1
November 2016 #bulanprojek
Hari ini bertemu dengan seorang teman lama yang sudah wisuda, sudah
bukan mahasiswa strata satu lagi, sudah resmi jadi beban negara (walaupun
selama ini setiap kepala memang selalu jadi beban negara), sudah jadi orang
yang sibuk menganggur (kenyataan yang menyedihkan), sudah jadi orang yang kebanyakan
habiskan waktu ongkang angking di kamar untuk sebar-sebar curriculum vitae ke
berbagai perusahaan. Kami bicara soal keinginan dia menjadi volunteer di daerah
terpencil sebagai tenaga profesional, menjadi volunteer yang sebenarnya dibayar
juga, mengabdi pada masyarakat yang memang beneran butuh (alih-alih masyarakat
kota yang kebanyakan pasokan tenaga profesional), melakukan segala sesuatu
bersama warga daerah terpencil selama satu tahun, termasuk menimbang-nimbang
segala resiko kulit jadi kusam, jerawatan, susah cari make up untuk perawatan, susah cari pembalut, susah sinyal, dan
kemungkinan cinta lokasi dengan tenaga profesional yang lain (dalam kasus ini,
dia bermimpi cinlok dengan dokter tampan).
Sebuah tawaran yang diam-diam juga aku pertimbangkan. Bukan karena
katanya orang-orang yang mengabdi lebih mudah diterima beasiswa LPDP, tapi
karena kebutuhan untuk melakukan pemberantasan terhadap aktivitas jenuh. Aktivitas
jenuhku adalah bangun tidur, sarapan, kampus, proposal, revisi, dosen,
teman-teman yang itu-itu saja, lalu tidur. Begitu terus berulang sampai
kunobatkan hal-hal tersebut sebagai aktivitas jenuh. Aku merasa tanpa manfaat. Merasa
benar-benar sepenuhnya beban negara yang digantung denga tali-tali lucu ke
langit-langit, yang cuman bikin si tali keberatan sampai nyaris putus. Aku tahu
aku bisa mengabdi ke tempat semacam itu, tapi aku memilih untuk mempertimbangkannya
diam-diam. Aku selalu berpikir kenapa orang mau bersusah-susah dengan bayaran
yang tidak seberapa, padahal mereka mampu memperoleh sesuatu yang lebih tanpa
banyak bersusah-susah. Aku tidak tahu mengapa beberapa orang bertahan dengan
kesusahan itu sambil tetap senyum-senyum senang. Aku tidak tahu sampai aku tiba
di aktivitas jenuhku.
Teman lamaku itu bahkan bilang bahwa dia ingin jadi relawan di
Syuriah. Aku terkejut sampai otomatis bilang bahwa tidak akan ada satu orang
pun dari anggota keluarganya yang akan setuju dengan kenginannya tersebut. Aku bilang
kenapa tidak cari yang dekat saja? Sekelilingmu sudah terlalu banyak masalah. Lalu
kenapa cari-cari masalah di negara orang? Sudah banyak yang bantu-bantu di
Syuriah, tapi tahukah kamu siapa yang akan bantu-bantu di negaramu sendiri? Di
lingkunganmu sendiri? Di tempat yang sesempit kos-kosan dan kampus ini? Jadi problem solver bukan berati cari-cari
masalah lalu datang sebagai pahlawan dengan gilang gemilang. Jadi problem solver berati melihat apa yang
tidak dilihat orang lain, menganalisis apa yang seharusnya dilihat, mencari
cara, dan melakukan apa pun yang bisa dilakukan untuk melihat hal yang
seharusnya itu. Menjadi problem solver adalah
sesederhana ngangkatin jemuran teman kosan yang berguguran akibat angin, memungut
sampah di meja kantin yang di sekitarnya tidak ada tempat sampah, sesederhana
memberi pemanis tumbuh-tumbuhan di pelataran rumah supaya orang yang lewat
ikutan senang.
Bagiku, bagian termenyenangkan dari menjadi problem solver adalah saat menemukan masalah dan mengetahui
solusinya. Sedangkan bagian tertidakmenyenangkannya adalah ketika aku sadar
bahwa sulit untuk melakukannya seorang diri, ketika sadar bahwa mau nggak mau
aku harus menggerakan orang lain, mencomot beberapa kepala untuk punya masalah
yang sama denganku supaya mereka mau bertindak bersama. Bagian yang paling
tidak menyenangkan untuk seorang introversion.
Tidak menyenangkan karena orang-orang itu terlalu kaku sehingga susah
digerakkan, kepalanya pasti berbeda dengan punyaku lalu kenapa aku harus
susah-susah membuatnya sama. Kepala-kepala yang akhirnya cuman numpang
kelihatan kepalanya tanpa kontribusi apa-apa. Cuman jadi beban bagiku, si
kepala yang mengepalai.
Bersambung..
Wah...baru baca lg neh
ReplyDelete