May 5, 2017

Apa Kata Satre Tentang Eksis

Suatu hari ada seorang pengangguran yang bingung apa yang harus ia lakukan dengan waktunya yang begitu berlimpah. Pada hari yang sama, seorang pegawai kantoran mengeluh karena tidak punya waktu sedetik pun untuk kegiatan apa pun selain ngantor. Terjadi pula pada pelajar SMA yang lebih suka rekam banyak video untuk upload di instastory daripada mengerjakan PR. Tak beda halnya dengan mahasiswa yang kelihatan mengerjakan skripsi di depan laptop padahal isi kepalanya tumpah ruah di lantai. Apa yang sebenarnya terjadi pada mereka?

Satre muncul dengan pandangan eksistensialisme-nya. Pandangan itu mengagungkan sekaligus menginjak-injak manusia (tanpa lupa bahwa ia sendiri juga bagian dari manusia itu). Katanya manusia kebanyakan bingung, kebanyakan repot perkara ini itu, kebanyakan melakukan ini itu tapi mengeluh padahal ia sendiri yang mau lakukan dan kebanyakan tunjuk menunjuk. Satre bilang ini semua salahnya eksistensi manusia. Manusia dikutuk melalui eksistensinya. Manusia dikutuk sebagai satu-satunya makhluk yang sadar terhadap eksistensinya. Tanpa benar-benar sadar bahwa kesadarannya itu membawanya pada kutukan-kutukan yang lain.

Setelah seseorang eksis, lalu ia akan sadar lalu bilang "wah ini aku," lalu ia ber-hip hip hura karena ternyata adanya ia disertai dengan berbagai kebebasan. Ia pun merayakan keeksisan dan kebebasan itu. Saking asiknya selebrasi, tau tau ia kaget nyatanya harus tanggung jawab terhadap apa yang ia rayakan. Ia baru tahu tentang kebebasan yang bertanggungjawab. Karena tanggung jawab rasanya tidak enak, ia pun mulai mundur teratur dari kebebasan yang tadinya ia rayakan itu. Bersembunyi di bawah ketiak orang lain, berusaha sejauh mungkin dari tanggung jawab. Ia pun merasa aman, lega, karena akhirnya tidak ada tanggung jawab yang mengejar-ngejarnya.

Awalnya ia bilang tidak masalah dengan ketidakbebasan itu, tapi lama-lama ia mengeluh. Di salahkannya ketiak orang yang jadi tempatnya selama ini berlindung, ditunjuknya ketiak itu sebagai sumber yang merampas kebebasannya, semuanya dimaki dan disumpahi, lupa bahwa ia sendiri yang mau berlari di bawah si ketiak, lupa bahwa ia sendiri yang menanggalkan kebebasannya. Lalu bingung kenapa ia tidak merasa 'eksis', padahal jelas-jelas ia 'eksis'. Padahal jelas-jelas ia sendiri yang menghilangkan kebebasan, sehingga ia tidak eksis dalam eksistensinya.

Eksis dalam eksistensi ini disebut Satre sebagai esensi. Esensi adalah sesuatu yang menjadi isi dan hakikat bagi sesuatu. Dan si esensi ini bukan komoditi yang bisa ditemukan dengan mudah di pasar atau super market, apalagi di ketiak orang lain. Tidak ada yang menjual apalagi menyediakan dengan cuma-cuma, sehingga sia-sia mencari esensi. Jadi, daripada bertindak bodoh mencari yang tidak ada, manusia harus membuat esensinya sendiri. Bertindak bodoh itu seperti berputusasa, merasa bosan, muak dan melakukan hal-hal absurd cuman gara-gara tidak tahu di mana mencari esensi.

Satre percaya bahwa kehidupan pasti mempunyai arti, tapi kita sendirilah yang harus menciptakan arti dalam hidup kita. Coba sekali-kali dengar apa kata Satre. Mana tau esensi itu benar-benar bisa dibuat sendiri di rumah. 
Share:

0 comments:

Post a Comment