Agustus itu kami saling kenal. Dia duduk paling belakang, aku paling depan. Kami bercampur aduk dengan sekian puluh kepala lain, menghadap papan tulis yang sama dan pengajar paruh baya yang sama.
Suatu malam, aku mendapatkan pesan sok akrab dari seseorang yang grup WhatsApp-nya sama denganku. Kulihat dia punya foto profil sok misterius, tapi punya ajakan yang cukup menggiurkan.
"Ke sini yok," katanya tanpa preambul, diiringi sebuah foto poster pameran buku.
Malamnya, dia muncul di jalan gang depan kosku. Aku muncul dari balik pagar membawa helm dan jaket merah. Kami tiba di pameran buku berduaan, seperti muda mudi pada umumnya yang sama-sama suka buku tapi belum tentu punya uang untuk beli buku.
Selain pameran, kami mampir makan ke macam-macam tempat, termasuk ke kantin sekolah tempat kami makan bersama teman-teman sekolah yang lambat laun menyadari ada sesuatu di antara dua manusia ini.
"Aku nggak mau nikah," ujarku padanya.
Kami sudah jadi pasangan kekasih. Sudah setahun sejak sekolah kami tutup akibat virus dan aku pindah sekolah. Kami sudah jadi pasangan beberapa bulan setelah Agustus itu. Kawan-kawan kami pulang ke kampung masing-masing, meninggalkan kantin tempat kami sekelas tadinya menguasai sederet dua deret meja panjang hanya untuk makan sepuluh menit dan ngobrol tiga puluh menit.
Dia mengangguk, bilang bahwa dia pun begitu. Tidak ada minat untuk menikah.
"Yang," panggilnya saat kami sarapan di Flamboyan, hanya dua minggu sebelum Agustus.
Bukan.
Bukan Agustus yang itu, tapi Agustus yang ini. Tidak ada lagi virus, kami semua sudah lepas masker. Kawan-kawan kami sudah lulus. Dia sudah lulus dan dapat pekerjaan impiannya. Aku lulus awal tahun di sekolahku yang baru. Dia tunjukkan layar ponselnya ke depan wajahku.
Sumpah mati jantungku berlompatan dari tempatnya bersarang. Isi layar itu biang keroknya: pengumuman beasiswa di negeri orang dengan kata 'selamat' dan nama kekasihku. Hurufnya kapital, besar-besar, mustahil salah lihat.
"Jadi?" tanyaku terbata. Bukannya aku tidak tahu, tapi rasanya terlalu sulit berpikir. "Kita jadi nikah?"
Dia mengangguk sambil masih menatap layar yang sama, kehabisan kata-kata.
Empat Agustus, kami duduk bersebelahan, masing-masing tanda tangan di buku yang nama kami ditulis di dalamnya dan diakui negara bahwa pernikahan telah dilangsungkan terhadap kami.
Agustus ini, kami akui bahwa kami tidak tahu apa-apa. Bertemunya kami dengan satu sama lain membawa kami pada keputusan-keputusan yang kami pada Agustus-agustus lalu tidak berminat untuk putuskan. Mulai Agustus ini, mungkin kami tidak tahu apa lagi yang akan kami "tiba-tiba" putuskan pada Agustus-agustus depan.
Namun setidaknya, satu yang kami tahu,
bahwa kami sudah satu.
Seiring disalaminya kami oleh para tamu di pelaminan, terselip doa dari setiap semoga yang diucapkan para tamu, "semoga tuntung pandang." Belakangan, ibu bilang bahwa artinya "semoga sampai selesai".
Kupandangi lelaki misterius yang katanya sudah jadi suamiku itu. Setelannya necis, peluhnya menitik, wajahnya asing sekaligus akrab, senyumnya canggung sekaligus menular. Kusinggungkan senyum yang sama padanya. Diam-diam kuamini sungguh-sungguh doa-doa dari para tamu.
"Tolong jaga kami tetap satu hingga akhir," bisikku entah pada siapa.
Sekuat tenaga kutahan gelombang panas dikedua ujung mataku. Suamiku tersenyum padaku. Istrinya ini pun tersenyum padanya. Kami saling tahu sesuatu di ulu hati kami sama-sama menghangat.
"Terimakasih," batinku padanya. "Terimakasih telah datang ke hidupku."
Dia mengangguk seolah mendengarku. Tangan kami berpagut.
Para tamu menyalami dan kami pun berfoto bersama.
0 comments:
Post a Comment