January 17, 2016

Tidak Ada Intinya


Kalista, Sophi, Salsa, Lianda dan Raisa. Empat dari lima manusia itu sudah menjadi gadis, satu lagi masih kecebong yang menggeliat di genangan air. Gadis-gadis itu berkumpul pada Sabtu malam, sebelum dikalahkan waktu pada Minggu, karena salah satu dari mereka akan kembali pergi ke perantauan di kota kabupaten. Kami diantar seorang om yang sudah kami anggap sebagai ayah sendiri. Seorang om yang rela melaju sekian belas kilometer untuk mengantar jemput gadis-gadis yang ingin gaul ketawa ketiwi itu. Seorang om yang sejak 19 tahun yang lalu sudah sering mengajak naik monyet-monyetan yang bergoyang-goyang dan mengambung-ambung tubuh mungil keponakannya ke angkasa. Ya, kami diantar jemput om itu. Pesan segala macam pizza, green tea banana, green tea lychee, segala macam rupa, dengan gratis. Dialah laki-laki ke dua setelah ayah yang paling kusayang. Lianda bahkan ingin menjadi pacarnya.

Aku akan membicarakan tentang om itu.. 

Terkadang memang membingungkan melihat seseorang yang seumur hidupnya terlihat tenang dan sabar. Ia tersenyum, damai, meneduhkan, lalu seseorang yang melihatnya tersenyum, rupanya luluh,  ikutan jadi orang baik yang penuh lapang. Senyum itu bahkan membuat orang lain merasa begitu jahat akibat sandingannya adalah mata-mata yang tidak bedusta tentang senyum-senyum itu. "Berhenti membuatku merasa jahat!" Ia perlu diteriaki seperti itu, tapi senyumnya tetap terbit. Lalu orang-orang yang menerima senyumnya, hanya bisa berbalik tersenyum sambil menerima martabak yang ia antarkan, lembar-lembar merah yang ia tarik dari dompet, dan jasa antar jemput belasan kilometer yang ia bagikan cuma-cuma. Selama 19 tahun kehidupanku, aku tahu ia tetap melakukan itu. Kepada siapa pun. Dengan senyuman itu tentu saja.

Diam-diam aku ingin menjadi pemilik senyum itu. Ingin menjadi pemilik tenang dan sabar itu. Ingin membungkus tiga hal itu dalam plastik kedap udara, lalu menanamnya di suatu tempat di dalam ulu hati, atau mana pun. Ingin tiga hal itu tumbuh dalam diriku, lalu menemaniku saat bertemu orang-orang yang tak punya senyum, tak punya sabar, dan tak punya tenang. Tapi satu atau beberapa sifat, kadang terlalu jauh untuk menjadi jangkauan kaki dan tangan seseorang. Seringnya seseorang menyerah lalu memperkuat sifat-sifat yang ia percaya selama ini secara ajaib ditanamkan dalam darah-darah yang mengalir di kepalanya. Mungkin itu terjadi pula padaku. 

Terkadang orang-orang tak mengerti kenapa seseorang tetap memberi meski kehilangan tetap terjadi. Sulit dimengerti juga kenapa seseorang tetap tersenyum percaya meski yang lain marah dan berkhianat. Kenapa tetap mencintai setelah dibenci. Kenapa tetap jujur setelah dijebak kepura-puraan. Aku berusaha menjawab, namun pertanyaan-pertanyaan yang lain muncul lagi menyusul tertib seperti bebek. 

Usahaku menjawab menghasilkan sedikit pengertian bahwa memberi itu bukan untuk orang lain, melainkan diri sendiri. Tersenyum pun begitu. Mencintai dan jujur juga. Orang-orang akan tetap jungkir balik, lari sambil kayang, yang sehat jadi gila, yang gila jadi sehat, laki-laki jadi perempuan, perempuan jadi laki-laki. Orang lain adalah kepala-kepala diluar jangkauan tangan. Isi otak dan isi hati mereka tidak ada yang tahu kecuali mereka sendiri dan Tuhan. Tapi diri sendiri adalah diri sendiri. Keterjangkauannya dapat dicapai. Sehat gila, jujur bohong, cinta benci-nya adalah keterjangkauan yang dicapai dari hasil kongkalikong diri dan Tuhan. 

Jadi intinya.. entahlah tulisan ini tidak ada intinya. 

Nb: tulisan ini hanya tentang potongan-potongan tanda tanya yang bermunculan setelah munculnya kata per kata dan kalimat per kalimat acak..
Share:

0 comments:

Post a Comment