June 3, 2017

Pembaca Novel Vegetarian (Han Kang) yang Gagal

Tolong siapa pun yang sudah membaca buku ini, tunjukkan caranya supaya mencintai buku ini. Aku di sini merasa gagal sebagai pembaca. Buku ini dapat penghargaan Man Booker International Prize, tapi kenapa aku yang baca rasanya biasa aja? Aku sadar ini bukan salah bukunya, karena Eka Kurniawan bahkan menyatakan buku ini satu dari lima bukunya terbaik yang pernah dibacanya. Jadi, ini salahku. Tapi aku tidak tau dimana salahnya. Buku ini sudah kuimpikan sejak belum ada versi Bahasa Indonesianya, waktu dia akhirnya sampai di kosan, aku pun berlari kencang demi menimangnya. Tapi apa yang terjadi dengan bayi yang saya idam-idamkan ini? Aku kecewa. Kekecewaan yang tidak dirasakan oleh ribuan pembacanya yang lain.

Ketika aku mengharapkan sesuatu pada sebuah buku, maka aku menyiapkan diri supaya pantas untuk harapan itu. Maka itulah yang kulakukan pada buku ini. Tapi apesnya harapan itu malah bikin aku tidak bisa menikmati tiap lembarnya karena aku telanjur terpatok pada suatu harapan. Waktu aku mulai merasa buku ini menyimpang dari harapanku, aku tidak serta merta menumpuknya di rak buku. Kubenahi sedikit si harapan itu supaya bisa kasih ruang untuk si buku-yang-rupanya-agak-berlainan-ini bisa masuk. Tapi hasilnya tetap sama saja.

Inilah yang bikin aku tidak merasa gimana gimana waktu baca si buku:
  1.  mere action atau murni aksi reaksi. Adegan A muncul lalu B muncul, C, E, F, dan seterusnya pun muncul. Kadang loncat loncat secara tidak beraturan, tapi itu tidak masalah. Rasanya mere action itu bikin ceritanya hambar. Tokoh utama muncul dari sudut pandang orang lain, sehingga pikiran dan perasaan orang lain lah yang muncul. Alih-alih dari si tokoh utama. Pikiran dan perasaann tokoh utama benar-benar diabaikan. Dia jadi sekedar objek yang jadi bahan omongan orang lain. Tapi bukankah pembaca juga pingin melihat situasi dari kaca mata si tokoh utama? Bukankah aku juga pingin tahu kenapa dia bermimpi lalu jadi vegetarian? Aku menerima segala macam penjelasan, bahkan yang tidak masuk akal sekali pun. Selama itu dari si tokoh utama;
  2. tokoh lain muncul dengan kisah mereka masing-masing. Masalahnya bukan di situ. Semua tokoh memang punya kisah mereka sendiri, tapi itu muncul justru bersamaan dengan perannya sebagai pencerita tentang si tokoh utama. Ia cerita panjang lebar tentang penglihatannya tentang tokoh utama, lalu ditinggalkannya pembaca begitu saja tanpa menjelaskan hal yang dilihat itu dengan perasaan dan pemikiran. Meskipun dijelaskan, itu tidak berkaitan dengan si tokoh utama. Yang dijelaskannya adalah adegan selanjutnya tentang dirinya sendiri atau keluarga, yang tidak beririsan dengan tokoh utama;
  3. keindahan yang tidak dijelaskan. Segala bunga-bungaan yang disukai tokoh utama pada tubuh kurusnya, adalah ide brilian dari buku ini. Menggambarkan kepolosan dan keindahan jadi satu. Aku takjub. Tapi ketakjuban itu cuman numpang lewat sekelebat. Lalu aku ditinggalkan begitu saja tanpa ada kejelasan tentang bagaimana caraku menikmati keindahan itu? Terlalu singkat, cepat dan aku bingung. Lalu sampai akhir cerita, aku masih meraba-raba dimana keindahanku yang tadi ada di pertengahan cerita? 
  4. merasa bedosa di akhir cerita. Bukan karena akhirnya abstrak dan tidak gamblang. Tapi karena rasanya aku belum mengalami apa-apa selama membaca buku ini, lha kok tiba-tiba sudah tamat? Merasa berdosa, karena tidak bisa menikmati buku yang katanya bagus ini hingga akhir. Merasa tidak pantas membaca buku ini. Merasa orang asing di tengah para pembaca yang memuja-muja ceritanya.
Akhirnya, aku menyerah saja. Sampai sekarang pun masih belum paham gimana caranya menyukai buku ini. Mungkin harus kusimpan dulu untuk beberapa tahun ke depan. Seperti kusimpan karya-karya Ayu Utami dalam beberapa tahun sejak SMP, demi memahami keindahan ceritanya. Waktu, tolong bantu aku memahami keindahan buku ini. 
Share:

0 comments:

Post a Comment