October 17, 2023

Hampir Sebulan

Sudah hampir satu bulan dua orang itu duduk-duduk dan tidur-tiduran di tempat asing. Bumbu instan yang mereka beli berlusin-lusin dari toko Asia terdekat, nyaris tanpa sisa dalam kurun waktu seminggu. Belum. Mereka belum sanggup makan roti kebanyakan isian itu. Satu waktu, mereka masih menggelandang, pindah hotel ke hotel, maka makan roti adalah satu-satunya pilihan untuk bertahan hidup. Berkaca-kaca sepasang mata mereka, saking hambar rasa lidah mereka. Setelah hotel terakhirpenginapan dengan empat ranjang tingkat sekamar, delapan penghuni (empat putih, tiga coklat, sisanya sawo matang dan kuning), dan dua penginapan sebelumnya yang sempitnya bukan mainmereka akhirnya bisa berbaring tanpa khawatir nanti harus geret-geret koper ke mana lagi. 

Jauh-jauh hari sebelum mereka tiba di tempat asingsaat mereka masih santai-santai di tanah air menikmati lele penyet dan telur gulungmereka sudah cari-cari tempat tinggal. Saat sudah tiba, mereka mampir ke tiga calon tempat tinggal dan selalu gagal dapat yang cocok. Satu waktu, mereka nyaris menyerah: telapak tangan merah padam akibat menggeret koper di tanjakan; otot-otot punggung keseleo akibat kejauhan menggendong ransel; dan isi rekening menipis drastis dalam tempo singkat. Akhirnya, mereka tiba di calon rumah yang akhirnya sudah hampir tiga minggu ini mereka nobatkan sebagai tempat mereka pulang. 

Sebelum itu, salah satu dari mereka, Si Perempuan, sempat sesenggukan berhari-hari akibat rindu. 

"Betapa sulit hidup di sini," jerit benaknya. 

Ia tidak suka harus jalan kaki berkilo meter hanya untuk cari daun bawang dan beras, ia juga tidak suka harus bergumul di balik selimut dan pakai kaos kaki setiap saat, tidak suka menghabiskan uang dengan nominal tidak masuk akal hanya untuk bayar tempat tinggal per minggu, tidak suka jauh-jauh dari adik kecilnya yang bisa jadi kebingungan mau main ke mana tanpa kakak perempuannya. Sekian ribu daftar hal yang tidak ia suka berjejalan di benaknya, menimbulkan tangis yang baru habis setelah napasnya jadi sesak. 

"Tidak apa-apa, aku bisa sendiri. Kalau kamu pingin, kamu boleh pulang," Si Laki-laki menenangkan. Tuturnya lembut, pelan, tubuhnya tak jauh-jauh dari rengkuhan Si Perempuan yang masih sesak napasnya. Ia khawatir, ia ingin menyelamatkan perempuannya, meski ia pun tak yakin bagaimana caranya bertahan seorang diri. 

Siang perlahan jadi gelap, awan bergumpalan dengan semburat oranye di sekujur tubuhnya, deru pesawat mondar-mandir dengan lampu kelap-kelip. Dua orang itu duduk-duduk di meja kursi mereka yang baru sampai tiga hari lalu, menyesap susu dari gelas masing-masing, menyeruput tetes terakhir kuah rawon bumbu instan, sambil tak lupa takjub pada lukisan agung di balik jendela rumah mereka. 

Pada siang yang lain, mereka berbaring di bawah pohon beralaskan kain biru yang dipakai Si Perempuan untuk menari Bali 13 tahun yang lalu, mereka bawa sebungkus roti tawar gandum yang tinggal empat lembar, sebotol madu yang sisa separo, dan sebuah buku dari pasar kaget barang antik dekat rumah yang rupanya buka setiap akhir pekan. Di bawah bukit, pasir putih selembut sutera jadi lahan berjemur dan bermain voli. Terik berganti sepoi-sepoi angin yang membuat bulu kuduk berdiri. 

Pada siang yang lain, Si Perempuan menunggu air rebusan ayam mendidih sembari menulis di jurnal oranye-nyahadiah ulang tahun yang ke-27 dari Om dan Tante. Ia sampaikan pada Si Oranye, bahwa tempat asing ini akan ia nobatkan jadi rumah barunya, setidaknya selama empat tahun ke depan. Rumah beserta semua gumpalan awan bersemburat oranye dan deru lalu lalang pesawat di jendelanya, beserta semua kilometer yang harus ditempuh untuk beli daun bawang dan beras, beserta semua telapak kaki dan tangan yang menggigil meski sudah bergumul di selimut. 


Tentu ia masih rindu. Teramat sangat. Ia kini mengaku bahwa tubuh dan benaknya terbuat dari rindu. Ia akan lelap, makan, main, kagum, dan bercinta dengan jutaan rindu di tubuh dan benaknya. 

Senja itu datang lagi beserta semburatnya. Si Laki-laki duduk lagi di samping Si Perempuan. Pesawat yang lalu lalang tak henti bergemuruh. Si Perempuan bersandar lagi di bahu lelakinya, mengijinkan dirinya untuk menikmati apa yang ia punya hari ini.