Senin, 21 Juli 2014
di kelas kerajinan bareng Ken, Cosku, dan anak-anak :) |
Bangun tidur, rasanya masih asing sama keadaan di
sekitar. Mata dan jiwa raga masih perlu penyesuaian dengan tempat yang baru di camp
ini. Terutama perut yang masih perlu penyesuaian sama bubur kismis, roti
tawar mentega, sup kubis bawang yang kuahnya merah, nasi merah yang nggak kayak
nasi merah, nasi putih yang rasanya nggak kayak nasi, dan berbagai macam
makanan ajaib lainnya yang disediakan tiga kali sehari. Mau nggak mau, kalo mau
makan gratis di camp, ya begitu semua makanannya. Tapi kayak yang udah
pernah aku bilangin di previous post, makanan yang bisa masuk perut itu,
perlu proses untuk cocok-cocokan sama lidah. Jadi, nikmati saja prosesnya.
Catur super besaaarr |
Setelah perut kami udah diisi sarapan, rasa
penasaran terhadap apa aja yang dilakukan anak-anak unyu di camp,
membawa kaki-kaki kami ke sebuah ruang kelas yang disulap jadi ruangan yang
penuh dengan maha karya anak-anak kreatif. Di dinding kelas, ada berbagai
lukisan yang didominasi oleh lukisan Laut Hitam (Black Sea) dengan
orang-orang bahagia yang berjemur dan berenang. Beberapa anak melukis gunung
(tanpa matahari di tengah, yang begituan cuma Indonesia punya). Di tengah
ruangan, ada satu meja panjaaaang, dan dua meja bundar. Di pojok depan kelas,
ada papan catur super besar dengan dua bocah laki-laki. Salah satu dari bocah
itu, pake topi fendora sambil menopang dagunya dan merengut, berlagak kayak
atlet catur profesional.
Aku, Ken, dan Coskuu masuk ke kelas itu dengan
sempet ragu-ragu sebentar, kayak maling yang takut kepergok pemilik rumah.
Sempet ragu gegara takut ngeganggu anak-anak yang lagi sibuk bikin gelang pake
benang-benang rajut. Belum sampai lima detik kami menempatkan bokong di sebelah
beberapa anak yang lagi sibuk dengan benang-benang, seorang tante-tante
tiba-tiba nongol dan menghampiri kami. Rambut sebahu ikalnya dicat merah,
senyumnya dipamerin ke kami, dan tangannya yang mulai keriput, terbang-terbang
di udara untuk menggambarkan apa yang dia omongin ke kami dalam Bahasa Rusia.
Dari perpaduan antara Bahasa Tarzan dan Bahasa Rusia itulah kami tau bahwa
namanya Galina. Jadi, mari kita sebut saja si tante dengan Tante Galina.
Dengan kemampuan Bahasa Rusia yang cuman bisa
sebatas privyet (halo), da (iya), dan nyet (nggak), setiap
omongan yang terlontar dari Tante Galina pun kubalas dengan da da da.
Tante Galina ngasihin kami benang warna warni dan lingkaran kecil dari kardus
yang pinggirnya udah digunting-gunting. Sambil si tante ngejelasin step by
step tentang apa yang harus dilakukan dengan si benang dan si kardus, kami
ngamatin apa yang Tante Galina praktekin (satu-satunya hal yang bikin kami
ngerti sedikit... sedikit). Aku seneng banget nangkring di kelas itu, si tante
sangat bisa ngebaca tampang lemot dan nge-zonk kami para turis salah
gaul, ketika kami dengerin penjelasannya yang berasa kayak asdfghjklzcvbnm
untuk telinga kami. Dengan sabar, si tante ngarahin kami untuk muter-muter
lingkaran kardus dan benangnya. Bahasa Inggris si tante yang cuman se-level kindergarten,
dapet pasokan bantuan dari anak-anak di kelas itu untuk beberapa kata kayak yes,
no, dan good. And that was realllyyy helped.
Coskuu dan Ken rupanya tergolong murid teladan
yang bisa nyelesaiin gelang-gelang mereka dengan indah dan rapi bagaikan master
piece. Sedangkan gelang yang dari tadi bertengger di tanganku, bentuknya lebih
menyeruapai ulet keket daripada gelang warna warni yang mempesona. Aku pun
mengenyahkan ulet keket itu, menyerah di bidang pergelangan dan menjarah hal
lain yang menjadi bidang keahlianku. Modusin anak-anak.
Suhu Sasha yang ngajarin Bahasa Rusia |
Dengan tampang lempeng dan sambil mempermainkan
benang-benang yang berhamburan, kusamperin seorang anak laki-laki yang lagi
bengong, aku duduk di sebelahnya, dan aku tanyain namanya pake Bahasa Rusia
yang aku contek dari google translate. Namanya Sasha (Sasha adalah nama
yang sangat pasaran untuk nama cowok di Rusia. Sama kayak Masha untuk nama
cewek). Dia sama sekai nggak bisa Bahasa Inggris selain hallo, tapi dia punya
keinginan yang menggebu-gebu untuk ngajarin turis gabut ini Bahasa Rusia. Sejak
saat itulah, aku nobatkan dia sebagai suhu. Suhu Sasha. Karena Suhu Sasha
melihat ada tekad yang kuat pada diriku untuk belajar Bahasa Rusia, dia sampe
bela-belain lari balik ke kamarnya, ngambil hp-nya buat ngajarin aku baca huruf
Rusia.
Dari hp-nya itulah aku belajar beberapa kata baru
dalam Bahasa Rusia (dan sekarang aku udah lupa). Dari hp-nya jugalah suhu
nunjukin aku anjing peliharaan kesayangannya, keluarga besarnya, dan pengalaman
dia pas pergi ke kebun binatang. Satu hal ajaib yang dia tanyain ke aku pas
nunjukin foto onta di hp-nya. "Indonesia.. camel?" Walopun
awalnya otakku agak konslet gegara pertanyaan itu, akhirnya aku ngerti. Anak
ini mikir kalo Indonesia itu adalah suatu negara padang pasir nan tandus,
tempat berbagai spesies onta berkeliaran, dan tempat orang-orang minum dari
kaktus. Aku pun dengan tegas bilang, "We have camel. ONLY in a zoo!"
to be continued...
0 comments:
Post a Comment