tempat dingin, hingga saat telah tiba di sana.

Suatu malam, ketika kakak-kakaknya pergi keluar kandang untuk cari pakan, si bungsu memilih untuk tinggal di kandang. Ia ingin sendirian untuk sementara waktu. Ia ingin membaca buku untuk mengetahui caranya kabur dari kandang yang sempit itu. Setelah membaca buku beberapa lama, akhirnya ditemukanlah suatu cara untuk kabur, yaitu dengan pura-pura sakit. Sakitnya si bungsu akan membuat kakak-kakaknya khawatir. Kekhawatiran itu akan membuat kakak-kakaknya merasa bersalah, karena telah membawa si bungsu ikut ke kandang yang sempit bersama mereka. Akhirnya si bungsu pun akan dibawa kembali ke kandangnya yang nyaman dan luas. Itulah rencana yang tergambar di benak si bungsu.

Tapi tak lama kemudian, kakak-kakak si bungsu tiba di kandang. Mereka menemukan adik mereka terkapar di atas tumpukan jerami karena perutnya sakit. Padahal, kakak-kakak telah menyiapkan makanan yaitu berupa roti bakar isi coklat.

"Kamu kenapa adikku?" tanya kakak pertama.

"Masuk angin, kak," jawab si bungsu.

"Ya sudah kamu makan saja dulu roti ini. Kami belikan spesial untukmu," sahut kakak kedua.

"Habis ini pakai minyak angin supaya mendingan." Kakak ketiga sibuk mencari-cari minyak angin di tumpukan jerami.

Kakak keempat diam saja, tapi mengusap-usap punggung si bungsu.

"Aku ingin pulang, tidak ingin tinggal di tempat ini. Tempat ini menyiksaku." Si bungsu memohon-mohon pada kakaknya, masih terlentang di jerami. Tak tega melihat adiknya menderita, para kakak pun mengiyakan keinginam si adik. Namun, malam ini mereka harus tinggal di tempat sempit itu dulu.

Si bungsu merasa semakin menderita. Ia tidak sanggup tidur di tempat itu. Malam hari, ketika para kakaknya tidur, ia pun memutuskan untuk keluar dari kandang yang kecil itu. Ia ingin bertemu dengan laron yang ramai di ilalang dekat kandangnya.

"Aku ingin kau membantuku enyah dari kandang ya menyebalkan itu. Kandang yang kakak-kakakku pun tak suka. Mereka tetap mengatakan hal-hal buruk tentang kandang itu, tapi mereka tetap saja tinggal di sana.  Aku punya rencana untuk melakukan sesuatu dengan kandang itu. Tapi tak bisa kulakukan sendiri."

Para laron, sambil tetap terbang dan menyala-nyala, menanggapi si bungsu. "Apa yang bisa kami lakukan?"

Si bungsu pun mendekat pada para laron. Mereka berdiskusi tentang rencana si bungsu. Mereka pun tiba kembali di kandang babi dengan membawa minyak tanah. Ribuan laron mengepung kandang babi, lalu mengeluarkan percikan api dari pantat mereka. Si bungsu menumpahkan jirigen minyak tanah, sehingga menyulut api yang menghujami kandang. Tak perlu waktu lama untuk menyaksikan kandang bersama empat kakaknya, terkepung dalam api yamg menari-nari. Sempat terdengar jeritan dari para kakak si bungsu, sebelum suaranya hilang dan musnah ditelan api.

"Kerja bagus, kawan-kawan," kata si bungsu pada para laron. "Aku jengah dengan mereka yang hanya mengeluh, tapi tidak melakukan apa pun untuk kehidupan mereka. Setidaknya aku lebih baik dari mereka, karena memilih bertindak dalam diam."

"Tapi kau bilang mereka sangat cemas padamu saat kau pura-pura sakit."


"Aku benci kecemasan mereka. Mereka hanya pura-pura."

Lima Sekawan

Suatu hari, ada lima sekawan yang berbagi pembicaraan tentang pekerjaan dan kuliah lanjutan. Pembicaraan berlangsung sengit dan membingungkan. Selama pembicaraan, salah satu dari mereka yang bernama A, sedang berjuang dalam badai halilintar yang terjadi di kepalanya. Si A ini, kenal dengan Z yang setiap hari berkutat di depan layar yang menyala-nyala untuk menghasilkan berlembar-lembar kisah dongeng. Gara-gara Z, A ingin juga punya pekerjaan seperti itu.

"Aku ingin hanya duduk dan punya dongeng sepertimu, apakah aku bisa?" tanya A saat pertama kali ia bertemu Z.

"Tentu saja kau bisa. Kau hanya perlu berdarah-darah selama bertahun-tahun. Setelah itu, kau bisa merasakan nikmatnya darahmu." Z menjelaskan sambil membenahi letak kacamatanya yang menantang nyala layar di hadapannya.

"Tapi teman-temanku tidak ada yang ingin jadi sepertimu," kata Z.

"Dan.. Apa kau peduli dengan itu?"

A mengangkat bahu. "Aku ingin tidak peduli, tapi tak bisa."

Z memutar bola matanya, melanjutkan kegiatan dengan layarnya yang berpendar dan menghiraukan A. Z tidak ingin ikut campur dalam urusan anak baru lulus yang bingung ini itu. Hidupnya sudah terlampau nyaman untuk diusik oleh hal-hal semacam itu.

"Katakan apa yang harus kulakukan," desak A.

"Dengar anak muda, di dunia ini tidak ada yang peduli apa kau akan hidup untuk menghidupi mimpi-mimpimu, atau tidak hidup sama sekali. Jadi, kau yang putuskan. Jangan libatkan aku." Z beranjak dari singgasananya, meninggalkan A sebatang kara dengan kecamuk di dalam kepalanya.

Tak berapa lama kemudian, Y menghampiri A. Mereka pun berbincang.

"Apa yang membuatmu gundah gulana?" tanya Y.

"Apa yang membuatmu berpikir bahwa aku gundah gulana?" A malah balik bertanya. "Aku benci saat orang berpikir bahwa aku gundah gulana."

"Mungkin ini saatnya kau menyadari bahwa mimpi-mimpimu itu pantas untuk ditanggalkan. Seperti aku, kutanggalkan semua yang membebani pundakku. Begitu lega, begitu menyenangkan."

Diangkatnya kaki ke atas meja, disandarkan tubuhnya dan dinikmati setiap tarikan napasnya.

Beberapa saat kemudian, A kembali bersama lima sekawannya. Ia ingin bicara, tapi ada yang memotong lidahnya. Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan ia bicarakan. Lidahnya pun tak tahu pemiliknya akan bicara apa.

January 3, 2018

Baju Hitam Mau Liburan

Image result for clothes
Pada suatu malam, ada seorang pemilik baju bernama Siti. Ia baru saja bangun dari tidurnya yang tidak pada jam manusia pada umumnya. Ia bangun untuk menyadari banyak hal yang belum dilakukannya. Seperti mengepak pakaian untuk dibawa keesokan hari yang rupanya sudah jadi hari ini. Mengepak barang-barangyang seharusnya tidak akan menghabiskan waktu se-lama itu. 

"Aku cuman akan pergi tiga hari. Aku tidak akan membawamu terlalu banyak," kata Siti kepada selembar baju kaos hitam di lemari. 

Baju hitam itu mengangguk, "ayo cepat, rapihkan aku ke dalam tas. Jejalkan aku bersama sabun pencuci wajah, pakaian dalam, kaos kaki dan sumpalan telinga yang akan kau bawa nanti!" Rupanya baju itu sudah tidak sabar. Sayangnya, Siti punya terlalu banyak energi malas yang membuatnya malah menulis sebuah postingan tentang malasnya ini. 

Karena Siti tak kunjung datang untuk mengepak dirinya, si baju ini pun turun dari singgasananya di dalam lemari. Ia gotong royong bersama baju-baju lainnya untuk membuat simpul yang sangat panjang, sehingga mereka bisa mencapai ransel yang teronggok di atas lemari. Ransel itu menimpa tubuh mereka dari atas, tapi mereka bisa menyelinap dengan mudah dari reruntuhan itu. Dibukanya resliting ransel, lalu mereka pun melipat tubuh mereka sendiri, menggulung tubuh mereka dan berbarislah mereka dengan rapi di dalam ransel. Baju hitam yang sejak tadi memberi aba-aba pada teman-temannya, mendapat giliran terakhir untuk masuk ke ransel setelah memastikan bahwa semua teman-temannya telah mendarat di dalam tas dengan sempurna. 

"Lihat, kami sudah rapi di sini. Kau harus mengepak barang-barang lainnya. Meski di sini sudah cukup sesak, tapi kau juga butuh handuk, sikat gigi dan charger. Oh iya jangan lupa juga beli paket data, bukankah kau tidak bisa hidup tanpa internet?"

"Huh siapa bilang aku selalu butuh internet. Aku bisa saja bertahan tiga hari tiga malam tanpa membuka ponselku." Siti yang merasa harga dirinya diinjak-injak oleh selembar baju, merasa semakin malas untuk mengepak hal-hal lain yang disebutkan si baju itu. Ia tidak terima dinilai sebagai manusia yang diperbudak oleh internet.

"Jadi, kau mau pergi apa tidak? Cepat berkemas! Jangan sampai aku keluar dari ransel ini hanya untuk mengepakkan barang-barang yang seharusnya menjadi tanggung jawabmu," kata si baju. 

Si pemilik sangat benci dengan si baju yang sangat cerewet. Tahu apa benda itu tentang tanggung jawab? Sok tahu. "Kalau kau mau cepat-cepat pergi, pergilah sendiri. Tidak usah bawa-bawa aku. Aku tidak butuh pergi kema-mana bersama benda berisik sepertimu." Si pemilik tahu bahwa si baju itu tidak akan bisa berkutik tanpa dirinya yang pergi kemana-mana. Si baju tidak punya tiket kereta atas namanya. Oh, ia bahkan tidak punya nama. Menyedihkan. 

"Baiklah, terserah kau saja. Tapi kalau sampai kau terlambat, aku akan pergi sendiri."

Beberapa jam kemudian, rupanya Siti tertidur pulas. Baju-baju yang sudah terlanjur mengepak diri mereka di dalam tas pun menggeleng-geleng heran pada Siti yang ngorok saat tidur. Baju-baju punya tekad sangat bulat untuk pergi dari tempat ini. Bersusah payah mereka menyatukan tenaga untuk membuat ransel bergerak. Usaha itu pun membuahkan hasil. Mereka tiba di stasiun kereta api, meletakkan diri di salah satu kursi penumpang atas nama Siti dan berangkat menyambut hari libur. 

January 2, 2018

Yang Kepalanya Meledak


Image result for malam tahun baru
Pada jaman dahulu kala, ada orang yang terkenal karena kepalanya yang meledak pada malam tahun baru. Namanya Mark. Mark adalah orang yang paling senang saat malam pergantian tahun. Ia jadi gegap gempita gara-gara kembang api yang indah itu. Ia juga senang berada di tengah-tengah lautan manusia yang memenuhi lapangan maha luas di ibu kota untuk menyambut tahun baru. Ia pun bahagia saat orang-orang saling mengucapkan selamat tahun baru, setelah jam menunjuk angka 12.

Namun, setelah malam tahun baru, kehidupan Mark jadi kembali menyedihkan. Ia bertanya-tanya kapan kaya raya tapi pekerjaannya begitu-gitu saja, ia bertanya kapan jodohnya datang tapi tak ada yang peduli. Akibat "kapan" yang menumpuk-numpuk itu, mata Mark tidak lagi bisa melihat. Satu-satunya yang bisa dilihat adalah tanda tanya yang sangat amat besar dengan satu kata yang amat besar pula, KAPAN? Akibatnya, kegiatan sehari-hari Mark pun kacau balau karena KAPAN? telah membuat matanya buta.

Mark pun ingat pada cita-cita masa kecilnya. Ia ingin menjadi pembuat kembang api. Kata Mark, dengan membuat kembang api, ia bisa jadi senang seperti pada malam tahun baru dan tidak perlu merenungi kebutaannya. Jadilah Mark seorang pembuat kembang api. Meski tak bisa melihat, bunyi ledakan kembang api itu bisa membuat Mark senang juga. Banyak orang yang memuji kembang api buatan Mark. Senang dipuji, akhirnya Mark pun memohon pada Dewa Tahun Baru supaya matanya dimampukan lagi untuk melihat kembang apinya pada malam tahun baru nanti. Meski senang dengan pekerjaannya, tapi Mark masih tidak mengerti mengapa Dewa tidak membiarkannya bisa melihat. Padahal, kalau bisa melihat pasti akan lebih banyak kembang api bagus yang bisa dibuatnya.

Setelah, menanti-nanti sepanjang tahun, malam tahun baru pun tiba lagi. Malam yang telah ditunggu-tunggunya sepanjang tahun. Tepat tengah malam, kembang api pun bersahutan dimana-mana.  Semua orang memborong kembang api Mark untuk diledakkan di halaman rumah bersama keluarga dan teman-teman. Mark tak meninggalkan lapak kembang apinya, ia masih menanti matanya pulih kembali. Sambil mendengar kembang api yang bersahut-sahutan, Mark semakin gelisah dan bertanya-tanya kenapa Dewa tak kunjung memberinya penglihatan.

Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam, orang-orang sudah mengucapkan selamat tahun baru dan bunyi kembang api semakin meriah. Tiba-tiba, kepala Mark ikut meledak bersama kembang api. Tidak ada yang menyadari hal itu, karena semua orang sedang bersuka cita dan suara kembang api menutupi jeritan Mark. Konon katanya, kepala Mark meledak karena Dewa ingin menjawab pertanyaan Mark tentang tentang penyebab matanya yang buta. Dewa juga ingin memberi alasan jodoh Mark yang tak kunjung datang atau Mark yang tak kunjung kaya raya. Tapi ternyata, isi kepala Mark terlalu kecil untuk bisa mengerti penjelasan dari Sang Dewa yang sangat rumit. Malang nasibnya, meledaklah isi kepala Mark.