February 13, 2017

Semoga Tuhan Mendengar

Aku baru sampai Semarang dan langsung sakit esoknya. Demam, ditambah flu dan batuk yang terus menerus. Tadinya kupikir aku baik-baik saja, tadinya kupikir malam ini akan segera sembuh. Tapi rupanya tidak. Aku masih demam, masih batuk-batuk dan masih penuh ingus. Namun Tuhan berbaik hati padaku. Hari itu dikirimkan-Nya seorang penjaga untuk hariku yang sakit. Dikirimkan-Nya seorang yang berjaga saat aku terjaga, seorang yang berjaga saat aku tertidur. Seorang yang entah apa yang ia lakukan, tapi setiap kali sadar, ia ada di sana. 

Dia adalah orang pertama yang kutemui saat tiba di Semarang. Orang pertama yang menyentuh pucuk kepalaku lalu senyam senyum membawaku ke boncengannya. Mau tak mau aku ikut senyam senyum juga. Meski senyumku tak berlangsung lama, karena keesokan harinya aku sakit, dan aku menangis. Aku bisa saja melakukan semuanya sendiri saat sakit begitu. Bisa saja aku merangsak dengan sepeda motorku menuju klinik, atau ngesot ke apotek buat beli obat. Namun itu adalah kebisaanku sebelum aku bertemu dia. Setelah bertemu dia, aku tidak bisa. 

Ia hanya sesederhana berada di sana, mematung dengan ponselnya, cerewet tentang ini itu, bolak balik beli makanan tiga kali sehari, potong-potong buah naga dan apel, serta tak lupa dengan kejutan sederhana untuk ulang tahunku yang ke 21 tanggal 11 kemarin. Sekotak donat penuh doa dan cinta, serta sebuah kemeja kotak-kotak (yang seharusnya mirip punya Pak Ahok) yang kebesaran. Lagi-lagi ia memberi terlalu banyak. Lagi-lagi ia membuatku mempertanyakan kepantasanku terhadap ini itu darinya. 
 
Orang itu yang pertama kali khawatir hari itu, yang pertama kali menggeretku periksa ke klinik, yang pertama kali mengompres keningku. Orang asing pertama yang selalu merasa kurang di segala kelebihannya dalam memberiku syukur. Orang asing pertama yang memandangku seperti memandang nyawanya yang berharga. Orang asing pertama yang terlalu banyak berkorban untuk sesuatu yang belum tentu ia dapatkan balasannya. Orang asing pertama yang berani dan takut padaku di saat yang bersamaan. Orang asing pertama yang tidak banyak bilang sayang tapi perilakunya menunjukkan kelebihan sayang. Orang asing pertama yang membuatku terharu hingga menangis bayi saat menulis ini. 

Aku tidak pernah ingat kapan pertama kali Tuhan mengijinkan kami melihat satu sama lain. Kapan Tuhan mengijinkan kami jadi semakin dekat hingga hari saat aku sakit itu. Mengapa pula dikirimkan sakit yang membuat cemasnya semakin deras. Kenapa pula Tuhan biarkan kami menemui satu sama lain, saling rindu, lalu begitu terus berulang. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana kelanjutan kisahku dan dia. Bagaimana kelanjutan rindu dan pertemuan kami. Aku tidak ingin berharap, namun tetap berharap di saat yang bersamaan. 

Aku berterimakasih atas semua letih, cemas, tawa, dan tangismu. Aku berterimakasih untuk hal-hal itu yang sebenarnya terimakasihku pun tak cukup untuk menampungnya. Aku berterimakasih untuk ada dan tiadamu. Aku berterimakasih untuk setiap detik waktu hidupmu yang kau buang untukku. Aku memberi percaya padamu, untuk segala cita-citamu, segala doa, dan segala kasih sayangmu. Semoga Tuhan mendengar doaku, doamu dan doa kita. 
Share:

0 comments:

Post a Comment