June 8, 2016

Menjadi Tua dan Ketidakterbatasan



2 Ramadhan 1437 H

Tarawih. Seperti malam-malam Ramadhan lainnya. Berjumpa dengan orang-orang, jalan dari kosan ke masjid, memburu pahala yang tidak ada di hari lain, duduk mendengarkan ceramah yang setiap tahun selalu kudengar. Isinya serupa, mirip, intinya sama: mengajak pada kebaikan, mengingatkan untuk tadarus, solat sunah, sedekah dan amalan-amalan lainnya. Tapi aku bosan, perhatianku teralih pada seorang nenek di sebelahku. Tubuhnya diselimuti mukena putih, namun aku bisa melihat nadi-nadi yang menyembul dari tangannya. Diam-diam kuamati wajahnya yang mungkin 40 tahun lebih tua dariku. Tanpa sadar aku tersenyum. Tangan dan wajahku. . akan menjadi seperti miliknya.

Aku tersenyum lagi. Dulu saat seusiaku, apakah nenek itu juga bertanya-tanya bagaimana wajahnya saat tua nanti? Apakah dia juga tarawih di sebelah seorang nenek, lalu membayangkan dirinya akan menjadi seperti itu? Apakah dia juga bosan dengan ceramah yang intinya itu-itu saja sehingga lebih memilih memperhatikan nenek yang duduk di sebelahnya? Diam-diam aku bertanya lagi. Apa yang ia lakukan untuk membunuh waktu hingga ia bisa sampai pada usianya sekarang? Apakah ia berharap kembali dan mengulang semuanya? Ataukah ia punya masa muda yang paling membahagiakan sehingga wajanya tetap cantik meski keriput? Tapi aku tidak benar-benar bertanya. Aku hanya senyum-senyum sambil sesekali teralihkan oleh seruan-seruan pada kebaikan oleh khotib dari mimbarnya. 

Saat aku kecil, bayangan menjadi dewasa sungguh terlalu jauh sehingga aku tidak terlalu memikirkannya. Membiarkan waktu demi waktu di masa permainanku berlalu, tapi akhirnya aku tiba di sini. Di masa yang dulu tidak pernah kubayangkan akan sungguh hadir. Aku bisa saja menyesal dengan 20 tahun kehidupanku, tapi aku memutuskan untuk tidak menyesal. Aku bisa saja menulis berpuluh-puluh novel dengan kisahku selama dua puluh tahun ini. Kisahku yang dulu pernah bercita-cita sebagai astronot, sampai kutanggalkan mimpi itu untuk membangun mimpi menjadi ilustrator majalah bobo, sampai menjadi kakak redaksi majalah bobo. Tentang kejadian-kejadian yang silih berganti, berdatangan seperti barisan semut yang menggotong gula. Tentu saja aku bisa. Mengapa tidak?

Orang-orang menjadi tidak puas karena mereka pikir hanya bisa mencapai sangat sedikit. Mereka pikir kemampuan mereka hanya selangkah padahal mereka bisa berlari dan melompat. Mereka membuat keterbatasan mereka sendiri, lalu menjadi gila dalam kerangkeng itu. Berpikir sebentar lagi mereka akan tua dan mati lalu dikubur. Aku tersenyum. Aku tersenyum karena Ramadhan ini membuatku sadar, aku mencintai hidupku. Aku mencintai semua yang terjadi di dalam hidupku, termasuk orang-orang yang ikut bermain peran bersamaku dalam drama singkat ini. Termasuk Tuhan yang jadi sutradara, menggerakan aktornya ke kiri dan kanan. Aku bahkan mencintai kebencian, kemarahan, penghianatan, kekecewaan, dan segala emosi negatif yang sempat diminta Sang Sutradara agar aku merasakannya. 

Karena rupanya hidup tidak sesempit isi batok kelapa. Tidak sesempit langit, samudera dan awan-awan yang berarak bersebaran di atas sana. Hidup adalah seluas ketidakterbatasan. Infinite. Masa tua akan datang terlalu cepat, masa muda pun berlalu terlalu lekas. Pada akhirnya kita akan sampai ke liang kubur lalu bertemu Tuhan. Jika tidak mencintai secara tak terbatas, lalu mau ngapain? Hidup hanya sesederhana dan sesingkat itu. 
Share:

0 comments:

Post a Comment