July 24, 2017

Servis Sepeda Motor

Suatu hari, ada yang duduk-duduk di sentra servis sepeda motor selama hampir dua jam. Ia duduk-duduk saja setelah tercengang bahwa yang harus diservisnya biayanya sampai dua kali lipat dari uang yang ia bawa. Motornya sudah hampir menyentuh kilometer 10000 dan kata abang-abang tukang servis di sana, banyak pritilan yang harus diganti. Oli mesin, busi, oli shockbreaker, dan dua hal lagi yang istilahnya sulit diingat. Setelah ragu sejenak, si abang meyakinkan bahwa boleh saja kabur sebentar untuk ambil uang di rumah.

Si orang yang duduk-duduk itu menggumam, meratapi pengeluaran tak terduganya hari ini. Punya sesuatu tidak serta merta membuatnya hanya sekedar jadi pemilik. Ia juga harus jadi perawat dan kegiatan itu menghabiskan banyak uang. Ia juga benci menghabiskan banyak uang. Ia juga benci melongo sambil mau tak mau percaya pada abang-abang servis yang bilang padanya tentang jumlah yang harus ia bayar. Ia benci tidak tahu apa-apa tentang apa yang terjadi pada motornya sehingga harus angguk-angguk dengan bodohnya saat si abang-abang servis mengocek tentang istilah-istilah permotoran. Ia benci tidak punya kontrol terhadap apa yang ia punya. Ia benci menjadi penurut tanpa punya daya upaya untuk membantah.

Betapa bodohnya orang-orang yang dengan bangga beli ini itu tanpa memprediksi seberapa dalam isi rekeningnya bisa dipakai untuk membayar biaya perawatan. Beli daster di pasar, dibawa ke rumah, beli terus sampai banyak, sampai bingung mau disimpan di mana. Lalu biaya-biaya perawatannya muncul. Beli lemari tambahan, sabun cuci makin banyak, waktu untuk jemur daster makin lama. Belum lagi nanti kalau bajunya sudah lusuh, jarang dipakai, lalu harus dibungkus-bungkus lagi dalam kardus untuk dijual lagi atau diberikan orang lain. Itu cuman daster. Belum sepeda motor, mobil, rumah, furnitur, perabot, halaman rumah, pagar rumah, anak. Anak pertama, kedua, keseribu. Begitu seterusnya.

Betapa orang yang duduk-duduk itu juga merasa jadi bagian dari orang-orang bodoh itu. Punya sepeda motor tidak semudah kreditnya. Tidak semudah terima brosur dari pinggir jalan lalu termakan godaan mbak-mbak SPG. Tau-tau makin ke sini harus isi bensin terus, harus servis terus, ganti oli, ganti busi, perpanjang STNK, ganti plat nomor, dan lain-lain.

Si orang yang duduk-duduk itu pun pergi setelah mendesah ribuan kali. Hasil desahannya tercecer di sepanjang langkahnya meninggalkan tempat servis. Ia ke rumah sebentar, ambil uang, lalu ke tempat servis lagi. Seorang abang servis menghampiri dan bertanya kenapa ia kembali lagi. Sambil nyengir, ia bilang bahwa ia ingin bayar. Membayar pengeluaran tak terduga akibat kepemilikannya terhadap sebongkah sepeda motor. Ia pun berpikir-pikir lagi tentang orang-orang yang punya ini itu. Termasuk orang tuanya. Tidakkah mereka benci ketika harus bertanggung jawab terhadap hal-hal yang tidak mereka siapkan? Tidakkah mereka benci ketika harus diperalat oleh sebongkah barang yang membuat mereka harus bolak-balik menemukan uang? Kebencian yang mau tak mau ditelan saja.

Karena ia pun hasil kebencian yang mau tak mau dikunyah walau pahit. Kehadirannya dan kebertahanannya di dunia ini bikin orang tuanya mau tak mau pura-pura siap terhadap segala pengeluaran tak terduga yang mereka benci. Yang tidak diduga, akhirnya harus jadi yang diduga-duga. Tangan yang tadinya diharapkan untuk bisa mengontrol ini itu, jadinya kelimpungan. Tangan orang lain jadi pinjaman untuk menambah kemampuan tangan. Otak yang tadinya dipikir cukup cuman satu, ternyata sudah kelebihan kapasitas. Lalu mau tak mau meminjam milik orang lain. Minta ditenangkan, minta dijelaskan.

Si orang yang duduk-duduk itu pun menyerah. Ia berjanji untuk tidak lagi beli-beli barang. Ia jiga tidak ingin beli makan. Ia ingin buat sawahnya sendiri, supaya bisa panen beras sendiri. Tapi akhirnya ia sadar, ia tidak bisa memproduksi cahaya matahari sendiri. Ia pun menyerah.
Share:

0 comments:

Post a Comment