April 17, 2020

laurie

we exchanged glances last afternoon
under the shade of a big tree
by the nearby store

"let me come with you," he seduced, whispering
he grabbed me by the hand,
so tightly

i told him i fell in love,
with a fictional character
"laurie," i said the fictional name
"curly brown hair, ocean eyes, freckles,
"never been in my life met a boy but all black-eyed," i announced
"i'm not black-eyed," he proudly claimed
i agreed

a moment later,
i get him a white little coffin,
for him to stay,
for me watch him alive,
and die.

April 13, 2020

Anita mau minum kopi


Anita tidak memulai ceritanya dengan terbangun di pagi hari, karena nyatanya semalam ia tidak tidur dan sekarang sudah siang. Anita ingin gosok gigi dan cuci kaki, akan tetapi ia selalu diajarkan untuk gosok gigi dan cuci kaki sebelum tidur. Sekarang, Anita sedang tidak ingin tidur, karena ia baru saja bangun tidur. Anita pun tidak jadi gosok gigi dan cuci kaki. Alih-alih, ia pergi ke dapur, ingin membuat kopi.

Anita ingat bahwa kopinya sudah hampir habis, tapi belum benar-benar habis. Kira-kira masih bisa untuk membuat satu cangkir lagi. Namun, malang nasib Anita, wadah tempat ia menyimpan kopi rupanya sudah kosong melompong, seperti empat gigi seri Rosyid, adik sepupu Anita, usia lima tahun yang tidak pernah diajarkan ibunya untuk gosok gigi. Tidak seperti Anita yang sejak baru lahir, sejak badannya masih merah mengkerut dari dalam rahim, sejak sebelum ada gigi muncul, sampai gigi susunya satu per satu tumbuh, lalu satu per satu tanggal berganti gigi permanen, Ayah dan Ibunya tidak pernah alpa mengingatkannya untuk menggosok gigi. 

Anita bergidik kalau ingat bagaimana dulu orang tuanya mengingatkan, lebih tepatnya memaksa, memaksa Anita untuk ke kamar mandi dan membuka mulut. Anita punya adik perempuan yang saat itu kepalanya bulat seperti buah kelapa dan rambutnya mencuat-cuat seperti sabut kelapa, namanya Fantasia. Anita sendiri yang memberi nama, karena saat itu ia ingin sekali pergi bermain ke Fantasia. Fantasia menangis nyaring sekali di ambang pintu, menonton penderitaan kakaknya, yang sebentar lagi juga akan menjadi penderitaannya. Anita selalu menghitung detik demi detik giginya yang mungil digosok dengan pasta rasa stroberi. Anita tidak pernah suka wangi stroberi, saat teman-teman Anita di taman kanak-kanak selalu beli susu dan camilan yang rasa stroberi, ia lebih suka minum air putih yang kemana-mana dibawanya dalam botol plastik berbentuk telepon genggam kuning berantena merah. Telepon genggam itu sering digunakan Anita untuk menelepon Fantasia yang sering membuntut di belakangnya. 

Kabinet di atas kompor hanya menyimpan setoples teh dan gula. Ada garam, lada hitam, lada putih, ketumbar bubuk, bawang putih bubuk, dan penyedap rasa berjejer-jejer, tetapi Anita tidak bisa membuat kopi dengan bahan-bahan itu. Anita terheran-heran, karena dari empat anggota keluarga yang tinggal di rumah ini, hanya Anita yang suka minum kopi. Anita mendengar suara nyaring televisi dari ruang tengah, Ibu menyemprot pewangi ke baju yang disetrikanya, Bapak rebahan sambil menggali lubang hidungnya, Fantasia berfantasi dengan buku bacaannya, tidak satu pun dari bertiga itu yang sedang minum kopi. 

Kata orang di televisi, semua orang di seluruh dunia sedang tidak boleh keluar rumah. Ada virus dimana-mana, ada wabah yang bisa membunuh anak-anak, orang muda, dan orang tua. Waspada. Harus sering cuci tangan. Dilarang batuk dan bersin sembarangan. Gara-gara kata orang di televisi itu, sudah tiga minggu ini Anita tidak keluar rumah. Sendi-sendinya mulai kaku, otot-ototnya mulai melembek, lambungnya meronta-ronta akibat kebanyakan telur dan kecap. Tidak masalah bagi Anita. Selama ada kopi, Anita senang, tapi tidak hari ini.

“Ada yang minum kopi punya Anita?” seru Anita dari dapur. Ada yang menyahut tidak, ada yang menyuruh cari kopinya dengan benar mana tahu terselip di antara beras dan mi instan, ada yang balik berseru, “diminum Si Korona!” 

Anita mengumpat dan membanting pintu kabinet sampai engselnya rompel. Ia ditegur Ibu, katanya anak gadis tidak boleh mengumpat. Ibu tidak tahu bahwa engsel kabinet favoritnya rompel gara-gara Anita mengumpat. Anita balik menyahut teguran Ibu, ia bilang bahwa: pertama, tidak ada hubungannya antara menjadi gadis dan tidak mengumpat; kedua, mengumpat adalah cara untuk mengekspresikan emosi yang tidak membahayakan siapa pun; dan ketiga, Anita belum sempat memikirkan pembelaan dirinya yang ketiga, karena Fantasia keburu menyela, “tinggal beli ke warung saja, apa susahnya?” 

“Susah! Ada Si Korona!” omel Anita. “Kalau tidak ada yang minum, seharusnya ada di sini. Di toples ini. Tapi ini kemana? Bapak, Ibu, Fanta, tidak ada yang mengaku. Sudah dicari di antara beras, mi instan, sarden, telur, teh, minyak goreng, tidak ada dimana-mana! Makanan kita kan cuma ini-ini saja selama di rumah. 

“Kita juga tidak punya pembantu yang suka minum kopi. Lagian, kita kan tidak punya pembantu. Kalau pun punya, dia juga tidak akan ada di sini saat ini. Dia akan pulang kampung! Pulang seperti orang-orang di televisi itu! Disuruh tidak kemana-mana, malah keluyuran. Dasar bandel! Nanti sakit yang repot siapa? Negara, kan? Nanti kalau Anita keluar beli kopi, pulang-pulang kena Si Korona, yang repot siapa? Ibu, Bapak, Fanta. Semua, kan? Makanya, tolonglah mengaku saja siapa yang minum kopi Anita. 

“Apa perlu Anita cek satu-satu bau mulutnya? Yang bau kopi dan tidak gosok gigi setelah minum kopi adalah pelakunya. Dulu mau gosok gigi juga dipaksa, beli pasta gigi juga dipaksa harus yang stroberi. Oh, Fantasia! Cuma dia yang senang stroberi. Hanya dia! Lihat dia sekarang! Terpaksa baca buku padahal sukanya stroberi. Terpaksa diam di rumah, padahal senang kelayapan. Sekarang sudah sebesar ini, lalu menuduh Si Korona yang ambil kopi. Tidak masuk akal! Kalau benar Si Korona itu yang minum, Anita akan keluar, minta pertanggungjawaban, suruh dia beli kopi baru.”

“Fanta, bantu kakakmu cari kopinya!” perintah Ibu. Setrikaannya masih menggunung meski cairan pewanginya sudah menipis, Bapak masih setengah sadar dengan telunjuk masih menancap di lubang hidung, Fantasia masih pura-pura tidak mendengar sampai Ibu mengulang perintahnya tiga kali. 

Fantasia mendatangi Anita. Ia tiba di dapur dan menemukan sebuah kekacauan: pintu kabinet rompel, pintu kulkas terbuka lebar, bayam, kangkung, wortel, buncis, tahu, tempe, telur, sarden, beras, bumbu dapur, berenang-renang di atas lantai bersama minyak goreng, susu cair, dan air yang mengalir dari bak cuci piring. Anita berada di antaranya, kedua tangannya meraba-raba, membolak-balik, meraih-raih, membuka, menutup. Ia berdiri dan terpeleset, berusaha bangkit dan gagal, lalu mengumpat berkali-kali. Ibu mendengar umpatannya dan ia pun ditegur berkali-kali. 

“Jangan diam saja! Bantu aku berdiri!” Anita mengulurkan tangannya. Tangannya diraih Fantasia, pelan-pelan ia mengangkat tubuhnya. Gagal. Fantasia pun kehilangan pijakan. Mereka tumbang dan basah kuyup. Mereka mencoba lagi dan gagal lagi. Tubuh mereka semakin kuyup. 

Anita terbangun di pagi hari. Bukan, bukan untuk mengawali ceritanya, karena ceritanya sudah berakhir. Ia terbangun dan tidak menemukan kesibukan di ruang tengah, tidak ada kekacauan di dapur, tidak ada tubuh yang kuyup, tidak ada Fantasia yang jatuh bersamanya. Hanya ada secangkir kopi di genggamannya. Hangat. Wangi. Bukan, bukan wangi stroberi. Ini wangi kegemarannya, wangi kopinya yang tadi raib. 

. . .