February 19, 2016

20

Tadinya ada yang berjanji tapi mengingkari, janji pada diri sendiri padahal. Lain dengan janji kepada orang lain. Entah mengapa orang yang ini merasa lebih baik menyakiti dirinya sendiri daripada menyakiti orang lain. Mungkin pikirnya, karena lebih mudah minta maaf pada diri sendiri daripada minta maaf pada orang lain. Orang ini pun beranjak tua. Bukan, bukan dewasa. Belum dewasa. Ia masih kekanakan, usianya 20, tapi rasanya ia masih 11 tahun. Karena ia masih seenaknya melanggar apa yang ia buat sendiri, membuat janji-janji baru hanya untuk dilanggar lagi, begitu seterusnya hingga tak terasa 12 bulan lagi ia akan berusia 21. Lalu terulang lagi hingga ia 22 tahun dan seterusnya. Lucu. Tentu saja ia tidak mau seperti itu sepanjang hidupnya. Ia hanya tidak tahu harus mulai kapan. 

Orang ini punya cita-cita yang sejak kecil ia simpan rapat. Beberapa kali ia tunjukan keinginannya mencapai cita-cita tersebut, tapi mungkin ia dikutuk. Dikutuk hingga usianya yang kini 20, bisa-bisanya masih bersantai ria, bersendau gurau, menertawakan masa depan yang ia bahkan tak tahu akan seperti apa jadinya. Mengacaukan hari ini, esok, lusa, dan minggu depan, begitu seterusnya hingga satu semester dan sebentar lagi ia harus mengerjakan skripsi. Ia tidak ingin hidup dengan alur yang direncanakan orang tuanya. Ia tidak ingin mengejar apa yang sebenarnya tidak ingin ia kejar, tidak ingin memperjuangkan apa yang selama ini hanya menjadi formalitas, konformitas, dan rutinitas. Ia ingin memberontak, pergi jauh menyendiri, lalu pulang dengan gilang gemilang. 

Ia hanya perlu membuktikan, hanya perlu bertindak dengan janji yang seharusnya tidak pernah diingkari, lalu perlahan namun pasti, mengatakan dengan tindakannya, bahwa ia tidak perlu formalitas, konformitas, dan rutinitas itu. Bahwa ia punya hidupnya sendiri dan tidak akan hidup untuk orang lain. Bahwa ia punya usaha, Tuhan, dan kepercayaan yang meluap. Tapi ia butuh bimbingan. Ia harus konsisten, harus memaksa diri sendiri demi hal yang diinginkannya, bukan menyakiti diri sendiri, tapi hanya menjadi sedikit lebih lelah, sedikit lebih sering terjatuh, dan sedikit lebih banyak berkorban. Toh yang ia perjuangkan bukan untuk orang lain, bahkan untuk orang tuanya pun. Ini untuk dirinya sendiri, untuk masa depannya, dan untuk Tuhannya.
Share:

0 comments:

Post a Comment