August 27, 2017

Senang Karena Sirkus Pohon Bang Andrea

Layar televisi menyala-nyala, di tayangan, ada seorang pria namanya Andrea Hirata dengan rambut ikal, topi khas para seniman dan yang paling membuahkan binar di mata adalah tumpukan buku yang ada di hadapan pria itu. Senyum sumringah super lebar ikut terkembang di wajah seorang penonton yang tadinya sedang fokus mengolah data untuk bab 4 skripsinya. Tiba-tiba semua kegiatan pengolahan data berhenti. Mata si penonton itu berkilat-kilat dan sekonyong-konyongnya ia menyambar ponsel pintarnya, mencari-cari di mana bisa mendapatkan salah satu dari tumpukan buku yang berbinar-binar itu. Yak, dapat! Pesan, bayar, tunggu. Keesokan harinya, bayi mungil yang wangi itu pun datang dengan dibungkus sangat rapi dan penuh selotip.

Saking cintanya si penonton yang kali ini jadi pembaca itu, menandai setiap lembar bayi mungilnya dengan sticky notes warna biru dan jingga. Ditulisnya beberapa adegan yang menggelikan, membuat hati terenyuh dan dialog yang menggugah jiwa raga. Bayi mungil berjudul Sirkus Pohon itu sukses membuat si pembaca terombang-ambing perasaannya. Ada tiga tokoh utama yang bolak balik bergantian giliran untuk bercerita. Ada yang namanya Tegar, Tara dan satu lagi Sobirin yang punya nama beken Hob.

Tokoh-tokoh di novel ini sangat kaya. Sulit mengingat nama-namanya, tapi setiap tokoh punya kesan masing-masing. Mereka hidup dan ada. Mereka ada di sekitar tokoh utama bukan sekedar sebagai pemandu sorak, tapi juga sebagai nyawa yang menambah kehidupan di cerita itu. Bahkan pohon delima pun jadi tokoh yang sangat penting. Bahkan burung-burung kutilang pun, bahkan sinar matahari dan embun pagi pun. Mereka tidak hanya sebagai setting tempat, tapi juga sebagai nyawa. Semuanya berpadu cantik, sama-sama bersekongkol membuat si kisah fiksi semakin nyata. Dialognya sederhana dan tanpa tedeng aling-aling. Mau bilang A ya A, B ya B, begitu terus sampai Z.

Hob si tokoh utama punya masalah dengan pohon delima yang bikin hidupnya kacau balau. Tara si tokoh utama juga, jadi kelimpungan gegara cinta pada pandangan pertama sama bocah lelaki bernama Tegar yang sok-sokan jadi pelindung. Ada pula tokoh yang terobsesi jadi kepala desa, sampai gotong-gotong pohon delima dan panggil dukun ke sana ke mari. Ada juga tokoh-tokoh yang tidak penting-penting amat, seperti anak kecil yang lari-lari mengejar layangan, bapak-bapak yang bergosip ini itu di warung kopi dan orang yang secara nggak jelas muncul untuk panggil nama si tokoh utama saja. Tapi ketidakpentingan tokoh-tokoh minor itulah yang bikin dunia Sirkus Pohon semakin nyata.

Ada dua plot utama dalam novel ini yang berbagi porsi sama besar. Satu cerita tentang pencarian Tara terhadap Tegar dan pencarian Tegar terhadap Tara, dan tentang Hob bersama pohon delimanya. Tegar dan Tara tak punya akun Line untuk cari people nearby, Facebook yang bisa tunjukkan semua orang dengan nama Tegar dan Tara. Mereka cuman mengandalkan indera penciuman dan memori yang seringnya acak adut. Apalagi orang-orang di sekitar mereka seringnya sok tahu tempe, jadi malah kasih info yang ngawur. Hob yang dari awal amat benci pohon delimanya, mau tak mau harus repot gara-gara pohon itu. Petualangan saling mencari cinta dan petualangan bersama pohon delima itu jadi satu kesatuan cerita yang bikin kesemsem, bikin gemas, bikin cengengesan.
Walau saling cinta dan saling cari, tidak ada menye-menye dalam cerita ini. Rentang alur ceritanya dari menengah sampai cepat. Khas Andrea Hirata. Semua kalimat dalam setiap adegan adalah informasi yang penting, ada manfaat dan kepentingannya, tidak hanya untuk ulur-ulur cerita supaya bukunya tebal. Kalau ada tokoh yang pantang menyerah, maka dikisahkan perasaan dan tindakan si tokoh dengan jelas dan gamblang. Kalau ada yang sedih, maka dijelaskan si tokoh akan begi begitu, lalu selesai. Lugas dan mantap.

Bab-babnya sangat ringkas dan padat. Ada yang hanya dua halaman, paling banyak enam sampai tujuh halaman. Tidak melelahkan, tidak menjemukan bagi pembaca. Setiap bab punya judul yang tegas dan jelas. Selesai baca satu bab, tanpa berbalik ke halaman judul bab, pembaca sudah bisa tahu kenapa bab ini judulnya itu. Setiap bab terdiri dari satu sudut pandang. Pada bab selanjutnya langsung ganti sudut pandang. Adegan tiap bab dibuat one shoot, meski lebih dari satu, penjabarannya hanya akan muncul dari pemikiran si tokoh yang punya sudut pandang. Lalu langsung menuju inti utama dari si bab itu. Tak ada ba bi bu, tak ada kisah tokoh utama yang menyesap secangkir kopi dengan nikmat yang penjelasannya sampai satu paragraf penuh. Satu paragraf informasinya sangat kaya, sampai pembaca tak sadar sudah tiba di akhir bab. Begitu terus hingga halaman terakhir novel ini.

Banyak adegan super lucu sampai bikin sakit perut sampai adegan yang bikin jantung kembang-kempis juga hadir di cerita itu. Adegan tentang seorang tokoh yang punya penciuman bak anjing. Bahkan mungkin melebihi. Namanya Adun. Dikenalinya semua jenis bau. Bahkan benda yang dianggap orang normal tak punya bau, ia pun bisa membaui. Kalau dibaca berulang-ulang adegan itu, sudah pasti ketawa ngakak itu akan berulang-ulang terjadi juga. Ada lagi adegan debat calon kepala desa yang siar di radio AM. Saking polosnya si penyiar radio dan si calon kepala desa, acara debat pun jadi ajang sebut menyebut isi warung kelontong.

Intinya, novel ini mengajarkan si pembaca untuk berusaha sekuat tenaga memperjuangkan cinta. Cinta pandangan pertama, cinta pada Pohon Delima, cinta pada keinginan untuk menjadi kepala desa, cinta pada pekerjaan sebagai badut sirkus dan cinta pada wanita yang jiwanya terganggu. Novel yang luar biasa. Kabar gembira ini harus dikabarkan ke seluruh penduduk dunia. Tidak boleh hanya si pembaca satu itu saja yang menikmatinya. Karena kabar yang terlalu menggembirakan kalau disimpan sendiri, bisa jadi meledak-ledak dan yang berlebihan itu selalu tidak baik.

Salam,
Pembaca yang terlampau senang
Share:

0 comments:

Post a Comment