Tadinya ada yang berjanji tapi
mengingkari, janji pada diri sendiri padahal. Lain dengan janji kepada orang
lain. Entah mengapa orang yang ini merasa lebih baik menyakiti dirinya sendiri
daripada menyakiti orang lain. Mungkin pikirnya, karena lebih mudah minta maaf
pada diri sendiri daripada minta maaf pada orang lain. Orang ini pun beranjak
tua. Bukan, bukan dewasa. Belum dewasa. Ia masih kekanakan, usianya 20, tapi
rasanya ia masih 11 tahun. Karena ia masih seenaknya melanggar apa yang ia buat
sendiri, membuat janji-janji baru hanya untuk dilanggar lagi, begitu seterusnya
hingga tak terasa 12 bulan lagi ia akan berusia 21. Lalu terulang lagi hingga
ia 22 tahun dan seterusnya. Lucu. Tentu saja ia tidak mau seperti itu sepanjang
hidupnya. Ia hanya tidak tahu harus mulai kapan.
Orang ini punya cita-cita yang sejak
kecil ia simpan rapat. Beberapa kali ia tunjukan keinginannya mencapai
cita-cita tersebut, tapi mungkin ia dikutuk. Dikutuk hingga usianya yang kini
20, bisa-bisanya masih bersantai ria, bersendau gurau, menertawakan masa depan
yang ia bahkan tak tahu akan seperti apa jadinya. Mengacaukan hari ini, esok,
lusa, dan minggu depan, begitu seterusnya hingga satu semester dan sebentar
lagi ia harus mengerjakan skripsi. Ia tidak ingin hidup dengan alur yang
direncanakan orang tuanya. Ia tidak ingin mengejar apa yang sebenarnya tidak
ingin ia kejar, tidak ingin memperjuangkan apa yang selama ini hanya menjadi
formalitas, konformitas, dan rutinitas. Ia ingin memberontak, pergi jauh
menyendiri, lalu pulang dengan gilang gemilang.
Ia hanya perlu membuktikan, hanya
perlu bertindak dengan janji yang seharusnya tidak pernah diingkari, lalu
perlahan namun pasti, mengatakan dengan tindakannya, bahwa ia tidak perlu
formalitas, konformitas, dan rutinitas itu. Bahwa ia punya hidupnya sendiri dan
tidak akan hidup untuk orang lain. Bahwa ia punya usaha, Tuhan, dan kepercayaan
yang meluap. Tapi ia butuh bimbingan. Ia harus konsisten, harus memaksa diri
sendiri demi hal yang diinginkannya, bukan menyakiti diri sendiri, tapi hanya
menjadi sedikit lebih lelah, sedikit lebih sering terjatuh, dan sedikit lebih
banyak berkorban. Toh yang ia perjuangkan bukan untuk orang lain, bahkan untuk
orang tuanya pun. Ini untuk dirinya sendiri, untuk masa depannya, dan untuk
Tuhannya.
0 comments:
Post a Comment