August 23, 2015

Bahkan Tak Mampu Memberi Judul pada Tulisan Ini


Terkadang, seseorang merasa memiliki terlalu banyak waktu luang hingga tak tahu apakah kehadirannya di antara manusia-manusia yang lain ada gunanya. Namun juga tak jarang, seseorang merasa 24 jam pun masih sangat kurang untuk melakukan berbagai macam hal. Setiap kali aku berhenti membiarkan pikiranku melalang buana di berbagai arah dan mencoba menjadi berguna barang satu menit untuk fokus lalu berpikir, aku selalu menyadari bahwa sesungguhnya manusia tidak berbeda barang satu hal pun. Manusia sama-sama punya waktu 24 jam sehari untuk digunakan melakukan apa pun semau mereka, terlepas dari rutinitas, deadline, dan jadwal yang mengatur tubuh serta pikiran mereka. Tapi menjadikan setiap menit bahkan setiap detik menjadi berguna, adalah maha karya akal yang mereka buat sendiri. Hal ini yang terkadang menimbulkan perbedaan. 

Setiap manusia seharusnya sadar akan keberadaan yang memberikan kebergunaan, entah bagi diri sendiri maupun orang lain. Beberapa orang merasa lebih berguna dengan melakukan sesuatu yang menyenangkan orang lain, sedangkan beberapa orang yang lain, merasa terlalu egois karena menganggap segala sesuatu yang melibatkan orang lain hanyalah kesia-siaan belaka. Sehingga mereka merasa belum melakukan kebergunaan apa pun, karena mereka haus akan pemenuhan kebutuhan mereka sendiri, alih-alih orang lain. Tidak ada yang salah. Tidak ada yang salah dengan menjadi egois. Setiap orang berhak merasa egois, dicap egois, atau memang mengegoiskan diri karena merasa nyaman dengan sifat itu. Karena semuanya akan kembali lagi pada subjektivitas setiap orang. Mungkin bagi si A melakukan hal a adalah suatu kebergunaan, tapi tidak bagi si B, karena ia menggenggam prinsip kebergunaanya sendiri yang belum tentu searah dengan prinsip kebergunaan A. 

Namun terkadang seseorang lupa akan maksud dari kebergunaan. Karena terkadang mereka menjejal-jejalkan nilai yang ingin dilihat orang sebagai 'sesuatu yang berguna' ke dalam keseharian mereka. Ooh maaf, bukan terkadang. Bahkan sering. Seseorang sering lupa untuk berpijak pada esensi dari setiap langkah yang mereka buat, bahkan setiap hembusan nafas yang menjaga mereka tetap hidup. Mungkin hiruk pikuk lah yang membuat mereka senggol-menyenggol sehingga keinginan mereka menjadi hanya sebatas apa yang terlihat di permukaan. Sekedar menyeruput tanpa tahu apa yang terendap di kedalaman. Sekedar melompat dari satu batu ke batu lain tanpa menyadari aliran sungai pada batu-batu itu menyimpan banyak ikan atau bahkan tenaga untuk mengalirkan listrik. 

Mungkin karena waktu tadi. Ya, mungkin memang karena waktu. Waktu kadang tidak mengizinkan seseorang untuk mampir lebih lama pada suatu permukaan, hingga tak sempat mampir ke dalam. Seseorang menganggap akan lebih berguna jika apa yang mereka lakukan, jelas nampak terlihat bagi setiap kepala di muka bumi, daripada berlama-lama mampir untuk sesuatu yang belum tentu terlihat penampangnya. Haha. Lucu juga. Akhirnya tulisan ini malah menyalahkan waktu. Waktu terlalu sering menjadi kambing hitam bagi siapa pun. Mulai dari permasalahan sepele hingga masalah kenegaraan. Mulai dari dering jam beker untuk masuk sekolah hingga detik-detikan naik turun harga saham. 

Baiklah, kali ini aku mencoba netral. Aku tidak akan mempermasalahkan waktu. Tidak juga 'mereka' karena siapa tahu aku juga bagian dari mereka. Jadi, tidak ada yang salah. Bukan waktu, bukan juga 'mereka'. Lupakan tentang prinsip kebergunaan dan egoisme yang tadi sempat muncul. Tapi mungkin hal yang sempat kusinggung mengenai maha karya akal manusia, cukup patut untuk disetujui bersama. Karena sebenarnya akal bukan sekedar tentang bongkahan besar di balik tempurung seseorang. Lebih dari itu. Akal adalah bingkisan super hebat dari Tuhan yang membuat manusia tetap layak disebut sebagai manusia. Manusia yang katanya identik dengan kepunyaan akal yang mampu memberinya kebijakan yang tidak dimiliki makhluk lain. 

Sekian. 
Share:

0 comments:

Post a Comment