May 10, 2017

Untuk Ahok, Cuman Bisa Bikin Postingan Ini

Kemarin adalah puncak kesedihan bagi warga Indonesia yang mengangkat topinya untuk Ahok. Kata Okky Madasari, Ahok adalah seorang Cina yang ingin jadi gubernur. Kemarin Ahok divonis bersalah dan dihukum 2 tahun penjara untuk kasus penodaan agama. Sudah nggak perlu dijelaskan lagi gimana kasusnya, karena sepertinya sudah terlalu jelas. Saking jelasnya, kasus ini bikin tanah air punya orang-orang dengan golongan yang makin "setia" dengan ideologinya masing-masing. Tentu saja dengan melupakan ideologi yang seharusnnya sudah mereka hafal sejak SD. Akhirnya aku tahu, bahwa ideologi yang sekedar dihafal memang nggak pernah jadi ideologi yang benar-benar ideologi. 

Rakyat Indonesia pada umumnya sebenarnya tahu bahwa Ahok memang bersalah. Omongannya memang sulit disaring pakai saringan apa pun. Yang keluar pun jadi bikin orang lain sakit hati. Semua setuju untuk hal yang itu. Semuanya satu suara, Gubernur yang satu itu memang begitu sifatnya. Tapi bedanya, ada golongan yang bilang bahwa dosa kecil Ahok itu nggak seberapa dibandingkan dengan berjuta kebaikan yang dibuatnya. Sedangkan golongan yang lain bilang, bahwa dosa itu terlalu besar sehingga segala kebaikannya hilang. Jadi sebenarnya ini tentang timbangan saja. Dan masalahnya yang dipakai buat jadi timbangan adalah kepala orang. Kepala yang isinya beda-beda. Kepala yang objektivitasnya tidak seperti timbangan berat badan. 

Dalam tingkatan objektivitas versi kepala manusia (bukan timbangan berat badan), hakim lah yang dianggap sebagai pemilik objektivitas tertinggi. Dalam ranah inilah lagi-lagi masalah muncul. Hakim yang tadinya sepakat dijadikan pemilik objektivitas tertinggi, rupanya tidak lagi mendapat anggapan itu. Dan anehnya lagi, ketidakberlakuan anggapan itu ternyata sama-sama dianut oleh kedua golongan yang bilang itu dosa kecil ataupun golongan yang bilang itu dosa besar. Yang dosa kecil bilang 2 tahun terlalu lama, yang dosa besar bilang 2 tahun terlalu singkat. Pada akhirnya, kedua golongan sama-sama tidak punya patokan objektivitas yang sama lagi selain isi kepala mereka masing-masing. Jadinya tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Semuanya benar sekaligus salah. 

Sedangkan di sini, seorang dewasa awal usia 21 hanya menonton sambil sesekali menyempil di antara keramaian yang ia anggap sesuai dengan isi kepalanya. Diam-diam ia berpikir kira-kira solusi apa yang cocok untuk negeri ini, tapi  rupanya cocok tidak cocoknya solusi juga bergantung pada isi kepala masing-masing. Lalu ia bertanya lagi, apakah perihal isi kepala ini hanyalah pembenaran karena ia tidak berani berargumen? Apakah sekedar cari aman karena nggak mau cari ribut? Sekedar cari "netral" biar nggak ada lagi yang bicara putar-putar saling bilang goblok, karena pada akhirnya itu cuman bikin dia pusing? Sepertinya memang begitu. Karena sepertinya satu-satunya jenis tindakan yang bisa dilakukan si dewasa awal itu hanya mengetik postingan di blog pribadinya.   
Share:

0 comments:

Post a Comment