June 30, 2015

What I Personally Feel About Same-Sex Marriage


Tulisan ini dibuat di hari ke 13 bulan suci Ramadhan yang tolong-ya-Allah-Kalista-jangan-dibikin-sering-ngantuk-takut-sia-sia-puasanya, di tengah kejenuhan dan kelelahan menanti UAS yang tak kunjung tiba dan tanggal main pulang kampung yang masih lama

Jadi ceritanya lagi baca DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) buat UAS klinis, lalu kepikiran kenapa nggak ada sexual orientation disorder buat homosexual (ya karna 5 dari 7 orang yang bikin DSM ternyata homo) dan tiba-tiba otakku nyambung ke same-sex marriage yang baru tanggal 26 Juni lalu (kalo nggak salah), diperbolehkan di USA. Di twitter, facebook, instagram, ask fm dan segala jenis social media pada rame pake hashtag #lovewins dan pada pasang foto profil pelangi yang nandain dukungan mereka buat same-sex marriage. 


Aku berusaha biasa aja ngerespon berita semacem ini. Tapi kekepoanku membawaku googling lebih lanjut tentang same-sex marriage ini. Trus nemu video tentang kehidupan sepasang gay dari mereka kecil bareng sampai dewasa mereka nikah, didukung sama seorang nenek nenek (nggak ngerti itu neneknya siapa), tapi anyone looking at their eyes and smile, could easily notice that they love each other more than anyone could possibly understand. 

Sepanjang aku liat video itu, ekspresi wajahku nggak jauh jauh dari memicingkan mata dan naikin setengah bibir (ya gitu lah, you can imagine). Dan sepanjang liat video itu, there's only one question yang bener-bener kek mau aku omongin langsung ke mereka, "but you don't have to get married!" Oke, aku akuin aku tersentuh dengan cinta mereka, dengan pengorbanan mereka untuk satu sama lain, untuk keteguhan hati si A ketika ditinggal mati si B, dan la la la segala macem, aku akui aku terharu dan from my deepest heart, I appreciate them both. 

Ya jadi, pertanyaannya cuman satu itu sih, kenapa harus nikah? Oke, atas nama cinta. Gue cinta sama emak gue, gue cinta ama adek cewek gue yang super duper bawel itu, gue cinta ama tante gue, ama nenek gue, eyang uti, budhe, bulek, does it make sense kalo gue nikah ama mereka? Gue juga cinta sama kucing piaraan di rumah, bu guru dulu juga ngajarin gue buat mencintai lingkungan. Trus, apa perlu gue kawin ama tuh kucing sekalian ama pepohonan yang rindang biar dinotice kecintaan gue sama lingkungan? Nggak kan? Jadi gini deh kasarannya, nggak ada yang ngelarang kamu untuk mencintai siapa pun dan apa pun, tapi plis kalo mau nikah, nikahlah sama lawan jenismu (and make sure he's a human). 

Aku setuju bahwa pernikahan adalah bentuk manifest dari cinta dan untuk bersatu dengan orang yang dicintai adalah basic need-nya manusia. Tapi cinta nggak selamanya bersatu dalam marriage. Aku cinta sama cewek pertama yang kenalan sama aku di kelas baru, aku bersatu sama dia sebagai sahabat. Aku cinta sama ibuku yang hidup matinya dikasih buat aku, aku bersatu sama dia sebagai anak yang baik. Aku cinta sama lingkungan, aku bersatu sama dia dengan nanemin pohon di pekarangan rumah. Aku cinta sama Tuhan yang the-best-banget-lah-pokoknya, aku bersatu sama Dia sebagai hamba yang bersyukur. 

Bersatu itu nggak mesti dengan pernikahan. Pernikahan udah punya konsep yang disakralkan Tuhan antara laki-laki dan perempuan. Konsep penyatuan dalam pernikahan, sama kayak konsep penyatuan polaritas menurut the art of loving-nya Erich Fromm. Kepriaan dan kewanitaan, bumi dan hujan, sungai dan samudra, gelap dan terang, materi dan roh. 

Dan kalo kata kaum bijak bestari..

Langit selalu menaungi, seperti seorang suami yang mencari nafkah demi istrinya
Dan, Bumi sibuk dengan segala urusan rumah tangga: ia merawat kelahiran dan menyusui yang ia kandung

Jadi, silakan menjadi satu dengan yang kamu cintai, melalui jalan dan cara yang tepat. I don't blame or judge anyone by this writing. I just share what I personally feel upon something that I think goes wrong :) 
Share:

1 comment:

  1. hehehehe ada2 aja :D
    iya juga si

    penulis udah kbelet nikah ni :v

    ReplyDelete