November 22, 2016

Perbincangan Benda Mati

22 November 2016

Hari ini aku bertanya-tanya tentang benda-benda mati. 

Tadi ada kelas Seminar Proposal yang sangat kubenci. Aku baru menyadari bahwa kebencianku itu telah melebihi kebencianku terhadap kelas-kelas yang selama ini pernah kujalani selama 3 tahun kuliah di Psikologi. Aku selalu bersikap netral ke semua mata kuliah, mungkin yang paling menyedihkan adalah saat aku merasa begitu malas masuk kelas dan ingin bolos saja. Walaupun begitu, hati kecilku tetap meminta untuk segera bangkit dari kemalasan dan beranjak ke kampus, melakukan apa yang sudah seharusnya kulakukan. Tapi berbeda dengan mata kuliah yang satu ini. Ini bukan masalah mata kuliahnya. Ini masalah Nyonya Dosen yang membuat kami semua membenci mata kuliah ini.

Benda-benda mati di ruang kelas membuatku bertanya-tanya sudah berapa lama mereka menjadi saksi bisu terhadap kemalasan para mahasiswa? Sudah berapa lama papan tulis itu ada di depan kelas dan sudah berapa lama retakan di dinding atas pintu itu bertengger hingga hari ini? Sudah berapa lama proyektor yang dikurung besi hitam (untuk menghindari maling) itu bergelantungan di atas, menayangkan presentasi yang baru digarap beberapa menit yang lalu? Dan berapa lama pula lantai kelas ini dipijak untuk mahasiswa maupun dosen yang entah datang untuk sekedar memenuhi daftar hadir atau memang benar-benar niat untuk menimba ilmu?

Benda-benda mati itu pasti membicarakan kami yang begitu benci dengan Nyonya Dosen yang satu ini. Setelah kami semua pergi meninggalkan kelas, benda-benda mati itu pasti menjadi hidup dan menyebar kesaksian mereka ke satu sama lain.

Bilang seperti ini, "apa kalian tadi lihat wajah-wajah mahasiswi yang jengah dengan dosennya itu? Mereka senyum-senyum dan mengangguk-angguk di depan dosennya padahal mengeluh ini itu di belakangnya. Apa kalian tidak lihat?" tanya tembok sebelah kiri yang kebetulan dekat dengan posisi duduk para mahasiswa. 

Lalu proyektor menjawab, "aku melihat semuanya dengan jelas dari atas sini. Aku bahkan tahu bahwa salah satu mahasiswi itu sepanjang mata kuliah hanya berkutat dengan ponselnya dan bermain instagram. Tak satu detik pun ia berikan perhatian untuk penjelasan dosennya."

Papan tulis menyahut, "ih tapi kalian lihat nggak sih betapa sok pentingnya Si Dosen itu? Dia pikir ada mahasiswa yang mau tetap bimbingan sama dia? Ih amit-amit. Aku bersyukur hanya menjadi sebongkah papan tulis dan bukannya jadi salah satu mahasiswi yang harus menghadapi dosen itu selama satu semester."

"Dengar-dengar nih ya, para mahasiswi itu mengeluh karena Si Dosen selalu lebih tertarik membahas tentang tas atau sepatu bermerek daripada merevisi hasil pekerjaan mahasiswanya. Aduuh kasihan sekali mereka. Apa daya para mahasiswi malang tak berduit itu. Harga tas dan sepatu yang dibicarakan dosen mereka itu pasti melebihi jatah bulanan mereka," ujar lantai disahut dengan anggukan berkali-kali dari benda-benda mati yang lain. Beberapa bergumam iba, yang lain malah cekikikan. Sedangkan para mahasiswi yang mereka kasihani itu sama sekali tidak mengetahui bahwa kesialan mereka kini sedang jadi perbincangan benda-benda mati itu. Tapi tentu saja tidak semuanya, karena aku di sini menuliskan obrolan rahasia itu. 

Alangkah menyenngkan menjadi benda-benda mati itu. Mereka bisa mengamati para manusia dengan sesuka hati dan membicarakannya dengan benda-benda mati yang lain. Membicarakan dengan penuh rasa kasihan, sedih, dan prihatin. Berbincang dengan rasa syukur bahwa mereka hanya dibuat sebagai benda mati yang cuman bisa bergeming tanpa tanggung jawab atau beban apa pun. Mungkin lain kali, aku harus menunggu hingga semua orang benar-benar pergi meninggalkan kelas, sehingga aku bisa ikut dalam pembicaraan benda-benda mati itu. Lain kali.
Share:

1 comment: