August 17, 2014

Gagal Bikin Gelang


Senin, 21 Juli 2014
 

di kelas kerajinan bareng Ken, Cosku, dan anak-anak :)
Bangun tidur, rasanya masih asing sama keadaan di sekitar. Mata dan jiwa raga masih perlu penyesuaian dengan tempat yang baru di camp ini. Terutama perut yang masih perlu penyesuaian sama bubur kismis, roti tawar mentega, sup kubis bawang yang kuahnya merah, nasi merah yang nggak kayak nasi merah, nasi putih yang rasanya nggak kayak nasi, dan berbagai macam makanan ajaib lainnya yang disediakan tiga kali sehari. Mau nggak mau, kalo mau makan gratis di camp, ya begitu semua makanannya. Tapi kayak yang udah pernah aku bilangin di previous post, makanan yang bisa masuk perut itu, perlu proses untuk cocok-cocokan sama lidah. Jadi, nikmati saja prosesnya. 


Catur super besaaarr
Setelah perut kami udah diisi sarapan, rasa penasaran terhadap apa aja yang dilakukan anak-anak unyu di camp, membawa kaki-kaki kami ke sebuah ruang kelas yang disulap jadi ruangan yang penuh dengan maha karya anak-anak kreatif. Di dinding kelas, ada berbagai lukisan yang didominasi oleh lukisan Laut Hitam (Black Sea) dengan orang-orang bahagia yang berjemur dan berenang. Beberapa anak melukis gunung (tanpa matahari di tengah, yang begituan cuma Indonesia punya). Di tengah ruangan, ada satu meja panjaaaang, dan dua meja bundar. Di pojok depan kelas, ada papan catur super besar dengan dua bocah laki-laki. Salah satu dari bocah itu, pake topi fendora sambil menopang dagunya dan merengut, berlagak kayak atlet catur profesional. 

Aku, Ken, dan Coskuu masuk ke kelas itu dengan sempet ragu-ragu sebentar, kayak maling yang takut kepergok pemilik rumah. Sempet ragu gegara takut ngeganggu anak-anak yang lagi sibuk bikin gelang pake benang-benang rajut. Belum sampai lima detik kami menempatkan bokong di sebelah beberapa anak yang lagi sibuk dengan benang-benang, seorang tante-tante tiba-tiba nongol dan menghampiri kami. Rambut sebahu ikalnya dicat merah, senyumnya dipamerin ke kami, dan tangannya yang mulai keriput, terbang-terbang di udara untuk menggambarkan apa yang dia omongin ke kami dalam Bahasa Rusia. Dari perpaduan antara Bahasa Tarzan dan Bahasa Rusia itulah kami tau bahwa namanya Galina. Jadi, mari kita sebut saja si tante dengan Tante Galina.  
Lagi main Shashki niih..

Dengan kemampuan Bahasa Rusia yang cuman bisa sebatas privyet (halo), da (iya), dan nyet (nggak), setiap omongan yang terlontar dari Tante Galina pun kubalas dengan da da da. Tante Galina ngasihin kami benang warna warni dan lingkaran kecil dari kardus yang pinggirnya udah digunting-gunting. Sambil si tante ngejelasin step by step tentang apa yang harus dilakukan dengan si benang dan si kardus, kami ngamatin apa yang Tante Galina praktekin (satu-satunya hal yang bikin kami ngerti sedikit... sedikit). Aku seneng banget nangkring di kelas itu, si tante sangat bisa ngebaca tampang lemot dan nge-zonk kami para turis salah gaul, ketika kami dengerin penjelasannya yang berasa kayak asdfghjklzcvbnm untuk telinga kami. Dengan sabar, si tante ngarahin kami untuk muter-muter lingkaran kardus dan benangnya. Bahasa Inggris si tante yang cuman se-level kindergarten, dapet pasokan bantuan dari anak-anak di kelas itu untuk beberapa kata kayak yes, no, dan good. And that was realllyyy helped

Coskuu dan Ken rupanya tergolong murid teladan yang bisa nyelesaiin gelang-gelang mereka dengan indah dan rapi bagaikan master piece. Sedangkan gelang yang dari tadi bertengger di tanganku, bentuknya lebih menyeruapai ulet keket daripada gelang warna warni yang mempesona. Aku pun mengenyahkan ulet keket itu, menyerah di bidang pergelangan dan menjarah hal lain yang menjadi bidang keahlianku. Modusin anak-anak. 

Suhu Sasha yang ngajarin Bahasa Rusia
Dengan tampang lempeng dan sambil mempermainkan benang-benang yang berhamburan, kusamperin seorang anak laki-laki yang lagi bengong, aku duduk di sebelahnya, dan aku tanyain namanya pake Bahasa Rusia yang aku contek dari google translate. Namanya Sasha (Sasha adalah nama yang sangat pasaran untuk nama cowok di Rusia. Sama kayak Masha untuk nama cewek). Dia sama sekai nggak bisa Bahasa Inggris selain hallo, tapi dia punya keinginan yang menggebu-gebu untuk ngajarin turis gabut ini Bahasa Rusia. Sejak saat itulah, aku nobatkan dia sebagai suhu. Suhu Sasha. Karena Suhu Sasha melihat ada tekad yang kuat pada diriku untuk belajar Bahasa Rusia, dia sampe bela-belain lari balik ke kamarnya, ngambil hp-nya buat ngajarin aku baca huruf Rusia. 

Dari hp-nya itulah aku belajar beberapa kata baru dalam Bahasa Rusia (dan sekarang aku udah lupa). Dari hp-nya jugalah suhu nunjukin aku anjing peliharaan kesayangannya, keluarga besarnya, dan pengalaman dia pas pergi ke kebun binatang. Satu hal ajaib yang dia tanyain ke aku pas nunjukin foto onta di hp-nya. "Indonesia.. camel?" Walopun awalnya otakku agak konslet gegara pertanyaan itu, akhirnya aku ngerti. Anak ini mikir kalo Indonesia itu adalah suatu negara padang pasir nan tandus, tempat berbagai spesies onta berkeliaran, dan tempat orang-orang minum dari kaktus. Aku pun dengan tegas bilang, "We have camel. ONLY in a zoo!"

to be continued...
Share:

0 comments:

Post a Comment