Perempuan yang tadinya keterlaluan ridunya pada rumah, kini kembali jauh dari peradaban. Berduaan dengan suaminya yang sedang belajar. Lagi-lagi, tinggal di kubus yang bahkan trapesium, hanya saja dengan teras beserta sejumput taman dan pemandangan langsung ke lalu lintas yang dilewati bis yang haltenya hanya kurang dari sepuluh langkah malas. Dia sempat pulang karena merana di negeri orang. Suaminya pun merelakannya pulang, karena berdua mereka saling menyakiti. Namun, kali ini, mereka berdua lagi. Tiga bulan berlalu masing-masing. Minggu ini, minggu kedua mereka sama-sama.
Saking hebat syukurnya, perempuan itu menangis sesenggukan saat suaminya pergi ke kampus pada Senin pagi. Ditangisinya setiap kasih dan sayang yang tak henti-henti curah dari setiap tindak-tindak laki-laki yang kurusnya keterlaluan itu, hingga nyaris tak mampu ia menggendong istrinya sendiri. Ia tak lagi ingin pulang. Ia hanya ingin sesenggukan atas kasih dan sayang yang terlalu curah dan tumpah dari sepasang lengan panjang yang setiap sendi dan kulitnya mencuat terlalu tajam itu.
Sepasang cium mendarat di pipinya, ketika kaki yang semangat itu telah terbungkus rapi kaos kaki beserta sepatunya. Tengkuk tempat aroma dan hangatnya bersarang, dihidunya habis-habisan meski tak kunjung habis. Mereka saling tukar kata-kata manis, lalu melambai hingga yang bersemangat itu lalu, dan yang mabuk kepayang itu rebah nyaris pingsan. Ditemani penanak nasi yang lebih andal menunjukkan waktu ketimbang jam dari ponsel merek tercanggih apa pun di seluruh dunia, perempuan itu tahu-tahu diselubungi selimut hangat yang merengkuhnya dari satu sudut dalam raganya. Lalu, berlalu-lalang sepasang kecup lain yang lumer di bibirnya tadi malam, aroma bawang dan ribut-ribut penggorengan nasi goreng kemarin petang, pegal-pegal kaki kesemutan menuju swalayan kemarin siang, dan ucap-ucap acak tentang dari mana datangnya penyakit jiwa kemarin sore: kesepakatan ahli atau alamiah. Leburlah semua menjelma buliran senang yang keterlaluan, sampai terisak-isak.
Diputarnya sekali lagi senang yang dua puluh empat jam terakhir ini dianugerahkan padanya. Justru makin heboh raungan yang tadinya sekedar isak. Rupanya, tak lagi ia kepusingan melalangbuana mencaritahu untuk apa manusia diciptakan, karena sudah cukup tahu ia diambung ketinggian oleh limpahan terima serta kasih yang tahu-tahu muncul di hidupnya, sewujud makluk berkaki dan lengan panjang serta tajam dan cungkring bernama suami itu. Ia teruskan saja menangis berlatar deru mesin bis biru bersponsor mie instan dan truk gandeng pindah rumah dari luar dinding kaca kamar mungilnya. Ia teruskan, karena senyum itu terbit tanpa diminta. Pipinya masih ketetesan isak, namun bibirnya tertarik ke sudut-sudut yang di luar kendali.
Tangisnya berhenti. Diputuskannya untuk melanjutkan kesenangan kecil yang dipeliharanya sejak hari pertamanya sekolah dasar: menulis. Disayangani kesayangan mungil itu, ditimang-timangnya dengan jejalan huruf-huruf kecil dan sesekali kapital, dan lagi-lagi, ia keheranan akan kekuatan magis yang disuguhkan ketak-ketik jemarinya di papan ketik berisik pada layar polos membosankan yang tahu-tahu penuh ocehannya itu.