February 20, 2016

Pranikah

Semester enam, semester ini aku mendapatkan pendidikan pra nikah. Psikologi keluarga dan psikologi seks. Saling melengkapi, saling memperkaya bayangan-bayangan tidak terbayangkan tentang pernikahan. Terutama psikologi keluarga. 7 sks, dari pukul 8 hingga setengah 2, pembicaraannya hanya tentang keluarga dan segala tetek bengeknya. Tentang betapa membahagiakannya menikah, punya anak, mendidik anak, dan mempertahankan pernikahan. Tidak terlalu berharap banyak dari mata kuliah ini. Secara tidak sadar, penyangkalan-penyangkalan tentang kebahagiaan dan manfaat pernikahan tetap berlarian di kepalaku. Apa yang disampaikan Pak Imam di depan kelas hanya aku beri anggukan lalu cengiran ragu dan tawa hasil ikut-ikutan dari teman-teman. Bilang aku skeptis. Silakan. Mungkin aku memang skeptis. 

Katanya budaya melajang adalah budaya yang merusak. Katanya menikah memberikan lebih manfaat. Aku ingin setuju tapi sebenarnya tidak juga. Aku ingin menyangkal dengan mengacungkan tangan di kelas, bicara ini itu dari A sampai Z tentang penyangkalanku, tapi aku tidak ingin terlihat menyedihkan, makanya aku hanya diam. Silakan tugaskan pada perempuan yang menginjak usia dewasa awal semacamku ini untuk mempersiapkan pernikahan, dalam kutip tugas perkembangan. Silakan dilakukan, tapi kalau tidak, tidak masalah. Silakan anggap pernikahan sebagai keinginan yang menggebu-gebu untuk memperoleh lebih banyak kebahagiaan, tapi silakan anggap pernikahan sebagai bagian dari penebusan dosa karena sudah hidup dan berada di sistem bergerigi ini. 

Orang-orang yang tidak melakukan tugas perkembangannya, dianggap gagal dan tidak akan mampu mencapai tugas-tugas selanjutnya, tugas-tugas usia perkembangan di atasnya yang mensyaratkan rampungnya tugas-tugas sebelumnya. Oke, silakan lakukan tugas itu. Lakukan dengan gilang gemilang dan senyum sumringah. Tapi perlukah mengutuk orang-orang yang tidak melakukan tugas itu? Perlukah mengutuk mereka yang tidak menikah? Mengagung-agungkan pernikahan dan meremeh-temehkan para lajang? Aku hanya ingin bilang bahwa menikah tidak sebagus itu. Menikah tidak semembahagiakan itu sehingga halal untuk memandang sebelah mata para lajang. 

Bagi para orang tua, menikah adalah membahagiakan karena mereka dapat anak. Lalu mereka memprioritaskan anak daripada pasangan mereka yang ikut berkontribusi memberi anak itu. Berduel mulut ba bi bu demi si anak, demi masalah yang muncul karena rebutan anak, rebutan uang, dan rebutan kasih sayang. Aah.. kalau begitu tidak usah menikah saja. Banyak anak-anak malang di panti asuhan yang minta diadopsi. Jadi single parent, jadi tidak perlu berdebat dengan pasangan tentang ini itu, lalu hidup adem ayem, karena semua keputusan tidak perlu menunggu pertimbangan pasangan, tidak perlu rebutan, karena pasangan pun tidak ada, karena single parent. Hahahaha. Lucu. Iya. Lucu. 

Maksudku, oke silakan menikah, silakan berbahagia dengan pernikahan, tapi jangan merasa tangga menuju pintu surga semakin terjangkau dengan pernikahan. Jangan merasa dapat tropi emas dan medali emas dengan kemewahan pernikahan. Silakan jaga apa yang telah disanggupkan dari pernikahan. Lakukan dengan sebaik-baiknya, tapi jangan pernah merasa lebih baik dari orang lain. Tidak ada satu manusia pun di muka bumi ini yang tau secara persis mengenai isi kepala orang lain, jadi pun tidak ada yang tahu siapa yang lebih baik dari siapa kecuali Tuhan.
Share:

1 comment:

  1. Wow... such a great argument! I think in my opinion that's objective. Because sometumes people just think in one side, like a coin. There are two sides. Be balance!

    ReplyDelete