May 29, 2021

Lepas Jilbab

Malam itu, aku mengaku pada Ibu bahwa aku melepas jilbab. Ibu menangis dramatis. Tangisku kutahan tapi tidak berhasil. Adikku ikut campur. Ia membelaku. Aku yang tadinya hanya ingin mendengarkan, jadi ikut bicara membela diri. 

Kusampaikan betapa menderitanya aku selama ini dan betapa tidak tahunya Ibu tentang penderitaanku selama ini. Ibu terheran-heran. Bagaimana mungkin anak perempuan sulungnya yang pintar, cantik, solehah dan patuh pada orang tua ini menderita. Stres. Depresi. Apa mungkin? Tidak masuk akal! 

Aku dituduh membual. Aku dituduh membuat-buat. Mentang-mentang aku kuliah di psikologi dan sedang kuliah profesi, jadi bisa tiba-tiba mencari pembelaan lewat keilmuanku. Tentu saja aku tidak membual. Orang macam apa yang mau menderita hanya untuk membual. 

Aku menangis, tak tahan disalah-salahkan terus. Aku menangis, karena yang kutakutkan terjadi: tidak ada yang percaya apa yang kualami. Adikku berdiri, berjingkrak-jingkrak sambil berteriak-teriak. Ia menangis untuk membelaku mati-matian. 

"Sudah, Bu. Kasihan dia." Begitu katanya. Nadanya tinggi, tangisnya meluap-luap. "Sekarang dia mencoba untuk kasih tahu Ibu apa yang dia pingin. Biarkan dia dengan keinginannya."

Ibu menyahut dengan nada tak kalah tinggi. "Apa salah Ibu kaget? Apa salah selama ini Ibu menjadikan kamu anak yang pintar? Salah Ibu?"

Tak heran jika Ibu kaget. Aku sangat maklum. Aku telah menjadi anak kebanggaannya selama ini. Tak heran juga aku tidak pernah cerita apa-apa pada Ibu. Aku tidak ingin Ibu tahu bahwa aku tidak baik-baik saja. 

Keputusanku lepas jilbab ini tidak berdiri sendiri. Ia bukan keputusan yang bisa serta merta dilihat begitu saja lalu dinilai begitu saja. Alasan dari suatu keputusan tidak dapat dicerabut begitu saja dari kejadian-kejadian lain dalam kehidupanku. Lepas jilbab itu sendiri pun tidak dapat dilihat semata-mata sebagai lepas jilbab titik. Selesai. Salah. Dosa. Neraka. Jika memang hidup semudah itu, mengapa nyatanya tidak?

Andai memang semudah itu, tadinya hanya itu saja yang rencananya akan kuceritakan pada Ibu. Perihal itu saja. Titik. Selesai. Nyatanya tidak. 

"Ibu tahu apa tentang aku? Ibu tidak tahu apa-apa? Apa Ibu tahu aku menangis tiap malam berharap hidupku segera berakhir? Apa Ibu tahu aku membayangkan skenario-skenario kematian hampir setiap hari? Ibu tidak tahu. Ibu tidak pernah tahu. 

"Apa Ibu tahu aku tidak pernah suka belajar? Aku tidak suka menanti-nanti setiap malam minggu hanya untuk menunggu diperbolehkan menonton televisi. 

"Apa Ibu tahu aku menyalahkan diriku atas perceraian yang terjadi antar dua orang dewasa yang kebetulan adalah orang tuaku? Aku mengandaikan jika hari itu aku tidak pulang ke rumah jalan kaki, apakah Ayah Ibu masih bersama. Aku mengandaikan jika hari itu aku pulang lebih awal, mungkin Ayah Ibu akan masih bersama. Apa Ibu tahu aku mempercayai itu hingga aku benar-benar diberitahu bahwa kalian bercerai bukan karena salahku?

"Apakah Ibu benar-benar membayangkan aku se-begitu hebatnya sampai Ibu dan Ayah tidak berpikir bahwa aku tidak perlu penjelasan tentang apa yang terjadi pada kalian? Apakah aku se-begitu hebatnya sampai aku tidak perlu diberi tahu bahwa aku boleh gagal? Bahwa aku bisa mencoba lagi setelah aku gagal? Bahwa aku akan tetap menjadi kebanggaan kalian meski aku gagal? Se-begitu hebatnya kah kalian menganggapku sehingga aku tidak pantas mendapatkan penjelasan kalian?

"Aku cuma anak kecil, Bu. Aku tidak tahu apa-apa. Aku tidak mengerti apa-apa sampai ada orang dewasa yang meluangkan sedikit, dari waktu-waktu bertengkar dan bekerja kalian yang berharga itu, untuk membuatku mengerti. 

"Lalu sekarang Ibu terheran-heran kenapa aku begini? Apa yang mengherankan, Bu. Ibu, Ayah, memang tidak pernah. Tidak pernah. Duduk disampingku, menyentuh punggungku, memelukku, lalu bilang padaku bahwa ini bukan salahku! Kalian tiba-tiba saja pisah. Menjauh. Membenci. 

"Bahwa nanti, aku tidak apa-apa tidak rangking satu di sekolah. Bahwa aku tidak apa-apa tidak belajar setiap hari. Bahwa aku tidak apa-apa menyampaikan perasaan dan pikiranku. Bahwa tidak apa-apa aku tidak mengalah pada adikku. Apa kalian pernah bilang begitu? Tidak pernah!

"Lalu sekarang Ibu terkaget-kaget kenapa aku begini? Kenapa aku lepas jilbab, Ibu terkaget-kaget. Kenapa tiba-tiba aku depresi. Aku sudah besar, Bu. Aku sudah bisa membuat keputusanku sendiri. 

"Aku tidak lagi harus mengalah pada adikku. Aku tidak lagi harus belajar setiap malam, harus rangking satu, harus masuk sekolah favorit, harus pintar Bahasa Inggris, harus sekolah ke luar negeri. Akhirnya aku bisa punya keputusanku sendiri, Bu. Aku sudah sebesar Ibu dan aku bisa tidak menceritakan semua tentang kehidupanku, seperti yang Ibu lakukan padaku sejak dulu."

Lalu usailah berepisode-episode air mata yang berderai-derai itu. 

Aku bercerita pada Ibu mengenai perjalananku hingga sampai pada keputusan ini. Kuceritakan padanya tentang mimpi-mimpi dalam tidurku, tentang betapa mimpi-mimpi itu membuatku rindu padanya, tentang betapa takut aku mengecewakannya, tentang percobaan lepas pasang jilbab-ku yang sudah berlangsung lama, tentang apa yang kubaca dan siapa-siapa yang kuajak berdiskusi.

Ibu memelukku lalu menangis lagi. Ia yakin aku tetap menjadi anaknya yang baik. Ia yakin aku tidak berubah. Ia yakin aku tetap anak sulungnya yang membanggakan. 

Sejak saat itu, saat ia menelepon, ia selalu bilang, "kalau ada apa-apa, bilang Ibu, Nak. Kalau kamu kesulitan dengan kuliahmu, kalau ada orang yang menyakitimu, cerita pada Ibu. Jangan kamu pendam sendiri. Jangan kamu sakit sendiri."

Aku membeku menahan tangis. Aku bahagia memiliki wanita ini sebagai ibuku.