14 Juli 2016
Kami disambut terlalu baik, kami disuguhi
minuman yang terlalu manis sampai kembung, kami dipersilakan dengan cemilan
merk A sampai Z, lalu dipersilakan untuk terlibat dalam kegiatan halal bi halal
salah satu perangkat desa. Anaknya lucu, loncat-loncat terlampau bahagia saat
ayahnya datang bersama kami berbondong-bondong dan langsung minta peluk. Kami diajak
bicara ini itu, pembicaraan tentangku masih seputar namaku yang sama dengan
nama orkestra Pantura. Pembicaraan yang sebagian besar adalah pengulangan dari
pembicaraan kami di pertemuan sebelumnya. Pembicaraan yang masih harus
direspons dengan gelak tawa, karena apa kata dunia kalau kamu hanya
merengut-rengut. Kami serempak memutuskan untuk cekikan, kesepakatan yang lahir
dari bahasa tubuh masing-masing.
Jenis-jenis keramahtamahan semacam ini adalah
hal yang sudah kuketahui sejak jaman SD, kalau orang Jawa terkenal dengan
senyam senyumnya yang diumbar-umbar. Aku tidak kaget, aku tidak melihat mereka
sebagai orang yang mukanya ada di depan dan belakang, aku melihat mereka
sebagai orang-orang yang memang digariskan untuk keseringan menarik kedua ujung
bibir mereka sampai lebar sekali. Jenis tarikan bibir yang tidak banyak
dilakukan orang-orang desa di tempat kelahiranku. Jenis kepedulian yang
disampaikan dengan terlalu apik sampai yang diberi kepedulian jadi silau dan
perlahan terbang-terbang dari bumi. Membuat yang dipedulikan melupakan
posibilitas potensi kepalsuan dan membuat mereka ikut-ikutan sok ramah senyam
senyum.
Tapi bagaimana pun terimakasih yang harus
kuucapkan harus sangat besar menggunung-gunung, karena tempatku di sini
berteduh adalah hasil dari keramahtamahan itu. Hasil dari senyum yang sesumbar
itu, hasil dari gestur yang membuat tamu ingin tinggal lama-lama karena merasa
disambut dengan teralu baik. Membuat para perantau yang jauh dari orang tua merasa
punya keluarga baru, yang sedikit lebih tua jadi kakak, yang sudah tua sekali
jadi orang tua, lalu beranak pinak sampai kucrut-kucrut menggemaskan yang
rasanya seperti adik sendiri. Meski imbasnya adalah mata-mata dan hati, jadi
mata hati, perlu super peka untuk tau mana yang iya dan mana yang tidak. Untuk tau
bukan dari bibir, tapi dari gerak si alis, hidung, bibir dan wajah secara
keseluruhan, lalu tangan, tubuh, dan kaki. Bahasa-bahasa primitif yang mendarah
daging sampai abad 21 ini.
0 comments:
Post a Comment