November 2, 2016

Si Kepala yang Mengepalai



1 November 2016 #bulanprojek

Hari ini bertemu dengan seorang teman lama yang sudah wisuda, sudah bukan mahasiswa strata satu lagi, sudah resmi jadi beban negara (walaupun selama ini setiap kepala memang selalu jadi beban negara), sudah jadi orang yang sibuk menganggur (kenyataan yang menyedihkan), sudah jadi orang yang kebanyakan habiskan waktu ongkang angking di kamar untuk sebar-sebar curriculum vitae ke berbagai perusahaan. Kami bicara soal keinginan dia menjadi volunteer di daerah terpencil sebagai tenaga profesional, menjadi volunteer yang sebenarnya dibayar juga, mengabdi pada masyarakat yang memang beneran butuh (alih-alih masyarakat kota yang kebanyakan pasokan tenaga profesional), melakukan segala sesuatu bersama warga daerah terpencil selama satu tahun, termasuk menimbang-nimbang segala resiko kulit jadi kusam, jerawatan, susah cari make up untuk perawatan, susah cari pembalut, susah sinyal, dan kemungkinan cinta lokasi dengan tenaga profesional yang lain (dalam kasus ini, dia bermimpi cinlok dengan dokter tampan).

Sebuah tawaran yang diam-diam juga aku pertimbangkan. Bukan karena katanya orang-orang yang mengabdi lebih mudah diterima beasiswa LPDP, tapi karena kebutuhan untuk melakukan pemberantasan terhadap aktivitas jenuh. Aktivitas jenuhku adalah bangun tidur, sarapan, kampus, proposal, revisi, dosen, teman-teman yang itu-itu saja, lalu tidur. Begitu terus berulang sampai kunobatkan hal-hal tersebut sebagai aktivitas jenuh. Aku merasa tanpa manfaat. Merasa benar-benar sepenuhnya beban negara yang digantung denga tali-tali lucu ke langit-langit, yang cuman bikin si tali keberatan sampai nyaris putus. Aku tahu aku bisa mengabdi ke tempat semacam itu, tapi aku memilih untuk mempertimbangkannya diam-diam. Aku selalu berpikir kenapa orang mau bersusah-susah dengan bayaran yang tidak seberapa, padahal mereka mampu memperoleh sesuatu yang lebih tanpa banyak bersusah-susah. Aku tidak tahu mengapa beberapa orang bertahan dengan kesusahan itu sambil tetap senyum-senyum senang. Aku tidak tahu sampai aku tiba di aktivitas jenuhku.

Teman lamaku itu bahkan bilang bahwa dia ingin jadi relawan di Syuriah. Aku terkejut sampai otomatis bilang bahwa tidak akan ada satu orang pun dari anggota keluarganya yang akan setuju dengan kenginannya tersebut. Aku bilang kenapa tidak cari yang dekat saja? Sekelilingmu sudah terlalu banyak masalah. Lalu kenapa cari-cari masalah di negara orang? Sudah banyak yang bantu-bantu di Syuriah, tapi tahukah kamu siapa yang akan bantu-bantu di negaramu sendiri? Di lingkunganmu sendiri? Di tempat yang sesempit kos-kosan dan kampus ini? Jadi problem solver bukan berati cari-cari masalah lalu datang sebagai pahlawan dengan gilang gemilang. Jadi problem solver berati melihat apa yang tidak dilihat orang lain, menganalisis apa yang seharusnya dilihat, mencari cara, dan melakukan apa pun yang bisa dilakukan untuk melihat hal yang seharusnya itu. Menjadi problem solver adalah sesederhana ngangkatin jemuran teman kosan yang berguguran akibat angin, memungut sampah di meja kantin yang di sekitarnya tidak ada tempat sampah, sesederhana memberi pemanis tumbuh-tumbuhan di pelataran rumah supaya orang yang lewat ikutan senang. 

Bagiku, bagian termenyenangkan dari menjadi problem solver adalah saat menemukan masalah dan mengetahui solusinya. Sedangkan bagian tertidakmenyenangkannya adalah ketika aku sadar bahwa sulit untuk melakukannya seorang diri, ketika sadar bahwa mau nggak mau aku harus menggerakan orang lain, mencomot beberapa kepala untuk punya masalah yang sama denganku supaya mereka mau bertindak bersama. Bagian yang paling tidak menyenangkan untuk seorang introversion. Tidak menyenangkan karena orang-orang itu terlalu kaku sehingga susah digerakkan, kepalanya pasti berbeda dengan punyaku lalu kenapa aku harus susah-susah membuatnya sama. Kepala-kepala yang akhirnya cuman numpang kelihatan kepalanya tanpa kontribusi apa-apa. Cuman jadi beban bagiku, si kepala yang mengepalai. 

Bersambung..                                                                          
Share:

1 comment: