May 27, 2024

Nonton Lampu Warna-Warni

Perempuan yang tadinya keterlaluan ridunya pada rumah, kini kembali jauh dari peradaban. Berduaan dengan suaminya yang sedang belajar. Lagi-lagi, tinggal di kubus yang bahkan trapesium, hanya saja dengan teras beserta sejumput taman dan pemandangan langsung ke lalu lintas yang dilewati bis yang haltenya hanya kurang dari sepuluh langkah malas. Dia sempat pulang karena merana di negeri orang. Suaminya pun merelakannya pulang, karena berdua mereka saling menyakiti. Namun, kali ini, mereka berdua lagi. Tiga bulan berlalu masing-masing. Minggu ini, minggu kedua mereka sama-sama. 

Sydney, 25 Mei 2024, menonton lampu warna-warni di tengah kota.

Saking hebat syukurnya, perempuan itu menangis sesenggukan saat suaminya pergi ke kampus pada Senin pagi. Ditangisinya setiap kasih dan sayang yang tak henti-henti curah dari setiap tindak-tindak laki-laki yang kurusnya keterlaluan itu, hingga nyaris tak mampu ia menggendong istrinya sendiri. Ia tak lagi ingin pulang. Ia hanya ingin sesenggukan atas kasih dan sayang yang terlalu curah dan tumpah dari sepasang lengan panjang yang setiap sendi dan kulitnya mencuat terlalu tajam itu. 

Sepasang cium mendarat di pipinya, ketika kaki yang semangat itu telah terbungkus rapi kaos kaki beserta sepatunya. Tengkuk tempat aroma dan hangatnya bersarang, dihidunya habis-habisan meski tak kunjung habis. Mereka saling tukar kata-kata manis, lalu melambai hingga yang bersemangat itu lalu, dan yang mabuk kepayang itu rebah nyaris pingsan. Ditemani penanak nasi yang lebih andal menunjukkan waktu ketimbang jam dari ponsel merek tercanggih apa pun di seluruh dunia, perempuan itu tahu-tahu diselubungi selimut hangat yang merengkuhnya dari satu sudut dalam raganya. Lalu, berlalu-lalang sepasang kecup lain yang lumer di bibirnya tadi malam, aroma bawang dan ribut-ribut penggorengan nasi goreng kemarin petang, pegal-pegal kaki kesemutan menuju swalayan kemarin siang, dan ucap-ucap acak tentang dari mana datangnya penyakit jiwa kemarin sore: kesepakatan ahli atau alamiah. Leburlah semua menjelma buliran senang yang keterlaluan, sampai terisak-isak. 

Diputarnya sekali lagi senang yang dua puluh empat jam terakhir ini dianugerahkan padanya. Justru makin heboh raungan yang tadinya sekedar isak. Rupanya, tak lagi ia kepusingan melalangbuana mencaritahu untuk apa manusia diciptakan, karena sudah cukup tahu ia diambung ketinggian oleh limpahan terima serta kasih yang tahu-tahu muncul di hidupnya, sewujud makluk berkaki dan lengan panjang serta tajam dan cungkring bernama suami itu. Ia teruskan saja menangis berlatar deru mesin bis biru bersponsor mie instan dan truk gandeng pindah rumah dari luar dinding kaca kamar mungilnya. Ia teruskan, karena senyum itu terbit tanpa diminta. Pipinya masih ketetesan isak, namun bibirnya tertarik ke sudut-sudut yang di luar kendali. 

Tangisnya berhenti. Diputuskannya untuk melanjutkan kesenangan kecil yang dipeliharanya sejak hari pertamanya sekolah dasar: menulis. Disayangani kesayangan mungil itu, ditimang-timangnya dengan jejalan huruf-huruf kecil dan sesekali kapital, dan lagi-lagi, ia keheranan akan kekuatan magis yang disuguhkan ketak-ketik jemarinya di papan ketik berisik pada layar polos membosankan yang tahu-tahu penuh ocehannya itu. 

October 17, 2023

Hampir Sebulan

Sudah hampir satu bulan dua orang itu duduk-duduk dan tidur-tiduran di tempat asing. Bumbu instan yang mereka beli berlusin-lusin dari toko Asia terdekat, nyaris tanpa sisa dalam kurun waktu seminggu. Belum. Mereka belum sanggup makan roti kebanyakan isian itu. Satu waktu, mereka masih menggelandang, pindah hotel ke hotel, maka makan roti adalah satu-satunya pilihan untuk bertahan hidup. Berkaca-kaca sepasang mata mereka, saking hambar rasa lidah mereka. Setelah hotel terakhirpenginapan dengan empat ranjang tingkat sekamar, delapan penghuni (empat putih, tiga coklat, sisanya sawo matang dan kuning), dan dua penginapan sebelumnya yang sempitnya bukan mainmereka akhirnya bisa berbaring tanpa khawatir nanti harus geret-geret koper ke mana lagi. 

Jauh-jauh hari sebelum mereka tiba di tempat asingsaat mereka masih santai-santai di tanah air menikmati lele penyet dan telur gulungmereka sudah cari-cari tempat tinggal. Saat sudah tiba, mereka mampir ke tiga calon tempat tinggal dan selalu gagal dapat yang cocok. Satu waktu, mereka nyaris menyerah: telapak tangan merah padam akibat menggeret koper di tanjakan; otot-otot punggung keseleo akibat kejauhan menggendong ransel; dan isi rekening menipis drastis dalam tempo singkat. Akhirnya, mereka tiba di calon rumah yang akhirnya sudah hampir tiga minggu ini mereka nobatkan sebagai tempat mereka pulang. 

Sebelum itu, salah satu dari mereka, Si Perempuan, sempat sesenggukan berhari-hari akibat rindu. 

"Betapa sulit hidup di sini," jerit benaknya. 

Ia tidak suka harus jalan kaki berkilo meter hanya untuk cari daun bawang dan beras, ia juga tidak suka harus bergumul di balik selimut dan pakai kaos kaki setiap saat, tidak suka menghabiskan uang dengan nominal tidak masuk akal hanya untuk bayar tempat tinggal per minggu, tidak suka jauh-jauh dari adik kecilnya yang bisa jadi kebingungan mau main ke mana tanpa kakak perempuannya. Sekian ribu daftar hal yang tidak ia suka berjejalan di benaknya, menimbulkan tangis yang baru habis setelah napasnya jadi sesak. 

"Tidak apa-apa, aku bisa sendiri. Kalau kamu pingin, kamu boleh pulang," Si Laki-laki menenangkan. Tuturnya lembut, pelan, tubuhnya tak jauh-jauh dari rengkuhan Si Perempuan yang masih sesak napasnya. Ia khawatir, ia ingin menyelamatkan perempuannya, meski ia pun tak yakin bagaimana caranya bertahan seorang diri. 

Siang perlahan jadi gelap, awan bergumpalan dengan semburat oranye di sekujur tubuhnya, deru pesawat mondar-mandir dengan lampu kelap-kelip. Dua orang itu duduk-duduk di meja kursi mereka yang baru sampai tiga hari lalu, menyesap susu dari gelas masing-masing, menyeruput tetes terakhir kuah rawon bumbu instan, sambil tak lupa takjub pada lukisan agung di balik jendela rumah mereka. 

Pada siang yang lain, mereka berbaring di bawah pohon beralaskan kain biru yang dipakai Si Perempuan untuk menari Bali 13 tahun yang lalu, mereka bawa sebungkus roti tawar gandum yang tinggal empat lembar, sebotol madu yang sisa separo, dan sebuah buku dari pasar kaget barang antik dekat rumah yang rupanya buka setiap akhir pekan. Di bawah bukit, pasir putih selembut sutera jadi lahan berjemur dan bermain voli. Terik berganti sepoi-sepoi angin yang membuat bulu kuduk berdiri. 

Pada siang yang lain, Si Perempuan menunggu air rebusan ayam mendidih sembari menulis di jurnal oranye-nyahadiah ulang tahun yang ke-27 dari Om dan Tante. Ia sampaikan pada Si Oranye, bahwa tempat asing ini akan ia nobatkan jadi rumah barunya, setidaknya selama empat tahun ke depan. Rumah beserta semua gumpalan awan bersemburat oranye dan deru lalu lalang pesawat di jendelanya, beserta semua kilometer yang harus ditempuh untuk beli daun bawang dan beras, beserta semua telapak kaki dan tangan yang menggigil meski sudah bergumul di selimut. 


Tentu ia masih rindu. Teramat sangat. Ia kini mengaku bahwa tubuh dan benaknya terbuat dari rindu. Ia akan lelap, makan, main, kagum, dan bercinta dengan jutaan rindu di tubuh dan benaknya. 

Senja itu datang lagi beserta semburatnya. Si Laki-laki duduk lagi di samping Si Perempuan. Pesawat yang lalu lalang tak henti bergemuruh. Si Perempuan bersandar lagi di bahu lelakinya, mengijinkan dirinya untuk menikmati apa yang ia punya hari ini. 

August 28, 2023

Teriknya Semarang

Perjalanan tiga hari itu bermula di salah satu jalan ter-sibuk di Jogja. Kami, yang baru menikah tepat tiga minggu, duduk-duduk sambil menyesap kopi overpriced di sebuah kedai kopi. Sepasang suami istri yang pernikahannya sudah seribu kali lebih lama dari kami, berhenti persis di depan kedai. Kami keluar membawa gelas plastik masing-masing yang masih ada setengah isinya, lalu masuk ke mobil. 

Kami tiba di kota yang naik-turun tanahnya memabukkan, lalu terlelap di dua kamar hotel bintang dua yang bau apaknya tak kunjung hilang. Paginya, kami yang baru menikah, cek darah, paru-paru dan mata di rumah sakit demi diijinkan masuk ke Australia bulan depan. Lalu, kamidua pasang suami istrilapar, sarapan dan jalan-jalan. 

Suami istri yang lebih tua—masing-masing setengah abad usianya itumengikik sambil saling cubit. Kami—yang lebih muda setengahnyaikut mengikik, menonton mereka sembari berfoto ribuan kali. Suami istri itu bukan orangtuaku—bukan nama mereka yang ada di akta kelahirankutapi mereka mengirimkan kado pernikahan yang diiringi sepucuk ucapan berawalan, 

"Untuk, anakku sayang." 

Ucapan singkat, tapi menyebabkan air mata berhamburan. Ucapan itu kini bersemayam di dompet kelabu yang kudapat dari suvenir pernikahan orang lain, bersama ucapan-ucapan lainnya yang kuterima pada pernikahan kami. 


Siang itu, kami jalan-jalan di kota terlama se-Semarang. Makan es krim 8.000-an, menelusuri troto
ar di bawah terik, tanya-tanya polisi pariwisata perihal titik ter-instagrammable, lihat-lihat isi gereja termegah, lalu berteduh di kedai kopi untuk minum es teh leci dan makan pisang goreng. Setelah terik agak tidak terlalu terik, pasangan itu meninggalkan kami yang muda di tepi jalan. Mereka ingin melanjutkan perjalanan ke kota lain, begitu pula dengan kami. 

Diam-diam kami bahagia dan memanjatkan puji syukur, tapi sudah cukup saling tau, jadi tak saling bicara soal itu. Mereka menjauh dan menghilang ke selatan, kami menunggu perjalanan selanjutnya ke timur. Kami akan berpisah sebentar dan akan bertemu lagi saat sudah sama-sama pulang nanti. 

Mereka akan ada di sana, tepat dimana aku menemui mereka pertama kali: saat usiaku tiga atau empat, berduaan dengan adikku yang masih belum banyak rambutnya, bernyanyi di depan cermin pada hari pernikahan mereka. Hampir dua puluh lima tahun yang lalu. Apa yang kami senandungkan kala itu bahkan otak bocah kami tak bisa ingat. 

Namun, pada siang terik itu, setelah beberapa tawa yang pecah akibat lelucon di sepanjang jalan dan beberapa tawa lainnya di sudut gedung terbengkalai di Kota Lama, kami tau kami sama-sama akan mengingat hari ini dan saling puji. Betapa hebat dan hangat hadirnya kami bagi satu sama lain. Kota Lama dengan segala kemegahannya pun mengangguk setuju khidmat, telah disaksikannya kelimpahan sayang, tawa, dan nikmat yang kami tukar. 

"Makasih, Om dan Tante," begitu ujarku sambil menyalimi mereka, sebelum kami berpisah. 

Bukan hanya untuk hari ini, tapi untuk segala sayang dan hangat yang menyertai hadirnya mereka sejak kami pertama bertemu.

"Hati-hati di jalan," tambahku.

Teriknya Kota Semarang dan seisinya pun mengamini, turut mendoakan keselamatan bagi mereka. 

August 17, 2023

Agustus

Agustus itu kami saling kenal. Dia duduk paling belakang, aku paling depan. Kami bercampur aduk dengan sekian puluh kepala lain, menghadap papan tulis yang sama dan pengajar paruh baya yang sama. 

Suatu malam, aku mendapatkan pesan sok akrab dari seseorang yang grup WhatsApp-nya sama denganku. Kulihat dia punya foto profil sok misterius, tapi punya ajakan yang cukup menggiurkan. 

"Ke sini yok," katanya tanpa preambul, diiringi sebuah foto poster pameran buku.  

Malamnya, dia muncul di jalan gang depan kosku. Aku muncul dari balik pagar membawa helm dan jaket merah. Kami tiba di pameran buku berduaan, seperti muda mudi pada umumnya yang sama-sama suka buku tapi belum tentu punya uang untuk beli buku. 

Selain pameran, kami mampir makan ke macam-macam tempat, termasuk ke kantin sekolah tempat kami makan bersama teman-teman sekolah yang lambat laun menyadari ada sesuatu di antara dua manusia ini.  


"Aku nggak mau nikah," ujarku padanya. 

Kami sudah jadi pasangan kekasih. Sudah setahun sejak sekolah kami tutup akibat virus dan aku pindah sekolah. Kami sudah jadi pasangan beberapa bulan setelah Agustus itu. Kawan-kawan kami pulang ke kampung masing-masing, meninggalkan kantin tempat kami sekelas tadinya menguasai sederet dua deret meja panjang hanya untuk makan sepuluh menit dan ngobrol tiga puluh menit. 

Dia mengangguk, bilang bahwa dia pun begitu. Tidak ada minat untuk menikah. 

"Yang," panggilnya saat kami sarapan di Flamboyan, hanya dua minggu sebelum Agustus. 

Bukan. 

Bukan Agustus yang itu, tapi Agustus yang ini. Tidak ada lagi virus, kami semua sudah lepas masker. Kawan-kawan kami sudah lulus. Dia sudah lulus dan dapat pekerjaan impiannya. Aku lulus awal tahun di sekolahku yang baru. Dia tunjukkan layar ponselnya ke depan wajahku. 

Sumpah mati jantungku berlompatan dari tempatnya bersarang. Isi layar itu biang keroknya: pengumuman beasiswa di negeri orang dengan kata 'selamat' dan nama kekasihku. Hurufnya kapital, besar-besar, mustahil salah lihat. 

"Jadi?" tanyaku terbata. Bukannya aku tidak tahu, tapi rasanya terlalu sulit berpikir. "Kita jadi nikah?"

Dia mengangguk sambil masih menatap layar yang sama, kehabisan kata-kata.

Empat Agustus, kami duduk bersebelahan, masing-masing tanda tangan di buku yang nama kami ditulis di dalamnya dan diakui negara bahwa pernikahan telah dilangsungkan terhadap kami. 

Agustus ini, kami akui bahwa kami tidak tahu apa-apa. Bertemunya kami dengan satu sama lain membawa kami pada keputusan-keputusan yang kami pada Agustus-agustus lalu tidak berminat untuk putuskan. Mulai Agustus ini, mungkin kami tidak tahu apa lagi yang akan kami "tiba-tiba" putuskan pada Agustus-agustus depan. 

Namun setidaknya, satu yang kami tahu, 

bahwa kami sudah satu. 

Seiring disalaminya kami oleh para tamu di pelaminan, terselip doa dari setiap semoga yang diucapkan para tamu, "semoga tuntung pandang." Belakangan, ibu bilang bahwa artinya "semoga sampai selesai". 

Kupandangi lelaki misterius yang katanya sudah jadi suamiku itu. Setelannya necis, peluhnya menitik, wajahnya asing sekaligus akrab, senyumnya canggung sekaligus menular. Kusinggungkan senyum yang sama padanya. Diam-diam kuamini sungguh-sungguh doa-doa dari para tamu. 

"Tolong jaga kami tetap satu hingga akhir," bisikku entah pada siapa. 

Sekuat tenaga kutahan gelombang panas dikedua ujung mataku. Suamiku tersenyum padaku. Istrinya ini pun tersenyum padanya. Kami saling tahu sesuatu di ulu hati kami sama-sama menghangat.  

"Terimakasih," batinku padanya. "Terimakasih telah datang ke hidupku."

Dia mengangguk seolah mendengarku. Tangan kami berpagut. 

Para tamu menyalami dan kami pun berfoto bersama. 

January 18, 2022

Kalau Mati Magrib Ini

Saat magrib, aku di kamar remang-remang sendirian. Adikku di kamarnya. Pacarku di kamarnya. Orang tuaku mungkin juga di kamar mereka masing-masing. Entah di rumah yang berbeda atau di kota yang berbeda. Pokoknya semua orang kebetulan sedang di kamar saja. Aku punya kamar yang indah. Lampu belajarnya, hasil colongan dari ibu kos yang lama, warna kuning dan menghadap ke langit-langit. Sepasang jendelanya menghadap asrama putera, lebih sering tertutup horden separo daripada dibuka semua. 

Magrib ini, aku tidak ngapa-ngapain. Setelah magrib, juga tidak mau kemana-mana. Yang baru selesai kerja dan yang kerjaannya tidak selesai-selesai, pasti juga mau tidak ngapa-ngapain dan tidak kemana-mana. 

Lalu, aku kepikiran tentang hidup. Hidupku tentu saja. Kemarin, dua, tiga tahun yang lalu, impianku banyak dan muluk-muluk. Magrib ini, satu mimpi pun aku tidak punya. Bukan karena aku menyedihkan, hanya saja rasanya hidupku sudah cukup begini saja. Aku sudah mengalami hari-hari terbaik dan hari-hari terburuk. Jika pun aku harus mati magrib ini, rasanya aku akan hepi-hepi saja. 

Lagi pula, apa itu "lebih"? Kalau alasan besok kita masih harus bertahan adalah karena pengharapan-pengharapan kita agar hal-hal menjadi "lebih" baik, bagaimana kalau nyatanya, magrib ini pun sudah "lebih" baik? Bagaimana kalau nyatanya, hari terburuk dalam hidup kita sudah begitu jauh berlalu dari magrib ini, sehingga magrib ini adalah anugerah, dan kita begitu ingin meninggalkan dunia ini dalam keanugerahan yang mumpung masih bisa kita rasakan magrib ini?

Kemarin, aku dan adikku berlari ke balkon untuk menonton langit yang pink. Dia langsung memotret pakai kamera handphone dan update story (seperti yang kebanyakan orang lakukan saat melihat yang indah-indah). Tapi magrib itu, saking indahnya, aku sampai tidak kepikiran apa-apa, apalagi membawa handphone. Sama seperti magrib ini, aku tahu hidupku sudah indah, sampai aku tidak kepikiran untuk melakukan apa-apa lagi. 

Usiaku tiba-tiba enam puluh lima, alih-alih dua puluh lima. Aku seperti nenek-nenek yang sudah melihat cucunya tumbuh besar dan yakin bahwa cucunya itu bisa ditinggal kapan pun ia dipanggil Yang Maha Kuasa. Nenek-nenek yang sudah merasakan depresi, kebencian, jatuh cinta, dimaafkan dan memaafkan, lalu apa lagi? Sudah memelihara empat pot tamanan dalam ruangan dan memelihara semuanya, meski belum semuanya berbunga. Sudah menyaksikan dunia runtuh dan bangkit, meski dengan terseok-seok. Semuanya sudah ia alami. 

Tak lama ada bunyi kompor menyala, adikku masak mi instan kuah di hari yang baru saja berhenti hujannya. Aku mengetik ini dulu sebentar, lalu sepuluh menit kemudian keluar kamar dan makan malam dengan adikku yang sudah besar. 

November 19, 2021

The Most Frightening Day

The most frightening day of my life has come: the day that I failed. 

This is what I've been afraid of the most my entire life. I woke up that morning and looked at the scholarship announcement just to find out that I didn't make it, that I failed. I spent the next couple of hours in bed scrolling down funny baby videos on Instagram just to get my head off of the failure. 

I spent another hour trying to digest what is happening inside me. Is there a disappointment? Is there sadness? Is there guilt? I took the time seriously to make sure that I'm aware of my feelings instead of ignoring them. There wasn't any sadness. If there was a disappointment, it was so little that I could barely notice it (even after all the effort I took to actually sit down and feel my chest). The guilt was too, zero. 

"See? It's not that bad," I told myself. Failing is not that bad. 

I cooked fried rice for breakfast and shared it with my boyfriend. He came over, besides for a free meal, also to console me. He was all about complimenting my cooking and posting it on WhatsApp, and agreeing that this can't possibly be my fault, for not making it to get the scholarship that would support me in finishing my master's. He said all other possibilities that might be the reason I didn't make it, which all of them are systemic reasons, and I couldn't agree more.  

But then for the rest of the day, I allow myself to not do anything. I was on my laptop all day, but I couldn't work or write my thesis. I binge-watched videos everywhere, on YouTube, Netflix, and Disney+. I ordered pizza all for myself and went to bed early. 

This is weird how now I reacted to failure. Something feels off. Something doesn't feel familiar and right for me. 

I was supposed to cry, blame myself, and think of how miserable and worthless I am, but believe it or not, I did not. Not even a single negative thought was through my mind, other than about how pitiful my country is for not having enough money to fund even only a very small number of their college students to develop. How miserable it is for this country to cut down on everything during the pandemic, including education funds. All of those thoughts are external and none of them has anything to do with me as an individual. Thus, none of those is my fault, and none of these define me as a human. 

Another surprising thing about reaching the revelation is that I can imagine failing and being okay with that. I can imagine myself trying again even after failing, and that does not include me beating myself up

And guess what, I started my Youtube channel that day!! 


 

August 30, 2021

Perfection is Not Possible

I might say that I'm not the type of person that likes routines, but I also couldn't say that I like not having a plan on a daily basis. I've been experimenting with a lot of systems for implementing new habits in my life, for about four years now. 

It all started back then when I was working on my undergrad thesis until a year after I graduated. I had all the time in the world to do whatever I wanted to do, including doing my hobby. Writing has always been my hobby since childhood, and I've always known that I want to be a writer. In my last year of college, and months after that, when I spend most of my time writing, I had these unbelievable goals: become a full-time writer; publish a book in 2 years; and write 50,000 words in a month.

And as you guess, I failed every single of my goal. I didn't always write 2,000 words a day, thus, publishing a book in 2 years was out of the question. The worst of all was that I faced failure every single day. Failing of achieving goals that I myself made up. Months of being in a writing slump, not being able to write anything, crying knowing that I want to be a writer so bad yet I have so little word count, making me set aside my writing goals, and moved to another I-think-I-would-fail goal: pursue masters abroad; and get a scholarship.

And as you've predicted, I didn't achieve any of them. What's funny is, not because I failed after I actually tried, but because I didn't even dare to try them, just because of this stupid assumption: 

"I will fail anyway why bother trying." 

Looking back from now to that day, I realize how silly I was. How afraid I was just to try out something I know I've been dreaming of since I was born (becoming a writer), and of achieving something I know I genuinely wanted to (studying abroad). Two big dreams, that never, even for a day, that I forget how much I want them. 

Years later, fast forward to today, despite the fact that my fear of failure was not as crippling as it used to be, I still find it difficult to form a habit that sticks, especially when it comes to big tasks like writing a book and doing my translating jobs. I can say I can barely enjoy the process. 

However, here's the good news. For the past couple of months to a year, I've built two small habits: tracking expense; and journaling.

Why do they stick? Because they're easy, tiny, and literally require only 60 seconds of my 24-hour. I even skip one to three days and still managed to come back to them, maintain them for the whole month, and before I realized it, they become a habit that makes me feel something's missing when they're gone. 

Referencing that success, I took this book on habit building, which I bet everyone knows, Atomic Habits by James Clear, read the entire pages, highlighted every important note, and ingrained the most powerful mindset-shift to my perfectionist self, that:

"perfection is not possible.. The problem is not slipping up; the problem is thinking that if you can't do something perfectly, then you shouldn't do it at all." 

Out of lots of great tips on habits in that book, that very sentence rings the loudest bell to me. The next thing I know was I created this handwritten August calendar, and tell myself:

"for the whole month, I am going try to stick with habits that I've been doing on-and-off for the last couple of years. I have 5 colors for 5 habits. For every habit I do that day, even when I do it for only 10 seconds, I'll give myself a reward: I'll mark that day with one color. And by the end of the day, if I managed to do all the habits, I'll get a day full of colors."

Today, August 30, 30 days sharp after I created that system, I see myself sticking with these habits:

exercise: 18 days;

meditate: 15 days;

learn French: 22 days;

read: 25 days. 

If there's anything that I learn from my habit-building journey, it is not that the system doesn't work for me, or the habits are too hard to do, or that I'm not rewarding myself enough after completing each habit, it is more of finding the bell that rings the most. In my case, the bell is my perfectionism, and all it takes to ring that bell is that one sentence from that book, that I summarize:

"you are the person you are, not because of things you don't do in a day or two, but because of things you mostly do on most days."