October 12, 2025

Review Novel “Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam” oleh Dian Purnomo (⭐️:3/5)

Buku ini punya potensi besar, tapi sebagai sebuah karya fiksi, eksekusinya masih kurang dalam beberapa hal yang esensial (nilai: 3 dari 5): 

Sampul buku “Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam”
yang saya beli di Gramedia Digital

Gaya penceritaan karya dokumenter bukan fiksi: buku ini lebih menyerupai dokumenter, karena kekuatan utamanya adalah menyampaikan serangkaian peristiwa dalam urutan kronologis yang lugas, bukan pengembangan karakter. Akibatnya, saya tidak memahami secara utuh gejolak internal yang melatarbelakangi, sebagai contoh, pasang surutnya keberanian Magi dalam melawan ayahnya. 

Ketidakakuratan detail: Ada satu hal yang luput dalam penyuntingan. Tidak fatal, tetapi menyebabkan saya meragukan ingatan saya. Magi mengamuk dengan memecahkan cermin, tapi di awal dijelaskan bahwa tidak ada kaca di kamarnya. 
“tidak ada jendela.. sebuah lemari kayu tua tanpa cermin. (p.60)”; “sisa pecahan cermin yang Magi pecahkan.. masih menempel di lemari. (p.74)”

Pengubahan sudut pandang yang dipaksakan: di tengah buku, sudut pandang beralih menjadi orang pertama dengan tujuan menjelaskan bahwa semuanya adalah penceritaan ulang dari orang asing. Mungkin, ini untuk membenarkan gaya penceritaan dokumenter yang digunakan, tetapi terasa dipaksakan karena diselipkan di tengah buku. Bagi saya, ini justru mengesankan bahwa penulis malas memperbaiki gaya ceritanya. Ide perbaikan: 1. Tokoh “aku” dimunculkan di bab 1, lalu cerita berlanjut dengan pergantian sudut pandang “aku” dan ketiga (Magi), seiring “aku” tinggal di rumah Magi dan berinteraksi dengan orang-orang di sana. 2. Tokoh “aku” dihilangkan sama sekali. Ceritakan ulang semuanya dengan lebih banyak “showing” pengembangan karakter Magi, bukan sekadar “telling” per peristiwa. 

Kurangnya pengembangan karakter Magi: Magi adalah perempuan yang berani, tapi pasang surut keberaniannya yang digambarkan sepanjang cerita, tidak cukup didalami secara internal dan diuji secara eksternal dalam interaksi Magi dengan tokoh-tokoh lain. Sehingga, penulis dapat menjadikan resolusi di akhir sebagai “plot twist”, karena sedari awal pembaca memang tidak diberikan gambaran utuh tentang kedalaman karakter Magi. Bagi saya, terkesan penulis sejak awal memang sekadar bertujuan memberi akhir cerita ber-“plot twist”, alih-alih bertujuan mengajak pembaca untuk menyelami kompleksitas karakter Magi. Bukan hal yang buruk, saya hanya menyayangkan bahwa cerita ini menjadi sekadar runtunan peristiwa mengerikan alih-alih menggambarkan pergolakan batin Magi secara utuh. 

“Anatagonizing” karakter ayah Magi, Ama Bobo: Jelas bahwa penulis marah terhadap ayah-ayah di luar sana yang seperti Ama Bobo, tetapi untuk membuat karakter yang selalu sebegitu jahatnya, dengan konteks telah menyaksikan anak perempuannya berusaha bunuh diri dan kabur dari rumah selama setahun, justru membuat karakter Ama Bobo terasa tidak nyata, two instead of three dimensional, a pure black instead of multiple shades of grey. Tak sedikitpun digambarkan pergolakan batin Ama Bobo, antara harus menegakkan adat dan melindungi anak perempuannya, selain disebutkan secara eksplisit bahwa dia rindu Magi. Magi pun bercerita bahwa dulu ayahnya adalah orang yang penyayang. Padahal, Ama Bobo yang akhirnya sakit paru-paru, saya harapkan bisa digunakan penulis sebagai sarana bagi Ama Bobo berefleksi diri dan mengasihani Magi yang tetap mau merawatnya. Namun, kejadian ini justru dijadikan penulis untuk semakin “antagonizing” karakter Ama Bobo. Ini membuat karakternya terasa semakin hitam-putih. Sampai akhir, pembaca tetap tidak disuguhkan pergulatan batin Ama Bobo, sehingga semakin kuat kesan bahwa penulis membuat karakter Ama Bobo memang hanya untuk dibenci, bukan untuk dipahami bagaimana pergulatan internalnya sampai dia bisa melakukan hal sebejat itu pada anaknya sendiri. 

“Antagonizing” adat Sumba: Tentu, saya menentang keras praktik adat yang bejat dan bengis seperti kawin tangkap. Namun, bagi saya, buku ini memberikan kesan secara keseluruhan bahwa penegakkan adat adalah hal yang buruk dan orang-orang yang berupaya mempertahankannya adalah orang yang tidak berperikemanusiaan. Padahal, tidak demikian. Praktik melindungi hutan dengan ritual-ritual adat yang dilakukan Dangu dan kelompoknya saat berburu, seharusnya bisa menjadi upaya penulis untuk menunjukkan bahwa adat juga adalah pelindung. Namun, lagi-lagi, penulis menjadikan peristiwa tersebut sekadar penguat bahwa adat adalah sumber celaka. Menurut saya, agar buku ini tidak terkesan “antagonizing” adat Sumba, penulis bisa menambahkan di epilog (alih-alih sekadar tentang bagaimana Leba Ali dihukum/desas-desus bagaimana Leba Ali disiksa di penjara) bagaimana pengalaman Magi berbicara ke para ketua adat agar bermusyawarah dan menetapkan larangan bagi praktik kawin tangkap, bagaimana belis untuk menikahi perempuan akhirnya tidak boleh ditetapkan terlalu mahal, dan lain-lain. Pelakunya memang perlu dihukum seadil-adilnya, tapi kita tahu bahwa pelaku tidak mungkin muncul jika bukan karena sistem di masyarakat adat yang memungkinkan kawin tangkap itu dilakukan. 

Secara umum, buku ini mengangkat isu yang penting. Namun, kekurangan di atas membuat saya ragu apakah memang benar betul karya fiksi (alih-alih non-fiksi dokumenter) yang dibutuhkan agenda yang ingin diangkat penulis? Jika penulis memang ingin menulis sebuah karya fiksi, maka kekurangan di atas seharusnya diperhatikan.

Share:

0 comments:

Post a Comment