January 27, 2019

Kasihan, Sarjana

Beberapa bulan yang lalu, ada seorang teman yang bercerita, tentang temannya yang langsung menikah setelah lulus, lalu menjadi seorang penjual nasi uduk.

"Sarjana lho, Kal. Jualan nasi, kan eman-eman. Buru-buru nikah sih." 

Aku bingung menanggapinya, jadi, aku hanya mengangkat alis dan ujung bibirku. 

Ibuku, pada suatu Minggu pagi, saat sedang belanja di toko busana muslim, bertemu dengan para alumni UIN Antasari yang bekerja di toko itu.  

"Nggak apa-apa kerja di sini. Di mana aja. Yang penting halal." Begitu kata ibu, saat para penjaga toko itu bilang bahwa mereka alumni UIN. 

Aku mengernyit dan membuang muka, menahan diri untuk tidak beradu argumen dengan ibuku sendiri di depan para alumni kampus tempatnya bekerja.

Belakangan, aku ditelepon oleh seorang teman yang frustrasi karena tak kunjung dapat pekerjaan. Ia terkejut saat tahu bahwa aku menganggur.

"Aku pikir orang yang cantik dan pintar itu gampang dapat kerjaan," katanya. 

Saat itulah aku merasa terusik. 

Kepalaku bilang, "ia sedang mengasihanimu, Kal. Kasihan, cantik dan pintar, tapi tidak dapat pekerjaan."

Lalu, kuingatkan diriku, bahwa aku pernah berpikir seperti itu dan sekarang pun, aku masih demikian, hanya saja, aku tidak mengatakannya secara gamblang seperti orang-orang itu berujar padaku, tentangku.

Tentu tidak adil mengasihani seseorang yang bahkan tidak mengasihani dirinya sendiri, orang-orang yang dalam hatinya tidak punya ruang untuk rasa kasihan dari orang lain, yang akhirnya, hanya menyebabkan ia keberatan beban dari menampung rasa kasihan itu.

Ini mengingatkanku pada seseorang di masa lalu yang maunya dicintai dan tidak mau dikasihani. Kata "kasihan" sudah jadi senista itu, sampai-sampai kita tidak mau dikasihani dan tidak mau memberi kasihan. Kata ini, "kasihan" sudah telanjur melebur dalam konotasi negatif. Tidak menyenangkan, tidak pantas, tidak seharusnya, sehingga aku memberimu kasihan, karena tidak-tidak itu.

Salah satu sumber ke-tidak-an itu adalah kebiasaan kita mengkontras-kontraskan hal-hal yang pada dasarnya, tidak bertentangan (tidak seperti gendut kurus, tinggi pendek, hitam putih). Rasanya, seperti ada tangan tak kasat mata yang mengatur mode default kita untuk punya pikiran yang senang mengontras-ngontraskan. Padahal, tangan tak kasat mata itu, ya, tangan-tangan kita sendiri. Salah satu contoh bahayanya adalah mengontraskan agama dengan kepribadian.

"Kasihan" seharusnya tidak membuat si penerima kasih sebagai orang yang makin nelangsa, pun dengan yang memberi kasih, seharusnya tidak membuatnya menjadi orang yang tinggi hati. "Kasihan" tidaklah lebih rendah maupun lebih tinggi dari cinta, karena pada keduanya, kita sama-sama memberi dan menerima (yang juga menjadi pemberian). "Kasihan" pada bayinya yang lemah, membuat ibu mencurahkan cintanya. Begitu pun sebaliknya. Ibu mencintai bayinya, maka ia mengasihani bayinya.

Tentang kata "kasihan" ini, yang entah bagaimana asal muasalnya telah terlanjur jadi kata yang menyedihan, tidak banyak yang bisa kita lakukan. Tapi, tentang kontras-mengontraskan berbagai hal: pendidikan dan pekerjaan; penampilan dan kemampuan; keyakinan dan sifat; keberpihakan politik dan antek aseng; seharusnya masih bisa kita usahakan untuk diminimalisir.

Sehingga, tidak ada lagi orang-orang bingung yang hanya bisa mengangkat alis dan ujung bibirnya saat perbincangan yang kontras-mengontraskan itu terjadi. 
Share:

0 comments:

Post a Comment