Suatu
hari, ada lima sekawan yang berbagi pembicaraan tentang pekerjaan dan kuliah
lanjutan. Pembicaraan berlangsung sengit dan membingungkan. Selama pembicaraan,
salah satu dari mereka yang bernama A, sedang berjuang dalam badai halilintar yang
terjadi di kepalanya. Si A ini, kenal dengan Z yang setiap hari berkutat di
depan layar yang menyala-nyala untuk menghasilkan berlembar-lembar kisah
dongeng. Gara-gara Z, A ingin juga punya pekerjaan seperti itu.
"Aku
ingin hanya duduk dan punya dongeng sepertimu, apakah aku bisa?" tanya A
saat pertama kali ia bertemu Z.
"Tentu
saja kau bisa. Kau hanya perlu berdarah-darah selama bertahun-tahun. Setelah
itu, kau bisa merasakan nikmatnya darahmu." Z menjelaskan sambil membenahi
letak kacamatanya yang menantang nyala layar di hadapannya.
"Tapi
teman-temanku tidak ada yang ingin jadi sepertimu," kata Z.
"Dan..
Apa kau peduli dengan itu?"
A mengangkat
bahu. "Aku ingin tidak peduli, tapi tak bisa."
Z
memutar bola matanya, melanjutkan kegiatan dengan layarnya yang berpendar dan
menghiraukan A. Z tidak ingin ikut campur dalam urusan anak baru lulus yang
bingung ini itu. Hidupnya sudah terlampau nyaman untuk diusik oleh hal-hal
semacam itu.
"Katakan
apa yang harus kulakukan," desak A.
"Dengar
anak muda, di dunia ini tidak ada yang peduli apa kau akan hidup untuk
menghidupi mimpi-mimpimu, atau tidak hidup sama sekali. Jadi, kau yang
putuskan. Jangan libatkan aku." Z beranjak dari singgasananya,
meninggalkan A sebatang kara dengan kecamuk di dalam kepalanya.
Tak
berapa lama kemudian, Y menghampiri A. Mereka pun berbincang.
"Apa
yang membuatmu gundah gulana?" tanya Y.
"Apa
yang membuatmu berpikir bahwa aku gundah gulana?" A malah balik bertanya.
"Aku benci saat orang berpikir bahwa aku gundah gulana."
"Mungkin
ini saatnya kau menyadari bahwa mimpi-mimpimu itu pantas untuk ditanggalkan.
Seperti aku, kutanggalkan semua yang membebani pundakku. Begitu lega, begitu
menyenangkan."
Diangkatnya kaki ke atas meja, disandarkan tubuhnya dan
dinikmati setiap tarikan napasnya.
Beberapa
saat kemudian, A kembali bersama lima sekawannya. Ia ingin bicara, tapi ada
yang memotong lidahnya. Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan ia bicarakan. Lidahnya
pun tak tahu pemiliknya akan bicara apa.
0 comments:
Post a Comment