21 November 2016
Baru saja merampungkan membaca
sebuah novel dalam waktu satu malam. Membaca seperti tidak bisa berhenti,
membaca seperti candu sehingga tak bisa menghentikanku untuk membalik halaman
demi halaman. Bahkan tidur sebentar hanya untuk bangun lagi dan membaca
selembar demi selembar lagi. Hingga akhirnya kutamatkan bacaanku pagi ini. Bacaan
yang membuatku bergumam betapa jeniusnya si penulis ini. Okky Madasari.
Kerumunan Terakhir. Mahakarya jenius
yang mengangkat kegelisahaan paling dekat dengan orang-orang jaman sekarang. Mengangkat
fenomena yang menjadi makanan sehari-hari bagi semua orang di abad 21 ini. Tentang
kebobrokan di balik sesuatu yang kelihatannya kinclong dan klinis. Menunjukan kecemasan
dari dunia serba canggih yang bisa menghidupkan dan mematikan manusia hanya
dengan satu dua kali klik. Ketika orang-orang tetap mencari, menggapai
cita-cita yang selama ini ada di bayangan masa depan mereka, tanpa mengetahui
dimanakah sebenarnya masa depan itu. Orang-orang yang tidak pernah puas dengan
pencarian mereka, hingga akhirnya tersesat dalam pencarian mereka sendiri.
Novel ini memunculkan kembali
keheranan yang sempat menggantungi isi kepalaku. Tentang bagaimana para
mahasiswa jaman dulu yang belum kenal internet, bisa meraih gelar sarjana
mereka, ketika para sarjana abad ini telah sepenuhnya mengandalkan internet
untuk segala sesuatu yang mereka lakukan. Keheranan yang seharusnya tidak perlu
kutanyakan karena separuh hidupku telah diisi oleh jaman sebelum internet
berkuasa.
Ketika Bapak Ibu Guru SD meminta
kami untuk membuat kliping untuk mencari tema-tema tertentu yang jadi PR. Bagaimana
PR yang sesederhana itu tidak pernah menjadi benar-benar sederhana karena
pengerjaannya selalu melibatkan orang satu rumah. Ayah ibu ikut mencari,
menggunting dan menempel di kertas HVS yang kemudian dijilid lalu difotocopy
lebih dari satu kali agar aku punya cadangan untuk diriku sendiri. Begitu pula
ketika aku punya PR PKN yang sulitnya minta ampun. Aku dan ibu berbondong-bondong
datang ke rumah kakek yang waktu itu anggota DPRD Kalsel untuk minta dijawabkan
beberapa pertanyaan yang tidak ada di RPUL. Aku bahkan ingat ketika ayah dan
ibu diam-diam mengeluarkan buku catatan untuk mencatat apa yang ada di
ensiklopedi di sebuah toko buku hanya untuk bisa mengerjakan PR yang diberikan
sekolah. Betapa sesederhana apa pun tugas dari sekolah, selalu saja melibatkan
usaha dari orang satu rumah untuk menjawabnya. Keribetan yang sekarang tidak
lagi dirasakan anak sekolahan.
Lalu hal-hal ribet itu mulai musnah
dari kehidupanku ketika aku SMP. Aku berbondong-bondong bersama teman-teman
SMP, pergi ke warnet untuk main friendster, facebook, atau sekedar main game. Kami
kenal google dan punya sumber informasi tak terbatas dari situ. Pulang sekolah,
menyisihkan dua tiga ribu uang saku kami untuk internetan selama satu jam,
mengambilalih seluruh komputer di warnet sebelah sekolah dengan keberadaan
kami. Bocah-bocah yang baru kenal internet. Di saat yang bersamaan pula aku
mengenal artis-artis Korea dengan segala kerupawanan rupa dan gaya mereka saat
menari di video klip yang kulihat dari Youtube. Atau lagu-lagu High School
Musical yang semuanya bisa aku unduh secara cuma-cuma, aku cari lirik lagunya,
dan kuhapalkan semua sampai di luar kepala. Jaman ketika aku mulai iseng
menulis fanfiction untuk menyampaikan kepada publik tentang imajinasiku mengenai
artis-artis Korea itu. Betapa aku begitu bergairah untuk memainkan jari-jariku
di keyboard untuk sekedar posting fanfiction yang bersambung-sambung hanya
untuk dibaca oleh orang lain.
Sekarang sudah jamannya generasi
ngapain-mikir-kan-ada-google. Tapi novel ini membuatku sadar bahwa pada
akhirnya, keberlangsungan dunia maya itu bertumpu juga pada apa yang nyata. Aku
sendiri sudah belajar untuk tidak terlalu antusias dengan apa yang ditawarkan
internet. Karena ketercapaian yang ingin kuraih, sesungguhnya ada dari apa yang
kulakukan secara nyata di dunia nyata. Bahwa internet menawarkan kebahagiaan
semu yang membuat orang-orang lupa bahwa mereka bersandar pada tiang-tiang
kehidupan nyata. Mereka terbang dengan sayap-sayap semu mereka. Sampai lupa
bahwa nyatanya mereka hanya punya kaki yang tidak bisa dibawa terbang. Lupa bahwa
mereka masih punya kehidupan nyata yang perlu dihidupkan. Novel ini bilang
kepada seluruh penghuni dunia abad 21, bahwa jangan sampai terseret arus kehidupan
maya yang justru bisa menghentikan denyut nadi kehidupan nyata. Jangan sampai
manusia merasa tidak perlu pohon-pohon sungguhan lagi karena mereka pikir bisa
bernafas dari pohon-pohon virtual yang mereka tanam. Atau merasa tidak perlu
menghemat air lagi karena berpikir bisa minum dari air virtual. Jangan sampai.
0 comments:
Post a Comment