May 15, 2016

Forgiving


Aku pikir aku mengerti, ternyata tidak sama sekali. Aku pikir aku bisa bertanya lalu mengobservasi dan mengerti segalanya, tapi ternyata tidak sama sekali. Aku berusaha, pura-pura bijak, tidak men-judge, mendengarkan dengan tidak sekedar mendengar, namun rupanya aku tidak mengerti juga. Terkadang aku membangun tembok empati yang ketinggian agar bisa membayangkan menjadi dirinya, tapi aku takut bayanganku dibilang sok tau, jadi kuputuskan untuk benar-benar tidak mengerti. Aku ingin berpikir dengan caranya berpikir, namun aku tidak tahu caranya mewujudkan keinginan tersebut kecuali isi kepala kami benar-benar ditukar. Aku ingin merasakan seperti caranya merasa, melihat orang lain seperti caranya melihat, tapi sama saja, aku tidak dapat benar-benar mengalaminya kecuali perasaan dan pandangan kami ditukar.

Setidaknya aku telah mencoba, meski tidak seratus persen sama, setidaknya aku berusaha untuk tidak bertindak egois. Aku mempertimbangan berbagai sudut pandangan sebelum bicara yang banyak dan menyakitkan. Aku tidak ingin bicara hanya karena isi kepalaku yang memerintahkan, tidak ingin bicara juga hanya karena emosiku yang berkehendak. Aku akan bicara dengan meminimalisir kemungkinan kekecewaan, aku akan bicara setelah memosisikan diriku sebagai orang yang diajak bicara. Berusaha bertindak jauh dari subjektivitas isi kepala dan ulu hatiku, meski objektivitas adalah kumpulan dari subjektivitas. 

Hingga kini aku belum bisa mengerti dengan keberadaan orang-orang yang dikecewakan lalu tidak memaafkan hingga bertahun-tahun. Ya mungkin karena aku tidak pernah benar-benar berada di posisi mereka, tapi setidaknya aku pernah dikecewakan meski tidak berdampak apa pun terhadap kehidupanku. Aku bisa saja mengamuk lalu marah-marah, membanting gelas kaca, piring, mengotori mulutku dengan sumpah serapah, tapi tentu saja aku tidak melakukannya. Aku bisa saja menarik diri dalam diam, kabur perlahan, tidak memaafkan, lalu dendam selama-lamanya, tapi aku tidak ingin menodai ulu hatiku. Aku harus menghadapi apa yang semestinya kuhadapi. Masalah tidak akan menyelesaikan dirinya sendiri jika ditinggalkan empunya yang lari tunggang langgang. Masalah ada untuk membuat empunya semakin dewasa dan mengajarkannya cara bicara yang benar, juga mengatur kognitif dan afektif yang benar. Aku pun memilih demikian. 

Meski berusaha menghadapi sebaik-baiknya, entah mengapa aku merasa menjadi orang paling jahat sedunia. Karena kuutarakan semua pemikiran dan perasaanku di depan manusia yang memang kutuju. Aku tidak ingin melihat matanya seandainya ia tidak bermata, tapi kemana harus kuarahkan pandangan jika tidak pada manusia yang ada di hadapanku itu? Kemana harus kuarahkan jika tidak pada sepasang mata yang tertunduk menghindari tatapan balik? Kemana harus kulontarkan pembicaraan yang menahan getar pada pita suara atau lonjakan intonasi itu jika tidak pada dia yang bahkan kesulitan membalas ucapanku?   

Tiba-tiba aku ingin menarik semua ucapanku karena rasanya aku terlalu jahat. Karena rasanya aku membuatnya kehabisan kata-kata dan pandangan. Tapi partikel udara di sekitar kami sudah memproses gelombang suaraku masuk ke gendang telinga dan syaraf-syaraf isi kepala punya dia. Sudah telanjur. Aku hanya bisa menelan ludah sambil menunggu responnya tapi ternyata ia hanya mengamini ucapanku dengan tetap membuang pandangan. 

Sejauh ini aku belum tahu apakah yang kulakukan sudah tepat. Yang kutahu hanya aku telah membuang apa yang perlu dibuang. Bilang aku egois. Bilang aku jahat. Memang. Human do survive with being selfish and evil. They think, feel, act, speak, and hurt others. But there’s a thing that no other living creature could possibly do.. forgiving.
Share:

0 comments:

Post a Comment