April 30, 2017

Introvert, Si Nama Belakang

Dulu ada yang bertanya-tanya kenapa ia tidak bisa gabung dengan orang asing lalu akrab lalu ikut cekakak cekikik. Ia juga bertanya kenapa tidak bisa jadi pusat perhatian, tapi malah melipir di tepi. Ia juga heran kenapa setiap kali mencoba berceloteh satu dua kata lalu terbahak demi bikin orang-orang ikut terbahak, sekian detik kemudian, ia malah membenci dirinya sendiri dan ingin lari tunggang langgang sambil tutup wajah. Ia juga kebingungan kenapa tidak pernah dapat satu pun kata-kata yang cocok untuk menanggapi orang-orang yang bicara satu dua paragraf itu. Ia selalu begitu pada orang-orang, seolah ia bukan bagian dari orang-orang itu sendiri. 

Suatu hari, Tukang Tanya itu berkenalan dengan Si Introvert yang mengaku-ngaku sebagai nama belakang Si Tukang Tanya. Katanya, ia tidak boleh sering-sering bersama manusia. Manusia-manusia itulah yang membuat tenaganya habis sampai membuatnya nyaris pingsan. Dirinya sendiri tidak dihitung sebagai manusia, kata introvert. Karena diri sendiri-lah yang menyembuhkan kekurangan tenaga itu. 

Tapi waktu itu Si Tukang Tanya masih keras kepala. Ia masih sering bersama orang-orang sambil berusaha ikut-ikutan jadi makhluk sok asik, membelok-belokkan pita suara supaya terdengar ramah, menarik-narik ujung bibir sampai nyaris sobek supaya kelihatan selalu senyum, pokoknya dia masih ngotot melakukan hal yang ia bingungkan. Satu dua hari mungkin ia masih bisa saja bertahan, tapi lama kelamaan, benar juga.. tenaganya habis. Tidak berkurang pula rasa bencinya pada diri sendiri. Apalagi keinginannya untuk lari tunggang langgang, tidak berkurang sedikit pun. 

Akhirnya ia mulai percaya pada nama belakangnya. Ia tidak lagi berusaha jadi pusat perhatian, karena itu justru akan memakan ubun-ubunnya. Ia tidak lagi berusaha jungkir balik demi menyenangkan orang lain, karena itu justru akan mencabut jiwanya. Ia pun melipir pelan-pelan, membiarkan manusia-manusia itu hidup di bawah atap mereka masing-masing. Ia pergi di keramaian sambil membawa-bawa isi kepalanya yang nyaring, padahal mulutnya bungkam. Ia ada di antara orang-orang seolah jadi bagian dari mereka, padahal hanya jadi pengamat. Ia berada di lautan percakapan sambil cengar-cengir, padahal ingin cepat-cepat hengkang dari yang bising-bising itu.

Semuanya pun baik-baik saja. Tidak ada tenaga yang habis, semuanya isi penuh, full tank. Si Tukang Tanya pun bahagia. Ia ingin selamanya hidup seperti itu. Hingga suatu hari ada manusia yang bilang bahwa suatu hari akan tiba waktunya seorang manusia datang merecoki hidup sendirinya, selama 24 jam sehari, seumur hidupnya. Lalu manusia yang datang itu akan membuatkannya satu manusia lagi, lagi, lagi, hingga sekian puluh manusia. 

Si Tukang Tanya pun sadar bahwa nama belakangnya tidak benar-benar dapat dipercaya. 
Share:

0 comments:

Post a Comment