November 24, 2016

Lahir di antara Tulisan

Sama seperti kenapa cowok ini suka dengan cewek yang itu, atau seperti kenapa si X lebih suka makan pakai sambal sedangkan si Z tidak suka sambal sama sekali. Susah bahkan tidak dapat dijelaskan. Terjadi begitu saja tanpa sebab musabab. Ada orang yang terlahir di antara buku-buku, ada yang terlahir di antara nada-nada musik klasik, ada yang terlahir di antara wangi sambal, di antara permainan bulu tangkis, di antara rintik hujan dan lain-lain. Aku adalah bayi yang terlahir di antara buku-buku itu. Aku mencium wangi kertas pertama kali saat berusia 3 tahun dan aku langsung jatuh cinta. Ayah yang mengenalkanku dengan kertas-kertas wangi itu. Setiap minggu ia datang dengan wangi itu, membiarkanku menciumi halamannya dan sedangkan ibu membacakan satu per satu tulisan di halaman yang wangi itu. 

Saat itu kebahagiaaku adalah sesederhana menemukan majalah kesukaanku di penjual majalah setiap hari Kamis. Kadang ibu yang membawa pulang, kadang ayah, kadang aku beli sendiri setelah minta uang dari mereka. Setelah aku bisa membaca, aku membaca semua huruf di setiap lembar majalah itu. Tidak ada satu huruf pun terlewat. Lalu aku juga minta dibelikan kartu pos untukku mengikuti kuis berhadiah, atau untuk menulis surat pembaca, menulis puisi, menulis cerita pendek, menulis segala macam dan ikut kuis segala macam. Kebahagiaanku adalah sesederhana menempelkan perangko dan kupon untuk setiap kuis, atau sesederhana menulis alamatku lalu alamat majalah kesayanganku itu. Aku pun hafal alamat mereka, dari alamat yang awalnya di Jalan Kebon Jeruk sampai mereka pindah ke Jalan Palmerah Selatan. 

Kuis dan tulisan yang kukirimkan rupanya membuahkan hasil. Aku melihat namaku sebagai salah satu pemenang kuis di edisi minggu ini, lalu puisiku di muat minggu depannya, lalu beberapa minggu kemudian ceritaku ada di salah satu rubrik, lalu aku juga menang kuis yang lain, begitu seterusnya sampai aku tak bisa menghitung lagi. Hadiahnya pun satu per satu sampai ke rumahku. Awalnya hanya satu handuk, lalu dua handuk, lalu satu tas ransel, dua tas ransel, tiga ransel, topi, kaos, dua kaos, tempat pensil, VCD film ini, VCD film itu, sampai aku kesulitan mengetahui hadiah ini untuk tulisan atau kuis yang mana. Mereka terlalu sama dan terlalu banyak. Tapi aku tidak peduli, aku terlalu bahagia.
Kebahagiaanku bertambah ketika aku mulai berkirim surat dengan para pembaca yang lain. Sebutannya adalah sahabat pena. Aku selalu menunggu-nunggu surat dari para sahabatku itu untuk datang ke rumah, lalu aku akan buru-buru membalasnya sambil memberikan foto terbaruku. Aku berkirim surat dengan pembaca di kota-kota yang bahkan tak pernah kudengar namanya. Aku pun menyempatkan diri melihat peta Indonesia untuk mencari di mana letak kota sahabat penaku itu. Kusimpan surat mereka apik-apik, kupisahkan antara surat dan amplopnya. Kami terus berkirim surat dan terus menambah sahabat-sahabat pena.

Lalu aku mulai menulis hal yang baru. Kubayangkan tulisanku akan jadi seperti cerita pendek yang ada di majalah itu. Kugambar sendiri ilustrasi untuk tulisan-tulisanku di buku tulis, kuberi judul sesuka hati, dan kusimpan dengan rapi. Aku tahu gambarku tidak terlalu bagus karena kaki dan tangan yang kugambar selalu bengkok, tapi aku tidak peduli. Aku lebih senang menulis. Awalnya aku menulis dengan pensil, kuhabiskan beberapa buku tulis untuk cerita-ceritaku. Lama kelamaan, ayah dan ibu membelikan komputer. Aku pun menulis cerita-ceritaku di sana. Aku selalu tidak pernah tahu apa yang akan kutulis, tapi jari-jariku selalu menari seolah punya pikirannya sendiri ketika aku sudah duduk di depan komputer. Tau tau ceritaku sudah tamat. Aku pun senyum-senyum sendiri dan menjilidnya seperti buku-buku yang aku lihat di toko buku. 

Kadang aku membuat buku-buku kecil yang kutulis dan kugambar sendiri lalu kubawa ke sekolah. Bukan untuk dipamerkan, tapi untuk kulanjutkan ceritanya. Lalu tiba-tiba seorang teman melihat hasil karyaku. Ia mengeluarkan uang seribu rupiah dan menukarnya dengan cerita yang kubuat. Aku sangat senang. Itulah pertama kalinya karyaku diperjualbelikan. Mereka berebutan membaca, berkejaran keliling kelas sambil menarik-narik bukuku. Aku begitu bodoh saat itu karena aku hanya diam di kursiku. Bukuku jadi sobek-sobek karena diperebutkan. Buku itu kembali padaku dengan lembaran yang sudah lepas-lepas. Kupandangi lembaran menyedihkan itu di laci mejaku, lalu aku menangis diam-diam sambil menyusun kembali lembarannya agar jadi buku lagi. Itu adalah pertama kalinya aku patah hati. Hatiku lepas seperti lembaran bukuku lepas dari steplesnya. Aku membenci mereka semua. 

Aku senang dilahirkan di antara tulisan. Aku senang meskipun sakit hati pertama kaliku adalah karena tulisan. Aku senang karena menulis membawaku mengenal orang-orang di kota yang lokasinya harus aku cek dulu di peta Indonesia, aku senang menulis begitu sering sampai aku hafal alamat mereka. Begitu senangnya menulis aku ikuti lomba hanya karena aku ingin menulis dan aku bilang aku tidak peduli dengan hadiahnya. Aku senang menulis bukan karena apa yang akan dihasilkan dengan menulis. Aku senang menulis hanya karena aku senang menulis. Entah itu cukup menjelaskan atau tidak. Tapi rasanya itu adalah semua penjelasan yang aku punya.
Share:

1 comment:

  1. I was born among trees, the trees give papers to strolling me in knowing what life is. Keep reading!

    ReplyDelete