Aku nggak pernah sejatuh cinta ini sama
novel karangan siapa pun. Nggak pernah
sebelum suatu hari ayah merekomendasikan sebuah novel yang baru cetak, karya
Andrea Hirata judulnya Ayah. Tanpa banyak cincong, aku langsung terima novel
itu untuk menuhin rak buku di kosan. Baca novel ini, kayak nggak kenal waktu
aja. Rasanya pingin bacaaa terus. Bangun tidur, langsung baca. Baru nyampe
kosan habis dari kuliah, langsung baca. Habis dari kamar mandi, langsung baca. Yang
harusnya nugas, malah baca nih novel. Aaahh.. bahagia banget rasanya bisa baca
novel ini. Selesai baca, aku langsung bilang sama ayah kalo novel ini juara
banget. Jadilah ayah minta balik novel yang harusnya dia beliin buat aku itu. Aku
disuruh beli lagi yang baru, tapi ya beda lah rasanya beli baru sama punya yang
udah dibalik lembar per lembarnya. Akhirnya novel itu aku ikhlasin aja buat
ayah, karena udah terlanjur dicoret-coret ama doi.
Yang bikin aku terkesan dari novel
ini adalah, karena kesederhanaan yang diajarkan di dalamnya. Kebahagiaan yang
timbul dari hal-hal sepele yang mungkin kelihatan bodoh dan sederhana, tapi
ternyata itu udah bisa bikin seseorang ngerasa, “cukup, aku udah nggak perlu
apa-apa lagi di hidup ini selain that
thing.” Entah radionya Amirza, puisinya Sabari, Lady Diana (hey, she’s in
the book!). Ketulusan, keikhlasan, sakit hati, perjuangan, kesetiaan, kasih
sayang, aaahh.. semuanya ada di novel ini. Mungkin aku agak baper di beberapa
adegan, bahkan aku bisa ampe nyumpah-nyumpahin si tokoh utamanya, Sabari, “Ri,
lo kok bego banget sih udah jelas Marlena jijik sama lo, masih aja
dikejar-kejar.” Udah yang geregetan banget sama Sabari. Tapi thanks to his dad
(read: Andrea Hirata) yang bikin tokoh ini sabarnya nggak ketulungan. Yang berhasil
bikin pembaca baper macem aku ini akhirnya tersenyum gemas dan (hampir) nangis
haru karna tingkahnya Sabari.
Oke lah Sabari bego, dekil, item, kucel, tapi semua yang dia lakuin semuanya tulus, polos, nggak pamrih, tanpa minta dibalas, jujur, itulah satu lagi poin yang bikin pembaca semacam aku gini jatuh cinta sama the whole package of this novel.
Nggak cuman tentang Sabari dan cintanya
pada Marlena, kisah persahabatan dia sama tiga orang berandal, kalo kata guru
Bahasa Indonesianya, raskal 1, 2, 3, ada Ukun, Tamat, sama Toharun. Mereka berempat
itu (plus Sabari) kayak puzzle yang emang perlu satu sama lain untuk jadi utuh.
Gemes juga sama mereka karena sebenernya sama begonya sama Sabari, tapi (Ya
Allah, Kalista terlalu jatuh cinta sama buku ini, mau kawin aja ama novelnya
tolong) mereka itu tulus bangeeettt... gimana yaaa, tulus bego lucu
menggemaskan gituu. Mungkin orang-orang semacam mereka terlalu indah untuk ada
beneran di kenyataan, jadi biarlah mereka hidup dalam imajinasi para pembacanya.
Dari novel ini aku kembali
meluruskan esensi dari my existance in this universe. Bahwa you just could live
up your life with what you’ve got arround. Anything.. you can do anything you
want. But there’s a thing that makes you stay in a thing, cuman satu hal yang
bisa bikin kamu betah, tinggal, dan nggak beranjak kemana-mana, di sini aja..
yaitu ketulusan. Bentuknya bisa dalam apa aja. Kita bisa naroh rasa tulus di
dalam rasa suka kita sama seseorang, tulus bisa ditaroh di pekerjaan kita walopun
cuman tukang gulung kabel atau tukang kipas sate (those jobs are written in
this book!), tulus bisa ditaroh di radio (read this book to know more. hahaha),
bahkan tulus juga bisa ditaroh pas kita depressed atau patah hati atau in any
worst case of heart affair lah pokoknya. Mungkin ketulusan nggak menjamin
everyhting’s gonna be okay. Ketulusan juga nggak menjamin we’re gonna be happy
for the rest of our life. Nggak, nggak gitu. Ketulusan cuman bikin kamu stay in
a thing dengan legowo, nerimo, tepo sliro (ini nggak nyambung sih).
Tapi yang jelas, ketulusan bikin hati rasanya melebaaaar aja sekian meter. Jadi, kalo tulus, mau itu seneng, sedih, kesel, marah, jengkel, bete, you can just put it in your heart, feel it, join the flow, and in the end, semuanya bakal luluh, lepas, bebas, like a bird *terbang.*
Aaaaahhh.. sebenernya aku belum
pernah juga ngelakuin sesuatu dengan bener-bener tulus. Tapi secara ajaib, novel
ini bikin anything inside my chest, tergerak, tertarik, terjerumus, terapalah
lagi itu.. pokoknya bikin…… (udahlah ini ceritanya Kalista speechless).
Eh tapi kalo misalkan ada orang di
luar sana yang nggak selebay aku reaksinya setelah baca novel ini.. well, that’s
no problem, berarti bukan novel ini yang mereka butuhkan. Setiap orang
sebenernya punya current mood, atau current situationnya masing-masing, yang
perlu dibahasakan oleh tulisan atau karya semacam novel novel begini. Jadi,
milih novel itu lebih ke kebutuhan masing-masing orang aja. Waktu SMP SMA,
mungkin karena kebutuhan akan sesuatu yang meledak-ledak, aneh, nyeleneh,
makanya aku sukanya baca novel fiksi petualangan. Makanya dulu kalo disuruh
baca novel Andrea atau Ayu Utami, apalagi Dunia Sophie (entah itu yang nulis
siapa) suka nggak ngerti dimana letak bagusnya. Nah kalo sekarang, aku lebih
butuh sesuatu yang essential, something deep, something about living up my
life, jadi bisa lebih nikmatin karya Bang Andrea, Mbak Ayu Utami, Dee Lestari.
Begincuu..
0 comments:
Post a Comment