February 6, 2014

Jadi EP Jadi-Jadian

Pertama-tama, permintaan maaf yang sebesar-besarnya ingin saya tujukan pada siswa-siswi SD Sumurboto kelas 4A hari ini yang telah terbodohi oleh keberadaan saya. Ini semua diluar skenario dan sutradaranya bukan saya. *ditabok*.

Project ketiga Sunshine AIESEC Undip, seperti biasa masih mengisi hari-hari membosankan liburanku semester ini. Sebenernya pingin aja mendekam di kost sampai berlumut dan berjamur, tapi rupanya beberapa spesies jamur dan lumut masih enggan numbuh, jadi aku lebih milih buat menggerakkan sedikit sendi-sendiku dengan jalan bentar ke SD Sumurboto. Semarang masih kayak hari-hari biasa di musim penghujan. Dingin dan membuai kedua biji  mataku buat nempel ke kasur. Tapi panggilan anak-anak SD yang meraung minta diajar akhirnya membangunkanku.

Satu per satu exchange participant (EP) tumbang. Gegara macem-macem lah. Selama ini mereka selalu hidup di lingkungan yang terlampau aman sejahtera dan terkendali. Jadi, begitu mereka mbelesek di Semarang, yang kondisinya jauh berbeda sama tempat asal mereka, sistem pertahanan tubuh mereka pun langsung letoy loyo nggak berdaya. 

Inilah kesempatanku satu-satunya buat nambah pengalaman nyekokin pelajaran Bahasa Inggris ke murid-murid SD dan mulai memupuk kemampuan berakting yang sepertinya mulai numbuh. Ini semua berkat Zaka. Thanks to Zaka yang tiba-tiba mengklaim seonggok curut tak berdaya ini sebagai EP dari Malaysia. Dunia memang kejam, sodara-sodara. Ada membodohi dan ada yang dibodohi. Tapi dalam kasus ini lain cerita. Ide brilian Zaka ini semata-mata hanya untuk membangkitkan semangat para murid kelas 4A yang EP-nya lagi nggak bisa ngajar gegara sakit. 

Jadi ceritanya adalah, aku dan Zaka sama sekali nggak punya persiapan untuk menyumpal otak murid kelas 4A pake apa. Peranku sebagai EP Malaysia palsu, secara nggak langsung mengasah kemampuanku berkreatifitas tentang apa pun yang aku tau tentang dreams dan segala macam tetek bengek cerita yang kira-kira bisa memotivasi para curut kelas 4A untuk berjuang meraih cita-cita mereka. Walopun aku dijadikan tumbal, tapi ini adalah proses pertumbalan yang menyenangkan

Beda sama jaman waktu keimutan dan keunyuan masih menjajah tampangku dulu. Dulu aku adalah siswa kelas 4 teladan yang nangis kalo nggak dapet 10 untuk pelajaran matematika. Bocah kelas 4 jaman sekarang, kalo nggak ditangani oleh (calon) psikolog handal macam aku gini *disembur*, nggak bakal bisa ter-handle dengan baik. 

Mereka (murid-murid) bengis dan makan orang di awal pelajaran. Mereka gigitin buku dan nelen bulat-bulat sampai bersuara kayak psikopat. Hmm.. ini gambaran ekstremnya. Hanya majas hiperbola. Pokoknya, kurang lebih begitulah untuk menggambarkan keganasan curut-curut super berisik itu. 

Karna emang pada dasarnya aku nggak bisa marah dalam artian beringas sampe matahin meja, yang aku lakukan adalah diemin mereka dan ngasih kesempatan mereka untuk ngomong sampe mereka sadar keberadaanku. Dengan kedok EP Malaysia palsu-ku, kukeluarkan kata-kata magis untuk menghipnotis mereka

Aku     : "Kalian ke sekolah ngapain?"
Bocah  : "Belajar!"
Aku    : "Tapi aku nggak liat kalian mau belajar tuh. Yang kalian lakukan cuma ngobrol. Kalo cuma pingin ngobrol, mending nggak usah sekolah deh. " 
Bocah  : *udah mulai dengerin, tapi masih ada beberapa oknum yang bandel*
Aku     : "Kalian punya cita-cita, nggak?!"
Bocah  : "PUNYAA!"
Aku     : "Kalian mau mencapai cita-cita itu nggak?!"
Bocah  : "MAUUU!!"
Aku     : "Terus kalian harus ngapain untuk mencapainya?!"
Bocah  : "BELAJAAAR!!"
Aku     : "Harus ngapain?!!"
Bocah  : "BELAJAAAAR!!!"
Aku     : "Bagus! Oke kita mulai belajar!!" 

Kelas pun berlangsung, dengan ide brilian yang tiba-tiba nancep di otakku. Kisah insipiratif dari Hellen Keller. Nggak ada satu pun dari mereka yang tau tokoh itu. Mereka beruntung karena udah sejak kelas 4 SD, mereka udah mulai mengenal tokoh itu (aku baru tau Hellen Keller waktu kelas 10. #infopenting). Aku seneng ngeliat ekspresi takjub dan amazed mereka sama kisah Hellen Keller yang aku paparkan ke mereka. Their eyes were sparkling brightly when I told them the achievements that Hellen achieved. Aku bisa melihat bahwa mata-mata itu lagi dibakar semangat membara-bara. 

Kelas dilanjutkan dengan nempelin post it di dream tree yang ditempel di belakang kelas. Aku nggak sempet buat ngeliatin satu-satu cita-cita mereka, karna saking sibuknya ngurusin bocah-bocah yang minta double tape dan yang minta ditempelin post-it-nya ke dream tree. Sesi tempel menempel selesai, sesi terakhir adalah, sesi buatan mereka sendiri. Yaitu, minta tanda tangan dan foto seorang EP palsu. Akhirnya aku tau gimana rasanya jadi artis yang dimintai tanda tangan dan foto. Terima kasih semuanya, I love you *ala-ala speech di Grammy Award*

Tas-ku punya gantungan hand sanitizer unyu berbungkus gambar owl dan sesi berbaris untuk mendapatkan setetes hand sanitizer yang aku bilang dari Malaysia ini pun terjadi. Itu aku beli harga 20rb, dan sisanya tinggal setengah botol hanya dalam sekejap. Baiklah adik-adik, intinya adalah, percaya saja apa yang orang tua semacam aku ini bilang ke kalian. Karena pada dasarnya, nggak ada ulterior motive selain untuk kebaikan kalian sendiri.:)

Salam kecup,

Kalista :*
(fake) Malaysian EP
Share:

0 comments:

Post a Comment