2 Ramadhan 1437 H
Tarawih. Seperti malam-malam Ramadhan
lainnya. Berjumpa dengan orang-orang, jalan dari kosan ke masjid, memburu pahala
yang tidak ada di hari lain, duduk mendengarkan ceramah yang setiap tahun
selalu kudengar. Isinya serupa, mirip, intinya sama: mengajak pada kebaikan,
mengingatkan untuk tadarus, solat sunah, sedekah dan amalan-amalan lainnya. Tapi
aku bosan, perhatianku teralih pada seorang nenek di sebelahku. Tubuhnya diselimuti
mukena putih, namun aku bisa melihat nadi-nadi yang menyembul dari tangannya. Diam-diam
kuamati wajahnya yang mungkin 40 tahun lebih tua dariku. Tanpa sadar aku
tersenyum. Tangan dan wajahku. . akan menjadi seperti miliknya.
Aku tersenyum lagi. Dulu saat
seusiaku, apakah nenek itu juga bertanya-tanya bagaimana wajahnya saat tua
nanti? Apakah dia juga tarawih di sebelah seorang nenek, lalu membayangkan dirinya
akan menjadi seperti itu? Apakah dia juga bosan dengan ceramah yang intinya
itu-itu saja sehingga lebih memilih memperhatikan nenek yang duduk di
sebelahnya? Diam-diam aku bertanya lagi. Apa yang ia lakukan untuk membunuh
waktu hingga ia bisa sampai pada usianya sekarang? Apakah ia berharap kembali
dan mengulang semuanya? Ataukah ia punya masa muda yang paling membahagiakan
sehingga wajanya tetap cantik meski keriput? Tapi aku tidak benar-benar
bertanya. Aku hanya senyum-senyum sambil sesekali teralihkan oleh seruan-seruan
pada kebaikan oleh khotib dari mimbarnya.
Saat aku kecil, bayangan menjadi
dewasa sungguh terlalu jauh sehingga aku tidak terlalu memikirkannya. Membiarkan
waktu demi waktu di masa permainanku berlalu, tapi akhirnya aku tiba di sini. Di
masa yang dulu tidak pernah kubayangkan akan sungguh hadir. Aku bisa saja
menyesal dengan 20 tahun kehidupanku, tapi aku memutuskan untuk tidak menyesal.
Aku bisa saja menulis berpuluh-puluh novel dengan kisahku selama dua puluh
tahun ini. Kisahku yang dulu pernah bercita-cita sebagai astronot, sampai kutanggalkan
mimpi itu untuk membangun mimpi menjadi ilustrator majalah bobo, sampai menjadi
kakak redaksi majalah bobo. Tentang kejadian-kejadian yang silih berganti,
berdatangan seperti barisan semut yang menggotong gula. Tentu saja aku bisa. Mengapa
tidak?
Orang-orang menjadi tidak puas
karena mereka pikir hanya bisa mencapai sangat sedikit. Mereka pikir kemampuan
mereka hanya selangkah padahal mereka bisa berlari dan melompat. Mereka membuat
keterbatasan mereka sendiri, lalu menjadi gila dalam kerangkeng itu. Berpikir sebentar
lagi mereka akan tua dan mati lalu dikubur. Aku tersenyum. Aku tersenyum karena
Ramadhan ini membuatku sadar, aku mencintai hidupku. Aku mencintai semua yang
terjadi di dalam hidupku, termasuk orang-orang yang ikut bermain peran
bersamaku dalam drama singkat ini. Termasuk Tuhan yang jadi sutradara,
menggerakan aktornya ke kiri dan kanan. Aku bahkan mencintai kebencian,
kemarahan, penghianatan, kekecewaan, dan segala emosi negatif yang sempat
diminta Sang Sutradara agar aku merasakannya.
Karena rupanya hidup tidak sesempit
isi batok kelapa. Tidak sesempit langit, samudera dan awan-awan yang berarak
bersebaran di atas sana. Hidup adalah seluas ketidakterbatasan. Infinite. Masa tua
akan datang terlalu cepat, masa muda pun berlalu terlalu lekas. Pada akhirnya
kita akan sampai ke liang kubur lalu bertemu Tuhan. Jika tidak mencintai secara
tak terbatas, lalu mau ngapain? Hidup hanya sesederhana dan sesingkat
itu.
0 comments:
Post a Comment