November 21, 2016

Ketakutan yang dibutuhkan



21 November 2016

Aku ingat ayah pernah menyuruhku rajin belajar sambil menunjuk seorang perempuan yang bekerja di dalam sebuah balok kecil muat untuk hanya satu orang, di sebuah tempat yang pengap, bersama mobil-mobil yang terparkir. Kata ayah jangan malas belajar, kasihan kan mbak-mbak itu setiap hari kerja begini di tempat seperti ini. Memang benar. Lalu aku menjadi takut. Tapi tak lantas membuatku rajin belajar. Itu sekedar menakut-nakuti, hingga setiap saat ketika kulihat mbak-mbak SPG di sebuah department store dengan rok mini dan make up mereka yang seragam, aku takut jadi mereka dan harus berpakaian seperti mereka. Lalu ketika aku melihat seorang mbak-mbak yang jadi pembantu di usianya yang sangat muda, mungkin seumuran aku, aku menjadi takut dan bergidik ketika membayangkan diriku akan menjadi seperti dia jika tidak rajin belajar seperti kata ayah.

Tapi kemudian aku bertanya-tanya, jika tidak mbak-mbak itu yang menjaga si kubus, lalu siapa yang jaga? Jika semua orang ketakutan karena tak ingin bekerja di balok semacam itu, lalu siapa yang mau dipekerjakan mall-mall yang masih belum pakai teknologi itu? Kalau semua orang ketakutan karena tidak ingin jadi SPG, lalu siapa yang jadi SPG? Jika tidak ada gadis-gadis muda yang jadi pembantu, lalu siapa yang menggantikan? Negara ini belum cukup canggih untuk punya robot-robot pengganti SPG atau sebagai pembantu. Lalu aku mengerti bahwa orang diam-diam mengharapkan keberadaan mereka. Walaupun dijadikan momok untuk anak yang malas belajar seperti aku, tetap saja pekerjaan-pekerjaan yang tidak perlu pendidikan tinggi semacam itu tetap dibutuhkan.  

Bahwa selalu ada harapan akan ada tukang-tukang yang mengerjakan rancangan seorang arsitek. Selalu ada orang-orang gila dan gelandangan yang jadi bahan kajian para psikolog. Selalu ada tukang cuci piring yang bersembunyi di dapur pemilik restoran ternama. Selalu ada para pelayan yang hanya hidup dari membereskan gelas dan piring dari meja makan, untuk menyokong kehidupan para konglomerat berduit itu. Untuk sekedar bersih-bersih rumah jadi pembantu, jadi pemulung sampah, jadi tukang ojek, supir angkot, tukang becak. Seperti negara maju selalu memerlukan negara berkembang untuk jadi target pasar penjualan produk-produk mereka. 

Bahwa betapa kita tetap mengingikan keberadaan mereka karena kita tidak ingin menjadi seperti mereka. Bahwa betapa SPG rokok begitu penting keberadaannya untuk strategi marketing, menarik para lelaki yang haus akan rokok dan tubuh molek perempuan. Karena cewek-cewek berhijab yang panjang dan longgar tidak bakal mau bekerja semacam itu sehingga sebenarnya mereka diam-diam mengharapkan keberadaan cewek-cewek berpendidikan rendah yang mau melakukan pekerjaan apa pun untuk sekedar makan, termasuk jadi SPG rokok. Bahwa sebenarnya keberadaan orang-orang yang tidak diinginkan oleh anak kecil untuk dijadikan cita-cita itu sebenarnya tidak akan pernah habis keberadaannya. Bahwa sebenarnya pekerjaan yang jadi bahan bagi para orang tua untuk menakut-nakuti anaknya yang malas belajar, sebenarnya akan tetap ada karena mereka juga dibutuhkan. Bahkan ketika anak-anak mereka yang malas belajar itu kemudian menjadi takut, lalu belajar hingga sukses, mereka juga butuh orang-orang semacam itu yang mau mengerjakan pekerjaan remeh temeh yang tidak dilakukan orang sukses. Yang mereka hindari adalah yang sebenarnya mereka butuhkan. Yang mereka takuti adalah yang sebenarnya membantu kemudahan hidup mereka.
Share:

0 comments:

Post a Comment