16 Juli 2016
Hari ini kami ikut arisan sepeda motor dan
halal bi halal. Bukan sebagai peserta, tapi sebagai sekumpulan anak muda yang
ikut duduk dan menghabiskan makanan, lalu sok sokan ikut berkontribusi dengan
membereskan serakan sampah yang bergelimpangan. Kami juga dengarkan ceramah yang
bilang bahwa arisan tidak akan jadi arisan kalau tidak ada yang ingat dunia. Kalau
tidak ada yang berharap besok hidup.
Mereka yang tidak berharap akan
berbondong-bondong ke kuburan untuk menangisi masa depan mereka di liang lahat,
mereka yang tidak berharap akan menutup toko-toko mereka dan menyebut nama
Tuhan sepanjang hari. Lupa bahwa kesepakatannya bukan dari diri mereka dan
perilaku mereka, melainkan dari Yang mereka sebut-sebut dalam doa itu. Lupa bahwa
tidak seharusnya memberi harapan seratus persen. Bahwa seharusnya harapan untuk
yang tidak mereka harapkan juga harusnya diberikan ruang. Fifty fifty. Lima puluh
lima puluh. Cukup sekedar tidak lupa sebenarnya.
Aku pun duduk-duduk di sana, terkantuk-kantuk
satu jam setengah sebelum para warga berkumpul, sok akrab pada bocah-bocah yang
lari-lari sana kemari, salim sana sini, mau-mau saja kehilangan satu setengah
jam yang berharga cuman buat menunggu mereka yang tidak menunggu balik, menanti
mereka yang harapannya pada yang lain, pada hadiah-hadiah yang bersinaran itu. Mau
mau saja mondar mandir dari kursi satu ke kursi lain untuk mereka yang tinggal
datang dan duduk manis, tidak ikut mondar mandir, mau mau saja pungut-pungut
sampah punya mereka yang buang-buang sampah.
Karena pada akhirnya harapan bukan pada
ketersalingan, tapi tentang memberi, banyak-banyakan, berat-beratan, sampai
usaha yang kelihatan mustahil jadi kelihatan mungkin. And that’s what people
call for living. Hope.
0 comments:
Post a Comment