Kamis, 17 Juli 2014
Akhirnya, setelah 10 jam perjalanan yang lumayan
meremuk redamkan tulang rusuk dan seluruh persendian, sampailah kami lima
serangkai (aku, Ken, Omar, Coskuu, dan Dorka) di terminal Tuapse. Tapi,
perjalanan tidak berhenti sampai di situ. Kami harus meregangkan otot-otot kaki
kami agar punya cukup kekuatan melewati hiruk pikuk kota Tuapse untuk ke
stasiun kereta Tuapse. Tuapse, kota kecil deket Laut Hitam, dengan fasilitas
trotoar yang super lebar dan taman dengan bangku-bangku, nggak bikin kami
leyeh-leyeh sejenak untuk sekedar menikmati pemandangan toko-toko kecil yang
terpampang di sepanjang trotoar. Perlu aku ingatkan lagi tentang kecepatan kaki
orang Rusia yang melebihi kecepatan cahaya. Katya tanpa menunjukkan tampang
capek sedikit pun, melangkah dengan gagah berani sambil bantuin Coskuu geret
kopernya yang segede gaban. Hingga akhirnya, sampailah kami di Stasiun Tuapse.
Stasiun Tuapse sebenernya nggak gede-gede amat,
sama kayak stasiun di tanah air yang punya banyak pedagang. Tapi bedanya,
pedagang di Stasiun Tuapse nggak jualan kacang rebus, kebanyakan jualan es krim
dan kue-kue kemasan. Satu lagi hal esensial dari nih stasiun yang bikin beda
banget sama stasiun di tanah ibu pertiwi. Kereta-nya. Kursinya asli empuk pake
banget, warnanya biru dan merah, kinclong, bersih, mentereng, prestisius,
keretanya punya layar yang nunjukkin destinasi dalam Bahasa Rusia dan Inggris
plus temperatur destinasi tujuan, ada juga suara mas-mas dan mbak-mbak yang
ngumumin hal-hal terkait keberangkatan kereta dalam Bahasa Rusia dan Inggris.
Walopun tampangku udah nggak ada bentuknya lagi, tapi nggak menghentikanku
untuk menunjukkan ekspresi tesepona. Terlebih, dari jendela terpampang nyata
pemandangan laut hitam yang berpadu dengan kaki langit dan awan yang berarak
(abaikan kenyataan cewek-cewek yang berjemur pake bikini).
Setelah bersemedi di kereta sekitar 30 menit,
akhirnya sampai jualah kami di Green Light Summer Camp.
Kedatangan kami di camp, disambut dengan kedatangan adek-adek yang
berbondong-bondong menggeret kopernya ke kamar mereka masing-masing. Mereka
ternyata juga baru nyampe di camp, sama kayak kami. Beberapa anak yang
sudah datang lebih dulu, banyak melakukan aktivitas outdoor. Walopun
semua nyanyian dan teriakan mereka kedengarannya kayak asdfghjklqwertyuiop buat
telinga Indonesiaku, tapi aku sangat amat mengerti bahwa mereka bahagia jaya
sentosa.
Akhirnya, perut-perut kami yang udah ketularan
encoknya punggung, terisi juga oleh sarapan di kantin camp. Diantara
sekian banyak sarapan yang udah pernah aku cicipin di Rusia, inilah sarapan
tersedih yang pernah aku makan. Selama di rumah di Katya, kami disuguhin teh
hijau sama pancake yang dituang yogurt di atasnya. Nah, di camp kami
disuguhin roti yang biasanya dipake buat dilempar-lemparin ke burung merpati di
pinggir jalan. Untung aja ada satu lagi jenis makanan yang bikin sarapan kami
lebih manusiawi. Semacam kue manis yang berbalut krim putih yang bentuknya
mirip kelopak bunga. Pada pandangan pertama, kue itu emang bikin liur menetes,
tapi setelah gigitan pertama, aku langsung pingin muntahin semua makanan yang
tadi kumakan. Untuk yang suka manis-manis, kue kelopak bunga itu cucok banget
untuk mengganjal perut. Tapi untuk yang standar manisnya di bawah rata-rata,
mendingan kuenya dibawa pulang aja, buat dijadiin pajangan di ruang tamu.
Bentuknya bagus soalnya, kayak bunga mawar gitu.
Tapi sebenernya, kalo travelling ke negeri orang,
yang bermasalah bukanlah makanannya. Makanan yang bisa masuk perut itu cuman
masalah kecocokan antara apa yang disajikan dengan lidah kita. Nah, untuk nyari kecocokan itulah yang perlu
proses. Kalo udah terbiasa dan cocok, pasti bisa masuk hati perut.
to be continued...
0 comments:
Post a Comment