January 8, 2018

Lima Sekawan

Suatu hari, ada lima sekawan yang berbagi pembicaraan tentang pekerjaan dan kuliah lanjutan. Pembicaraan berlangsung sengit dan membingungkan. Selama pembicaraan, salah satu dari mereka yang bernama A, sedang berjuang dalam badai halilintar yang terjadi di kepalanya. Si A ini, kenal dengan Z yang setiap hari berkutat di depan layar yang menyala-nyala untuk menghasilkan berlembar-lembar kisah dongeng. Gara-gara Z, A ingin juga punya pekerjaan seperti itu.

"Aku ingin hanya duduk dan punya dongeng sepertimu, apakah aku bisa?" tanya A saat pertama kali ia bertemu Z.

"Tentu saja kau bisa. Kau hanya perlu berdarah-darah selama bertahun-tahun. Setelah itu, kau bisa merasakan nikmatnya darahmu." Z menjelaskan sambil membenahi letak kacamatanya yang menantang nyala layar di hadapannya.

"Tapi teman-temanku tidak ada yang ingin jadi sepertimu," kata Z.

"Dan.. Apa kau peduli dengan itu?"

A mengangkat bahu. "Aku ingin tidak peduli, tapi tak bisa."

Z memutar bola matanya, melanjutkan kegiatan dengan layarnya yang berpendar dan menghiraukan A. Z tidak ingin ikut campur dalam urusan anak baru lulus yang bingung ini itu. Hidupnya sudah terlampau nyaman untuk diusik oleh hal-hal semacam itu.

"Katakan apa yang harus kulakukan," desak A.

"Dengar anak muda, di dunia ini tidak ada yang peduli apa kau akan hidup untuk menghidupi mimpi-mimpimu, atau tidak hidup sama sekali. Jadi, kau yang putuskan. Jangan libatkan aku." Z beranjak dari singgasananya, meninggalkan A sebatang kara dengan kecamuk di dalam kepalanya.

Tak berapa lama kemudian, Y menghampiri A. Mereka pun berbincang.

"Apa yang membuatmu gundah gulana?" tanya Y.

"Apa yang membuatmu berpikir bahwa aku gundah gulana?" A malah balik bertanya. "Aku benci saat orang berpikir bahwa aku gundah gulana."

"Mungkin ini saatnya kau menyadari bahwa mimpi-mimpimu itu pantas untuk ditanggalkan. Seperti aku, kutanggalkan semua yang membebani pundakku. Begitu lega, begitu menyenangkan."

Diangkatnya kaki ke atas meja, disandarkan tubuhnya dan dinikmati setiap tarikan napasnya.

Beberapa saat kemudian, A kembali bersama lima sekawannya. Ia ingin bicara, tapi ada yang memotong lidahnya. Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan ia bicarakan. Lidahnya pun tak tahu pemiliknya akan bicara apa.
Share:

0 comments:

Post a Comment