August 28, 2023

Teriknya Semarang

Perjalanan tiga hari itu bermula di salah satu jalan ter-sibuk di Jogja. Kami, yang baru menikah tepat tiga minggu, duduk-duduk sambil menyesap kopi overpriced di sebuah kedai kopi. Sepasang suami istri yang pernikahannya sudah seribu kali lebih lama dari kami, berhenti persis di depan kedai. Kami keluar membawa gelas plastik masing-masing yang masih ada setengah isinya, lalu masuk ke mobil. 

Kami tiba di kota yang naik-turun tanahnya memabukkan, lalu terlelap di dua kamar hotel bintang dua yang bau apaknya tak kunjung hilang. Paginya, kami yang baru menikah, cek darah, paru-paru dan mata di rumah sakit demi diijinkan masuk ke Australia bulan depan. Lalu, kamidua pasang suami istrilapar, sarapan dan jalan-jalan. 

Suami istri yang lebih tua—masing-masing setengah abad usianya itumengikik sambil saling cubit. Kami—yang lebih muda setengahnyaikut mengikik, menonton mereka sembari berfoto ribuan kali. Suami istri itu bukan orangtuaku—bukan nama mereka yang ada di akta kelahirankutapi mereka mengirimkan kado pernikahan yang diiringi sepucuk ucapan berawalan, 

"Untuk, anakku sayang." 

Ucapan singkat, tapi menyebabkan air mata berhamburan. Ucapan itu kini bersemayam di dompet kelabu yang kudapat dari suvenir pernikahan orang lain, bersama ucapan-ucapan lainnya yang kuterima pada pernikahan kami. 


Siang itu, kami jalan-jalan di kota terlama se-Semarang. Makan es krim 8.000-an, menelusuri troto
ar di bawah terik, tanya-tanya polisi pariwisata perihal titik ter-instagrammable, lihat-lihat isi gereja termegah, lalu berteduh di kedai kopi untuk minum es teh leci dan makan pisang goreng. Setelah terik agak tidak terlalu terik, pasangan itu meninggalkan kami yang muda di tepi jalan. Mereka ingin melanjutkan perjalanan ke kota lain, begitu pula dengan kami. 

Diam-diam kami bahagia dan memanjatkan puji syukur, tapi sudah cukup saling tau, jadi tak saling bicara soal itu. Mereka menjauh dan menghilang ke selatan, kami menunggu perjalanan selanjutnya ke timur. Kami akan berpisah sebentar dan akan bertemu lagi saat sudah sama-sama pulang nanti. 

Mereka akan ada di sana, tepat dimana aku menemui mereka pertama kali: saat usiaku tiga atau empat, berduaan dengan adikku yang masih belum banyak rambutnya, bernyanyi di depan cermin pada hari pernikahan mereka. Hampir dua puluh lima tahun yang lalu. Apa yang kami senandungkan kala itu bahkan otak bocah kami tak bisa ingat. 

Namun, pada siang terik itu, setelah beberapa tawa yang pecah akibat lelucon di sepanjang jalan dan beberapa tawa lainnya di sudut gedung terbengkalai di Kota Lama, kami tau kami sama-sama akan mengingat hari ini dan saling puji. Betapa hebat dan hangat hadirnya kami bagi satu sama lain. Kota Lama dengan segala kemegahannya pun mengangguk setuju khidmat, telah disaksikannya kelimpahan sayang, tawa, dan nikmat yang kami tukar. 

"Makasih, Om dan Tante," begitu ujarku sambil menyalimi mereka, sebelum kami berpisah. 

Bukan hanya untuk hari ini, tapi untuk segala sayang dan hangat yang menyertai hadirnya mereka sejak kami pertama bertemu.

"Hati-hati di jalan," tambahku.

Teriknya Kota Semarang dan seisinya pun mengamini, turut mendoakan keselamatan bagi mereka. 

Share:

0 comments:

Post a Comment