July 16, 2016

Bahasa Primitif



14 Juli 2016

Kami disambut terlalu baik, kami disuguhi minuman yang terlalu manis sampai kembung, kami dipersilakan dengan cemilan merk A sampai Z, lalu dipersilakan untuk terlibat dalam kegiatan halal bi halal salah satu perangkat desa. Anaknya lucu, loncat-loncat terlampau bahagia saat ayahnya datang bersama kami berbondong-bondong dan langsung minta peluk. Kami diajak bicara ini itu, pembicaraan tentangku masih seputar namaku yang sama dengan nama orkestra Pantura. Pembicaraan yang sebagian besar adalah pengulangan dari pembicaraan kami di pertemuan sebelumnya. Pembicaraan yang masih harus direspons dengan gelak tawa, karena apa kata dunia kalau kamu hanya merengut-rengut. Kami serempak memutuskan untuk cekikan, kesepakatan yang lahir dari bahasa tubuh masing-masing.

Jenis-jenis keramahtamahan semacam ini adalah hal yang sudah kuketahui sejak jaman SD, kalau orang Jawa terkenal dengan senyam senyumnya yang diumbar-umbar. Aku tidak kaget, aku tidak melihat mereka sebagai orang yang mukanya ada di depan dan belakang, aku melihat mereka sebagai orang-orang yang memang digariskan untuk keseringan menarik kedua ujung bibir mereka sampai lebar sekali. Jenis tarikan bibir yang tidak banyak dilakukan orang-orang desa di tempat kelahiranku. Jenis kepedulian yang disampaikan dengan terlalu apik sampai yang diberi kepedulian jadi silau dan perlahan terbang-terbang dari bumi. Membuat yang dipedulikan melupakan posibilitas potensi kepalsuan dan membuat mereka ikut-ikutan sok ramah senyam senyum. 

Tapi bagaimana pun terimakasih yang harus kuucapkan harus sangat besar menggunung-gunung, karena tempatku di sini berteduh adalah hasil dari keramahtamahan itu. Hasil dari senyum yang sesumbar itu, hasil dari gestur yang membuat tamu ingin tinggal lama-lama karena merasa disambut dengan teralu baik. Membuat para perantau yang jauh dari orang tua merasa punya keluarga baru, yang sedikit lebih tua jadi kakak, yang sudah tua sekali jadi orang tua, lalu beranak pinak sampai kucrut-kucrut menggemaskan yang rasanya seperti adik sendiri. Meski imbasnya adalah mata-mata dan hati, jadi mata hati, perlu super peka untuk tau mana yang iya dan mana yang tidak. Untuk tau bukan dari bibir, tapi dari gerak si alis, hidung, bibir dan wajah secara keseluruhan, lalu tangan, tubuh, dan kaki. Bahasa-bahasa primitif yang mendarah daging sampai abad 21 ini.
Share:

0 comments:

Post a Comment