December 7, 2016

Datangnya Bundadari

Pagi ini terlalu bahagia. Salah satu pagi dari sekian ribu pagi yang membagiakan. Saking bahagianya sampai sujud syukur dan buru-buru ambil wudhu untuk solat Dhuha. Padahal cuman gara-gara sebiji pop up Whatsapp dari seorang bidadari yang dikirim Allah ke bumi Psikologi Undip. Pop up yang munculnya sangat cepat dan melampaui harapan si bocah yang mengirim satu pop up panjang berisi permohonan pengajuan dosen pembimbing. Permohonan yang setelah terkirim, disertai dengan doa-doa panjang sambil tutup mata, dan rupanya benar hujan membuat banyak doa dijabah. Doaku adalah salah satunya. Kali ini aku ingin sujud syukur lagi. 
Kegelisahan ini sudah muncul sejak tadi malam. Oh tidak. Sebenarnya sejak awal semester tujuh, ketika nama Kanjeng Nyonya terpampang di kelas seminar proposalku. Hawa-hawanya tidak enak. Super kecut. Kegelisahan yang bikin cuman bisa cari judul lalu gelisah lagi, baca jurnal lalu gelisah lagi, baca e-book lalu bimbang lagi, begitu terus sampai tadi malam kegelisahan itu membuatku mengadu pada seorang teman. Teman yang juga sama-sama di bawah naungan Kanjeng Nyonya, seorang teman yang sama-sama terjebak di sempro kelas lima. Lalu katanya coba saja hubungi lagi Sang Bidadari itu, ingatkan bahwa ada dua kurcaci yang masih cari kepastian dosen pembimbing, dan minta Bidadari untuk menaungi mereka untuk beberapa bulan ke depan sampai wisuda.

Paginya aku kirim pesan pada Bidadari, dengan segala kerendahan hati dan kata-kata yang dirancang sekian lama. Apa yang tadinya tidak terlalu kencang berdetak, tiba-tiba berdetak semakin kencang. Energi-energi kecemasan yang tadinya cuman bikin guling-guling, langsung bikin seluruh tubuh panas sampai ke ubun-ubun. Beberapa detik kemudian muncul sebuah balasan yang merangsang pekikan bahagia. Lima huruf yang membahagiakan. "Bisaa" Saat itu pula kuubah nama Sang Bidadari menjadi Bundadari, tadinya juga ingin kuberi emoticon hati, tapi karakternya sudah melebihi kapasitas. Kubalas lagi balasan Sang Bundadari sambil ingin menangis. Harusnya aku berteriak girang sekencang-kencangnya, tapi aku ingat masih punya tetangga. 

Setelah buru-buru ambil wudhu, aku malah loncat-loncat seperti tupai, atau seperti sigung, atau hewan apa pun yang suka meloncat. Jadilah aku solat Dhuha sambil agak terganggu karena detak jantungku semakin nyaring akibat loncat-loncat. Tadinya setelah solat aku juga mau guling-guling seperti saat semalam aku gelisah. Tapi mungkin sekian detik waktu yang kugunakan untuk guling-guling itu akan lebih berguna kalau kugunakan untuk mulai lagi dengan Bab 1. Aku mau bilang selamat tinggal untuk Kanjeng Nyonya, tapi sepertinya ini belum saatnya kami berpisah. Aku masih punya tanggungan revisi sempro untuk mengeluarkan nilai semproku. Tenang Nyonya, kita masih belum berpisah. Tenaang.. hehe. 
Share:

1 comment: