Aku ingin jujur. Minggu pertama magangku menyedihkan. Lebih menyedihkan daripada aku harus tinggal di rumah guling-guling di kasur dari pagi sampai pagi lagi. Sama sekali tidak mengharapkan apa pun dari magang ini. Tapi sama sekali tidak terpikir bahwa selama seminggu dari hanya tiga minggu magangku, hanya diisi dengan menyusun dan membagi sertifikat pelatihan untuk semua karyawan rumah sakit. Menyedihkan karena untuk melakukan hal-hal tidak berguna ini, aku harus bayar 150 ribu (yang awalnya malah disuruh bayar 500 ribu plus biasa pembimbing 150 ribu, ternyata si ibu yang menginfokan, punya sedikit masalah dalam melihat angka-angka terkait tarif semacam ini). Tapi selama seminggu ini, aku berhasi menyimpulkan beberapa hal.
January 23, 2016
January 17, 2016
Tidak Ada Intinya
Kalista, Sophi, Salsa, Lianda dan Raisa. Empat dari lima manusia itu sudah menjadi gadis, satu lagi masih kecebong yang menggeliat di genangan air. Gadis-gadis itu berkumpul pada Sabtu malam, sebelum dikalahkan waktu pada Minggu, karena salah satu dari mereka akan kembali pergi ke perantauan di kota kabupaten. Kami diantar seorang om yang sudah kami anggap sebagai ayah sendiri. Seorang om yang rela melaju sekian belas kilometer untuk mengantar jemput gadis-gadis yang ingin gaul ketawa ketiwi itu. Seorang om yang sejak 19 tahun yang lalu sudah sering mengajak naik monyet-monyetan yang bergoyang-goyang dan mengambung-ambung tubuh mungil keponakannya ke angkasa. Ya, kami diantar jemput om itu. Pesan segala macam pizza, green tea banana, green tea lychee, segala macam rupa, dengan gratis. Dialah laki-laki ke dua setelah ayah yang paling kusayang. Lianda bahkan ingin menjadi pacarnya.
Aku akan membicarakan tentang om itu..
January 11, 2016
Aku Ingat Hari Ini Senin
Pagi ini tampak lebih menyegarkan dari pada
pagi pagi yang lain. Rupanya hari ini Senin. Hanya tiga hari sebelum terbang ke
pulau seberang untuk kembali bersama separuh hati yang tercecer di sana,
separuh kebahagiaan yang tertinggal di sana. Tanpa sengaja, tidak disengaja,
hanya saja aku selalu lupa membawa separuh hati dan kebahagiaanku dari tempat
itu. Lupa bahwa kebahagiaan itu seharusnya seratus persen sehingga tidak ada
ruang untuk rasa rindu yang lebih sering menyiksa daripada membahagiakan.
January 5, 2016
2016
Hidup bukan tentang seberapa banyak pundi-pundi di saku celana dan baju. Bukan pula tentang seberapa banyak orang yang dijadikan teman hanya untuk ditinggal pergi. Apalagi tentang menginjak kepala orang lain yang belum tentu lebih hina dari yang menginjak kepala.
Hampir dua puluh tahun, hidup seorang gadis sudah berlangsung sejauh itu, tapi bisa saja ia egois lalu bilang seenaknya hidupnya sia-sia. Bisa saja ia sombong, lalu berhenti memberi nilai pada hidup. Pikiran-pikiran seenaknya berkeliaran seperti id yang selalu berkonflik dengan superego. Maka dari itu, tahun ini, gadis hampir dua puluh tahun itu, memutuskan untuk berkongkalikong dengan ego-nya untuk mendamaikan id dan superego. Jari-jarinya berlarian, menuliskan kata-kata di bawah ini..