October 28, 2015

Ini Sumpah Pemuda, Pak Jung


Ini hari sumpah pemuda katanya. Ya tapi aku percaya saja. Percaya bahwa ya sumpah itu pernah diikrarkan, penuh semangat, menggebu-gebu, dan mewabah seperti cikunguya. Aku senang saja negara ini dari segi ketidaksadaran kolektif, punya semangat seperti kembang api yang meletup-letup. Carl Jung bilang, ketidaksadaran kolektif itu adalah hasil kreativitas dari nenek moyangmu, yang rupanya mereka turunkan padamu dan juga pada beribu-ribu orang lainnya yang lahir di sekitarmu. Lagi-lagi aku memutuskan untuk percaya. Kali ini pada apa kata Jung. 

Aku percaya saja pada sumpah pemuda, seperti aku percaya saja saat ibu bilang aku lahir di bumi yang luhur ini (padahal bisa saja ibu bilang aku anak pungut dari Kerajaan Alengka dan aku percaya). Aku ingin percaya bahwa semangat sumpah pemuda itu adalah semacam partikel seperti debu yang terbawa angin, lalu singgah dari waktu ke waktu, hingga saat ini giliran aku merasakan dihinggapi si debu. Aku ingin percaya pada kata Jung bahwa semangat itu mengendap secara tidak sadar sejak aku dilahirkan dan aku tak berdaya terhadap apa pun. Dan sekali lagi, aku memutuskan untuk percaya. 

Aku bilang, aku ingin.. karena saat ini rupanya aku belum. Belum percaya pada apa yang disumpahkan pemuda atau pada apa yang Jung katakan tentang ketidaksadaran kolektif itu. Jika aku paling tidak punya satu saja sel semangat semacam sumpah pemuda karena kata Jung itu adalah warisan dan beribu-ribu orang yang lain pun demikian, lalu apa yang terjadi hari ini? Padahal semangat tak pernah jadi rebutan dalam sidang perebutan harta warisan. Lalu, kemana larinya semangat itu? Apakah direnggut oleh Jepang yang dulu super sengsara tapi sekarang super canggih itu? Ahhh rupanya Jepang menjajah karena itu. Kali ini aku percaya. Ternyata semangat itu diambil orang. Pun Belanda (VOC) menjajah rupanya karena itu. Hingga aku tak dapat bagian sedikit pun.  

Hmmm sebentar, Pak Jung. Sepertinya warisan itu masih kekal. Warisan tentang semangat yang menggebu-gebu dan menggelora itu. Kami semangat berlari-lari di puncak gunung dan pantai lalu menyebar bungkus plastik dan botol minuman, lalu menyebar seribu foto ke publik pada menit yang sama demi tanda hati dan puji pujian. Orang-orang teladan kami juga semangat menyedot receh yang gemericing dari dompet rakyat-rakyatnya, juga jalan-jalan haha hihi lalu bilang hal itu membuat bangsa damai dan makmur. Bisakah semangat persatuan bangsa dari sumpah pemuda, menjelma menjadi semangat semacam itu, wahai Pak Carl Jung? Kali ini aku tidak memilih percaya. Karena aku bertanya.

Pak Jung, tolong jangan salahkan saya atas konsep ketidaksadaran kolektif Anda yang sepertinya agak melenceng di negeri ini. Maafkan saya. Mungkin bapak bisa buat teori baru khusus untuk negeri ini. Atau nanti biar saya yang buatkan teori barunya.Ya tapi jangan salahkan saya kalau teori baru itu tak kunjung lahir. Karena sepertinya saya pun dapat warisan seperti yang saya bilang tadi, Pak. Maafkan saya.
Share:

0 comments:

Post a Comment