Pada usiaku yang keempat, aku diajari melipat bangau oleh kawan Ibuku. Kuikuti setiap tahap yang diperagakannya. Awalnya aku bisa mengikuti dengan mudah, tapi lama kelamaan, Si Om itu mulai laju lipat-melipatnya. Aku pun tertingggal jauh. Si Om sudah menyelesaikan bangaunya, sedangkan aku kebingungan dengan origamiku. Sesak. Sesak sekali rasanya ditinggalkan melipat bangau oleh Si Om. Aku tidak terima ditinggal begitu. Menangislah aku di pelukan Ibu yang sedang ada di kamarnya. Ibu menuntunku menemui Si Om, kuharap Ibu akan meminta Om untuk mengajariku dengan perlahan. Tapi Ibu tidak melakukannya dan Si Om malah tertawa-tawa sambil menunjukkan bangaunya yang sudah jadi dengan sangat indah. Aku pun menangis semakin nyaring. Aku tidak terima ditertawakan setelah ditinggal membuat bangau. Aku juga sendirian dalam sedihku, karena Ibu tidak mengerti keinginanku untuk diajari melipat bangau dengan pelan-pelan.
Kepiluan yang lain, terjadi saat aku lebih muda satu tahun, usia tiga tahun. Aku punya kawan namanya Vita. Ia sangat gendut, karena makannya banyak. Sore itu, aku dan Vita bermain di depan rumah kami yang bertetangga. Aku bermain dengan sepeda roda tigaku dan Vita yang tidak punya sepeda, hanya meloncat-loncat sambil disuapi makan sore oleh ibunya. Aku ingat waktu itu ada tiga ibu-ibu yang mengerubungi kami bermain. Saat aku asik bermain sepeda, tiba-tiba Vita bilang ingin main sepeda juga.
Berat sekali hatiku meminjamkan sepedaku pada Vita yang gendut, aku takut sepedaku rusak karena berat badan Vita. Tapi ibunya menyuruhku untuk meminjami Vita. Aku pun meminjaminya dengan berat hati, sambil bilang, "awas nanti jatuh." Tak berapa lama setelah Vita naik di sepedaku, benar saja. Ia terjatuh dan menangis. Aku marah pada Vita. Aku pun bilang, "kasihan deh lo!" Sontak, ibu-ibu menertawakanku. Aku tidak mengerti apa yang mereka tertawakan. Aku marah dan bingung. Sesak. Sesak sekali rasanya. Aku ditertawakan saat aku merasa kesal. Aku pun berlari ke dalam rumah, menuju kamar Ayah, menemui Ayah yang setengah tertidur. Mengadu padanya dan menangis senyaring-nyaringnya. Tapi Ayah tidak melakukan apa pun dan kembali tidur. Aku kesal dengan Ayah, karena tidak melakukan apa-apa saat aku sedih.
Kira-kira, masih pada usiaku yang ketiga. Aku sangat takut dengan boneka Susan milik tetanggaku, Vita. Suatu hari, aku main ke rumahnya. Vita punya seorang kakak perempuan, yang sepertinya sangat menyukai boneka itu. Saat aku dan Vita sedang bermain, kakak perempuannya itu ikut bermain bersama kami, tapi dengan membawa boneka Susannya. Aku pun terkejut dan menangis sejadi-jadinya. Aku tidak ingin Susan memakanku dengan wajahnya yang seram. Kakak perempuan Vita pun membawa pergi boneka Susan, dibukanya jendela kamar dan dijulurkan boneka itu di jendela. Ia bilang, "nih bonekanya aku buang. Sudah aku buang." Aku masih menangis. Usiaku tiga tahun, tapi aku tahu persis bahwa aku sedang dibohongi. Boneka itu tidak pernah dibuang. Boneka itu hanya melewati jendela, tapi tidak dilepaskan dari tangan kakak perempuan Vita. Aku pun pulang dengan perasaan sedih, karena takut Susan dan dibohongi.
Kepiluan masa kecil itu masih kuingat hingga detik ini. Akhirnya aku sampai pada saat aku mampu menjelaskan apa yang kurasakan dulu. Kini aku tahu, bahwa aku benci ditertawakan, dibohongi dan aku ingin dibela saat aku sedih.