Suatu
hari, ada lima babi kecil bersaudara yang sedang jalan-jalan ke tempat yang sangat
dingin. Mereka bermalam di sebuah kandang kecil yang harus muat diisi berlima
selama lima hari. Ada yang mengeluh dingin, ada yang mengeluh kelaparan tiap
saat, ada yang mengeluh sulit bergerak dan ada yang mengeluh rindu rumah. Babi
paling bungsu adalah satu-satunya yang tidak mengeluh tentang apa pun. Ia diam
saja sepanjang jalan menuju tempat dingin, hingga saat telah tiba di sana.
Suatu
malam, ketika kakak-kakaknya pergi keluar kandang untuk cari pakan, si bungsu
memilih untuk tinggal di kandang. Ia ingin sendirian untuk sementara waktu. Ia
ingin membaca buku untuk mengetahui caranya kabur dari kandang yang sempit itu.
Setelah membaca buku beberapa lama, akhirnya ditemukanlah suatu cara untuk kabur,
yaitu dengan pura-pura sakit. Sakitnya si bungsu akan membuat kakak-kakaknya khawatir.
Kekhawatiran itu akan membuat kakak-kakaknya merasa bersalah, karena telah
membawa si bungsu ikut ke kandang yang sempit bersama mereka. Akhirnya si bungsu
pun akan dibawa kembali ke kandangnya yang nyaman dan luas. Itulah rencana yang
tergambar di benak si bungsu.
Tapi
tak lama kemudian, kakak-kakak si bungsu tiba di kandang. Mereka menemukan adik
mereka terkapar di atas tumpukan jerami karena perutnya sakit. Padahal, kakak-kakak
telah menyiapkan makanan yaitu berupa roti bakar isi coklat.
"Kamu
kenapa adikku?" tanya kakak pertama.
"Masuk
angin, kak," jawab si bungsu.
"Ya
sudah kamu makan saja dulu roti ini. Kami belikan spesial untukmu," sahut
kakak kedua.
"Habis
ini pakai minyak angin supaya mendingan." Kakak ketiga sibuk mencari-cari
minyak angin di tumpukan jerami.
Kakak
keempat diam saja, tapi mengusap-usap punggung si bungsu.
"Aku
ingin pulang, tidak ingin tinggal di tempat ini. Tempat ini menyiksaku." Si
bungsu memohon-mohon pada kakaknya, masih terlentang di jerami. Tak tega
melihat adiknya menderita, para kakak pun mengiyakan keinginam si adik. Namun,
malam ini mereka harus tinggal di tempat sempit itu dulu.
Si
bungsu merasa semakin menderita. Ia tidak sanggup tidur di tempat itu. Malam
hari, ketika para kakaknya tidur, ia pun memutuskan untuk keluar dari kandang
yang kecil itu. Ia ingin bertemu dengan laron yang ramai di ilalang dekat kandangnya.
"Aku
ingin kau membantuku enyah dari kandang ya menyebalkan itu. Kandang yang
kakak-kakakku pun tak suka. Mereka tetap mengatakan hal-hal buruk tentang
kandang itu, tapi mereka tetap saja tinggal di sana. Aku punya rencana untuk melakukan sesuatu dengan
kandang itu. Tapi tak bisa kulakukan sendiri."
Para
laron, sambil tetap terbang dan menyala-nyala, menanggapi si bungsu. "Apa yang
bisa kami lakukan?"
Si
bungsu pun mendekat pada para laron. Mereka berdiskusi tentang rencana si
bungsu. Mereka pun tiba kembali di kandang babi dengan membawa minyak tanah. Ribuan
laron mengepung kandang babi, lalu mengeluarkan percikan api dari pantat
mereka. Si bungsu menumpahkan jirigen minyak tanah, sehingga menyulut api yang
menghujami kandang. Tak perlu waktu lama untuk menyaksikan kandang bersama
empat kakaknya, terkepung dalam api yamg menari-nari. Sempat terdengar jeritan
dari para kakak si bungsu, sebelum suaranya hilang dan musnah ditelan api.
"Kerja
bagus, kawan-kawan," kata si bungsu pada para laron. "Aku jengah
dengan mereka yang hanya mengeluh, tapi tidak melakukan apa pun untuk kehidupan
mereka. Setidaknya aku lebih baik dari mereka, karena memilih bertindak dalam
diam."
"Tapi
kau bilang mereka sangat cemas padamu saat kau pura-pura sakit."
"Aku
benci kecemasan mereka. Mereka hanya pura-pura."
0 comments:
Post a Comment