April 21, 2017

Menangis

Dua hari yang lalu menangis. Karena yang ditahan itu tidak akan tertahankan hingga akhirnya keluarlah ia. Sudah sengaja menghindar dari segala sesuatu yang memberi stimulus, tapi tidak ada gunanya. Tangis tetaplah tangis. Ia tetap mengalir dan mengucur seenak jidat. Waktu itu pagi-pagi sekali. Tubuh sudah bangun sendiri tanpa perlu alarm. Lalu kegiatan pagi seperti biasa yang dimulai dengan sarapan sambil nonton televisi. Ternyata beritanya masih lanjutan berita semalam. Berita kekalahan seorang pemimpin yang bikin orang lain membenci dan ingin memaki karna ras dan agamanya. 

Semalaman berusaha tidak terpapar apa pun yang berkaitan dengan pemimpin itu. Segala koneksi internet sengaja dicabut, supaya seperti manusia gua yang tidak tahu informasi terkini. Tapi pagi itu, akibat rutinitas, secara tidak sadar manusia ini terkena paparan informasi. Celakanya, informasi itu membuat dia sedih. Kesedihan yang konyol. Hanya karena kekalahan seseorang yang bahkan tidak pernah ditemuinya. Paling hanya sekelebat dari berita sidang ini itu, debat di stasiun televisi ini itu, begitu-gitu saja padahal. Sialnya secara tidak sadar, manusia ini terpapar rasa cinta yang fiktif. Simpati dan empati yang tidak nyata. Terbatas layar kaca dan koneksi internet. Tapi mau bagaimana lagi. Sudah terlanjur.

Si manusia ini sudah telanjur sedih dan menangis. Hanya karena si pemimpin yang ia berikan empati itu kalah telak. Kekalahan yang tidak pernah sekelebat pun muncul dalam isi kepalanya. Ia menyaksikan keteguhan si pemimpin yang kalah itu. Lalu ia terharu. Terharu akibat kata-katanya yang terlalu besar hati. Terlalu lapang dan terlalu kuat untuk menggoyahkan hati-hati orang yang lemah. Pemimpin yang kalah itu akan mundur teratur hingga Oktober. Ia berjanji akan menyelesaikan apa yang harus diselesaikannya. Ia bilang ini semua kehendak Tuhan. Ia mengumbar senyum dan merangkul sang pemenang. Lalu hati si manusia lemah ini hancur berkeping-keping. 

Teruntuk si pemimpin yang kalah, maafkan manusia yang lemah ini karena hanya bisa menangis. Menangsi konyol di depan layar kaya. Tapi siapa pula yang peduli. Ibu kota tetap gemerlap dan menarik mata. Nyatanya bukan masalah siapa yang lebih kompeten, tapi masalah siapa yang lebih disukai. Mungkin juga bukan masalah suka. Tapi masalah siapa yang lebih dibenci. Semoga kebencian terjaga dalam tempurungnya. Keluarlah semaumu dan guncang ibu kota sesukamu. Manusia yang lemah ini hanya bisa menangis. 
Share:

0 comments:

Post a Comment