July 18, 2016

What People Call for Living



16 Juli 2016

Hari ini kami ikut arisan sepeda motor dan halal bi halal. Bukan sebagai peserta, tapi sebagai sekumpulan anak muda yang ikut duduk dan menghabiskan makanan, lalu sok sokan ikut berkontribusi dengan membereskan serakan sampah yang bergelimpangan. Kami juga dengarkan ceramah yang bilang bahwa arisan tidak akan jadi arisan kalau tidak ada yang ingat dunia. Kalau tidak ada yang berharap besok hidup. 

Mereka yang tidak berharap akan berbondong-bondong ke kuburan untuk menangisi masa depan mereka di liang lahat, mereka yang tidak berharap akan menutup toko-toko mereka dan menyebut nama Tuhan sepanjang hari. Lupa bahwa kesepakatannya bukan dari diri mereka dan perilaku mereka, melainkan dari Yang mereka sebut-sebut dalam doa itu. Lupa bahwa tidak seharusnya memberi harapan seratus persen. Bahwa seharusnya harapan untuk yang tidak mereka harapkan juga harusnya diberikan ruang. Fifty fifty. Lima puluh lima puluh. Cukup sekedar tidak lupa sebenarnya.  

Aku pun duduk-duduk di sana, terkantuk-kantuk satu jam setengah sebelum para warga berkumpul, sok akrab pada bocah-bocah yang lari-lari sana kemari, salim sana sini, mau-mau saja kehilangan satu setengah jam yang berharga cuman buat menunggu mereka yang tidak menunggu balik, menanti mereka yang harapannya pada yang lain, pada hadiah-hadiah yang bersinaran itu. Mau mau saja mondar mandir dari kursi satu ke kursi lain untuk mereka yang tinggal datang dan duduk manis, tidak ikut mondar mandir, mau mau saja pungut-pungut sampah punya mereka yang buang-buang sampah. 

Karena pada akhirnya harapan bukan pada ketersalingan, tapi tentang memberi, banyak-banyakan, berat-beratan, sampai usaha yang kelihatan mustahil jadi kelihatan mungkin. And that’s what people call for living. Hope.   
Share:

0 comments:

Post a Comment