April 4, 2021

Revelation

Dua Lima duduk di kursi di sudut restoran mungil di tepi jalan raya yang macet. Ia diam saja setelah makanannya habis. Minumannya, jasmine tea masih ada separo. Ia duduk bersama temannya, Dua Enam. Ia mulai bicara pada temannya itu. Tentang macam-macam. Salah satu dari yang macam-macam itu adalah tentang dokter-dokter bedah yang ditontonnya dari serial televisi buatan Amerika.  
 
“Ibuku tidak pernah bilang aku tidak boleh gagal,” ujarnya usia merangkum salah satu episode dari serial dokter bedah itu. “Tapi ibuku juga tidak pernah bilang aku harus berhasil. Jadi kupikir, mungkin aku tidak punya pilihan. Mungkin berhasil adalah satu-satunya pilihan, karena semua orang begitu. Semua anak pada waktu itu begitu isi pikirannya. Semua orang berprestasi yang juara olimpiade dan juara menari menyanyi di televisi itu, sama juga begitu pikirannya. Termasuk dokter bedah. 
 
“Jadi kupikir juga, kalau aku gagal, maka aku tidak masuk pilihan. Aku bukan orang yang terpilih. Aku adalah kaum yang tersesat, yang jalan salahku jadi pelajaran bagi kaum-kaum setelahku, sehingga mereka tidak perlu menjadi kaum yang tersesat sepertiku. Lalu aku percaya itu. Bukan. Bukan percaya. Percaya itu seolah aku punya.. lagi-lagi pilihan.. untuk tidak percaya. Tapi saat itu aku tidak punya pilihan. Itu adalah caraku hidup dan bertahan. Aku belajar setiap hari dan setiap malam aku menatap buku-buku pelajaranku dengan muak. Aku hanya boleh nonton televisi pada malam minggu dan minggu pagi. 
 
“Lalu, caraku bertahan hidup masih sama bertahun-tahun setelahnya. Aku tahu Ibu tidak pernah bilang begitu, tapi aku sudah terlanjur nyaman hidup begitu. Lalu aku enggan melepas cara hidupku itu. Lalu aku tidak menyadari bahwa aku menyakiti diriku sendiri. Dua puluh empat tahun hidupku hilang begitu saja. Tidak ada senang-senangnya. Senang-senang yang kuingat hanya sampai usiaku lima tahun. Setelahnya aku tidak ingat apa-apa yang menyenangkan.”
 
Dua Lima berhenti. Dua Enam masih diam, mendengarkan. Ingin bicara tapi tidak tahu apa. 
 
Dua Lima tidak ingat di luar hujan, tetapi tiba-tiba hujan sudah berhenti. Kelihatan dari dinding kaca restoran itu. Minumannya yang tadi separo sudah tinggal es batu. Dua Lima tidak lanjut ceritanya. Ia melongo pada ojek-ojek hijau-hijau yang keluar masuk restoran. Ia melongo sampai tiba-tiba ia sudah ada di luar bangunan, menengadah ke langit cerah sehabis hujan, pelangi yang menyeberang dari satu awan ke awan lainnya, dan aroma hujan yang jatuh ke tanah. Ia sudah sering melihat dan membaui hal-hal itu, tetapi, “apa bedanya kali ini?” batinnya. 
 
“Aku mau lari-lari di sini,” kata Dua Lima entah pada siapa karena Dua Enam masih di dalam. “Aku senang lari-lari. Apalagi waktu dulu masih kecil. Aku senang lari-lari dengan adikku yang gundul. Aku senang ada tanah lapang, aula besar, tangga kosong, rumah kakek, di mana aku bisa berlari mengejar dan dikejar adikku. Aku akan berlari lagi sekarang. Aku akan berlari ke mana saja dan aku tidak akan menghentikanku.” Matanya berbinar, senyumnya dari telinga ke telinga, pipinya melebar meluas, kakinya menghentak siap melaju. 
 
“Aku mau ikut.” Dua Enam tiba-tiba ada di belakangnya.  
 
Selanjutnya, mereka kembali ke dalam karena ternyata hujan lagi. Kali ini mereka lari-lari. Mereka lari di antara meja kursi restoran yang menjual kebab itu. Beberapa pelanggan memandangi mereka heran, beberapa anak kecil ikut mereka berlari, beberapa bergumam menduga mereka orang gila, pramusaji berusaha menghentikan mereka, tetapi mereka tetap lari-lari. 
 
“Aku tidak akan menghentikanku,” gumam Dua Lima sambil tetap lari-lari mengejar Dua Enam. 
 

Share:

0 comments:

Post a Comment