Aku pikir aku mengerti, ternyata
tidak sama sekali. Aku pikir aku bisa bertanya lalu mengobservasi dan mengerti
segalanya, tapi ternyata tidak sama sekali. Aku berusaha, pura-pura bijak,
tidak men-judge, mendengarkan dengan tidak
sekedar mendengar, namun rupanya aku tidak mengerti juga. Terkadang aku
membangun tembok empati yang ketinggian agar bisa membayangkan menjadi dirinya,
tapi aku takut bayanganku dibilang sok tau, jadi kuputuskan untuk benar-benar tidak
mengerti. Aku ingin berpikir dengan caranya berpikir, namun aku tidak tahu
caranya mewujudkan keinginan tersebut kecuali isi kepala kami benar-benar
ditukar. Aku ingin merasakan seperti caranya merasa, melihat orang lain seperti
caranya melihat, tapi sama saja, aku tidak dapat benar-benar mengalaminya
kecuali perasaan dan pandangan kami ditukar.
Setidaknya aku telah mencoba, meski
tidak seratus persen sama, setidaknya aku berusaha untuk tidak bertindak egois.
Aku mempertimbangan berbagai sudut pandangan sebelum bicara yang banyak dan
menyakitkan. Aku tidak ingin bicara hanya karena isi kepalaku yang
memerintahkan, tidak ingin bicara juga hanya karena emosiku yang berkehendak. Aku
akan bicara dengan meminimalisir kemungkinan kekecewaan, aku akan bicara
setelah memosisikan diriku sebagai orang yang diajak bicara. Berusaha bertindak
jauh dari subjektivitas isi kepala dan ulu hatiku, meski objektivitas adalah
kumpulan dari subjektivitas.
Hingga kini aku belum bisa mengerti
dengan keberadaan orang-orang yang dikecewakan lalu tidak memaafkan hingga
bertahun-tahun. Ya mungkin karena aku tidak pernah benar-benar berada di posisi
mereka, tapi setidaknya aku pernah dikecewakan meski tidak berdampak apa pun
terhadap kehidupanku. Aku bisa saja mengamuk lalu marah-marah, membanting gelas
kaca, piring, mengotori mulutku dengan sumpah serapah, tapi tentu saja aku
tidak melakukannya. Aku bisa saja menarik diri dalam diam, kabur perlahan, tidak
memaafkan, lalu dendam selama-lamanya, tapi aku tidak ingin menodai ulu hatiku.
Aku harus menghadapi apa yang semestinya kuhadapi. Masalah tidak akan
menyelesaikan dirinya sendiri jika ditinggalkan empunya yang lari tunggang
langgang. Masalah ada untuk membuat empunya semakin dewasa dan mengajarkannya
cara bicara yang benar, juga mengatur kognitif dan afektif yang benar. Aku pun
memilih demikian.
Meski berusaha menghadapi
sebaik-baiknya, entah mengapa aku merasa menjadi orang paling jahat sedunia. Karena
kuutarakan semua pemikiran dan perasaanku di depan manusia yang memang kutuju. Aku
tidak ingin melihat matanya seandainya ia tidak bermata, tapi kemana harus
kuarahkan pandangan jika tidak pada manusia yang ada di hadapanku itu? Kemana harus
kuarahkan jika tidak pada sepasang mata yang tertunduk menghindari tatapan
balik? Kemana harus kulontarkan pembicaraan yang menahan getar pada pita suara
atau lonjakan intonasi itu jika tidak pada dia yang bahkan kesulitan membalas
ucapanku?
Tiba-tiba aku ingin menarik
semua ucapanku karena rasanya aku terlalu jahat. Karena rasanya aku membuatnya
kehabisan kata-kata dan pandangan. Tapi partikel udara di sekitar kami sudah
memproses gelombang suaraku masuk ke gendang telinga dan syaraf-syaraf isi
kepala punya dia. Sudah telanjur. Aku hanya bisa menelan ludah sambil menunggu
responnya tapi ternyata ia hanya mengamini ucapanku dengan tetap membuang
pandangan.
Sejauh ini aku belum tahu apakah
yang kulakukan sudah tepat. Yang kutahu hanya aku telah membuang apa yang perlu
dibuang. Bilang aku egois. Bilang aku jahat. Memang. Human do survive with being selfish and evil. They think, feel, act, speak,
and hurt others. But there’s a thing that no other living creature could possibly
do.. forgiving.
0 comments:
Post a Comment