February 21, 2016

Atas Nama Sistem

Pertanyaan selanjutnya yang perlu dijawab adalah apakah tujuan perguruan tinggi didirikan? Apakah sekedar untuk melahirkan pekerja, profesional ataukah juga menjadi sebuah instutusi yang menjadi pusat gerakan, tempat untuk menempa calon-calon intelektual, para kreator, pembaharu, dan penyemai agen-agen perubahan? Realitas yang terjadi adalah perguruan tinggi sibuk mencetak tukang, reparator, kelompok mediokre (tanggung). Perguruan tinggi teknik, seperti ITB mencetak tukang insinyur. Universitas eks IKIP menghasilkan tukang mengajar, bukan guru intelektual.

 -Bambang Wisudo, aktivis Sekolah Tanpa Batas-

Sebuah tamparan keras. Tidak hanya di pipi, tapi di seluruh tubuh, terutama terhadap apa yang terkandung di kepala. Aku ingin jujur, selama ini mencari-cari pembenaran, sebenarnya kenapa tugas-tugas kuliah itu harus dengan suka rela kukerjakan hingga larut malam dan kepikiran hingga lupa makan? Kenapa harus repot bangun pagi-pagi untuk berkemas segera ke kampus padahal bisa saja tinggal di kos dan melakukan hal lain yang menurutku lebih berguna? Kenapa memilih mata kuliah pilihan A dan B, saat aku bisa saja hanya belajar yang wajib? Mengapa rela pergi jauh dari kampung halaman untuk melakukan rutinitas yang membosankan di tanah orang? 

Rupanya esensinya belum aku dapatkan. Esensi dari enam semester kuliah yang kujalani, tidak kudapatkan hingga hari ini. Pun aku tahu bahwa di masa depan mungkin aku akan menjadi karyawan entah untuk siapa, mungkin akan menjadi mesin entah untuk tangan bajanya siapa, akan menjadi bagian dari pergerakan isi dompetnya entah CEO yang mana. Gambarannya sudah kudapatkan, kurang lebih akan seperti itu. Tapi entahlah.. aku tidak ingin. Tidak ingin saja. Rasanya aku ingin hidup bersusah susah dari menuangkan pikiranku dalam tulisan fiksi, susah makan karena kisah fiksiku tidak terlalu menghasilkan, daripada menjadi karyawan di sebuah perusahaan besar yang jadwal kerjanya sudah ditentukan bos. Aku ingin bebas dan menciptakan duniaku sendiri.

Aku tidak membanggakan diriku, tapi aku hanya merasa perlu menggedor batas-batas yang dibuat oleh tuntutan rutinitas itu terbentuk setelah aku menginjakan kaki di perguruan tinggi. Perguruan tinggi lah yang membuatku ingin mendobrak hal-hal normatif. Hal normatif yang mematikan kreativitas dan mematikan kelahiran benih-benih kreator yang menggeliat minta diwujudkan dalam aksi nyata. Tapi di satu sisi aku sadar bahwa perguruan tinggi adalah salah satu bagian dari hal normatif itu. Bagian dari sistem, pergerakan gerigi yang perlu pelumas. Bukan lagi gerigi yang mengetahui mengapa ia harus berputar, untuk siapa ia berputar, dan ke arah mana ia berputar. Tapi sekedar gerigi yang sekedar mencari pelumas untuk sekedar berputar. Atas nama sistem.
Share:

1 comment:

  1. Saat diskusi di kampus mulai tak menarik lagi, sedangkan obrolan selebriti lebih menggugah hati. Berbahagialah ketika kita mulai sadar itu salah, karena akan seperti apa kita kelak cukup dimulai dari hari ini. Mulai mencari jalan lain yang terbaik untuk ketenangan jiwa dan hati.

    ReplyDelete